Stay: Chapter 4

“Oh! Kau yang kemarin kan?”

Aku hanya tersenyum kecil. Hari ini aku kembali ke rumah sakit, ke ruangan EunJae. Dia bersemangat menyapaku.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.

NP; Take A Bow – Rihanna

.


“Jadi kau teman Jaejoong?” Tanya EunJae sambil duduk di atas ranjang. Aku hanya mengangguk singkat menjawab pertanyaannya. Tidak mau jujur mengatakan aku kekasihnya.

“Jaejoong pernah bercerita tentangmu,” ucapku.

EunJae membalasnya dengan tertawa halus, “Anak itu dari dulu memang tidak berubah,” dia melirik kearah jam, “Sebentar lagi dia mungkin kemari.”

“Dia rajin mengunjungimu?”

“Yup! Hampir setiap hari”

Ada decitan pelan diperasaanku.

“Dia dan Hyunjoong banyak memberi dukungan untuk sembuh,” tawanya pelan sebelum bersandar ke punggung ranjang, “Mungkin kalau tidak ada mereka aku tidak seperti sekarang.”

“Memangnya kenapa?”

EunJae menggaruk tengkuknya, “Aku butuh dukungan orang lain setelah orangtuaku meninggal.”

Aku mengangkat alis, terkejut, “Aku turut sedih mendengarnya.”

“Ah tidak apa-apa santai saja.”

Setelah itu kami diam. Aku memandang jendela lama, sambil berfikir.

“Kudengar dulu kau berpacaran dengan Jaejoong,” kataku.

“Eh?!” eskpresi EunJae berubah menjadi terkejut, “Jaejoong cerita?”

Aku hanya tersenyum kecil.

“Ah iya, memang dulu seperti itu. Hehe, tapi sekarang sudah tidak kok. Kami putus beberapa tahun yang lalu, ya putus baik-baik sih.”

“Kenapa kalian berpisah?”

EunJae salah tingkah, “Y-ya seperti itu, jarang berkomunikasi karena kesibukan, semakin lama semakin renggang, lalu kami memutuskan berpisah saja. Aduh, aku terlalu banyak bercerita,” ucapnya malu.

Aku tertawa hambar, “Santai saja.”

EunJae kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin kehabisan kata-kata lagi. Sementara aku memandangnya lama. Sudah semalaman penuh aku memikirkan ini, aku cukup mantap.

“Kau masih mencintai Jaejoong ya?” tanyaku dengan kekehan diakhirnya, berusaha membuat suasana tidak menjadi canggung.

EunJae diam lama. Dia terkejut. Tiba-tiba wajahnya bersemu.

Dan dia menjawab ‘iya’.

Oh, well…

.

.

Cklek

“Yunho?”

Aku dan EunJae sontak mengalihkan pandangan dan mendapati Jaejoong yang baru datang menatap kami terkejut. EunJae menyapa Jaejoong tapi tidak dia hiraukan. Mungkin dia terlalu kaget aku disini.

Tak lama aku bangkit berdiri dan mendekati Jaejoong, “Bisa bicara?” tanyaku. Jaejoong tidak menjawab, tapi aku berjalan keluar terlebih dahulu. Yakin dia akan mengikutiku.

.


.

Aku dan Jaejoong duduk dalam diam di bangku lorong rumah sakit. Tidak ada yang membuka suara.

Jaejoong menatap kakinya yang dia goyang-goyangkan. Sedangkan aku menatapnya dari ujung mataku.

“Oh, ya,” Jaejoong menegakkan tubuhnya dan menatapku, “Aku membeli ponsel baru. Aku sudah menyimpan nomormu, tadi pagi kutelpon tapi kau tidak jawab.”

“Oh.”

Mendapat jawabanku Jaejoong terdiam dan kembali melihat ke arah kakinya.

“Kau kenal EunJae?” tanyanya.

“Baru saja kenal.”

“Kenapa tidak bilang?”

“Kenapa harus bilang?” balasku sengit.

Jaejoong kembali menatapku lama. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku membalas menatapnya. Menantang.

“Kau berubah, Yun. Ada apa?”

“Kau pikir, kau tidak berubah?” tanyaku balik.

Jaejoong mengerang kesal, “Berhenti balik bertanya. Kau masih marah karena kemarin? Aku minta maaf. Maafku tidak diterima?”

Aku mengalihkan pandangan darinya.

“Hei, Yun. Aku minta maaf, oke?” dia memegang tanganku dan aku langsung menyentaknya. Dia pasti kaget.

“Diamlah. Kau membuatku semakin marah,” ucapku.

Jaejoong membeku sesaat. Kemudian dia mengacak rambutnya frustasi.

Kemudian kami diam. Aku berusaha meredam rasa kesal, sedangkan Jaejoong menatap ke berlawanan arah. Aku tidak bisa mengintip ekspresinya.

Setelah mulai tenang, “Jae-”

Jaejoong menoleh. Wajahnya memerah.

“-kita putus.”

“Apa! K-kenapa?”

“Kurasa lebih baik begini,” ucapku pelan.

Jaejoong menatapku tidak percaya, “Gara-gara masalah kemarin?”

“Itu salah satu alasannya.”

Jaejoong menarik nafas berat, “Kau masih tidak mau memaafkanku perihal masalah kemarin?”

Aku menggeleng pelan, “Aku lelah dengan hubungan kita. Oke?”

“Lelah? Itu alasanmu? Berikan alasan lain!” Jaejoong memaksa. Dia tidak puas dengan jawabanku.

Aku mendesah, “Aku terlalu lelah cemburu, Jae. Got it?”

Dia menggeleng. Wajahnya semakin merah.

Rasanya aku sedikit takut kelepasan dan menangis di depannya. Semua rencanaku akan hancur, “Kau lebih mementingkan EunJae daripadaku.”

“Dia sakit Yun. Kau cemburu aku dekat dengannya?”

“Aku tidak masalah kau dekat dengannya. Aku cemburu dengan cintamu padanya.”

Jaejoong mencelos, “Apa yang ada di otakmu? Aku tidak mencintainya.”

“Mungkin sekarang tidak. Tapi kau kembali belajar untuk mencintainya.”

“Aku tid-“

“Iya! Kau iya!” paksaku, “Kalau tidak, kau akan lebih perduli dan sayang padaku.”

Jaejoong terdiam.

“Kadang aku berhadap EunJae mati saja.”

“Jung Yunho!”

“Terlalu jahat ya?”

Jaejoong memejamkan matanya. Setelah itu dia kembali menatapku, “Aku mencintaimu. Apa itu masih tidak bisa menjelaskan bahwa aku ingin hubungan kita tetap?” suaranya bergetar.

“Lalu aku harus bersabar dengan hubungan ini sampai kau mencintainya?” ucapku meremehkan.

“Yun, aku lelah berdebat. Aku sudah bilang aku tidak mencintainya.”

“Dengar, aku sudah memikirkan ini dengan matang. Kurasa ini memang jalan yang terbaik,” ucapku pada akhirnya. Keputusanku sudah bulat. Jika setelah ini dia masih mau membalas ucapanku, lebih baik aku pulang.

Jaejoong menutup wajahnya dengan kedua tangannya, “Kau sudah merencanakan ini, sedangkan aku tidak siap. Lalu setelah ini aku harus bagaimana jika kita berpisah?!” di kalimat terakhir suaranya menjadi parau, “Kau ingin aku kangen sampai gila?”

Aku hendak meninggalkannya, namun kata-katanya membuatku bertahan sejenak, “Kau pernah mengalami putus cinta dengan EunJae. Setelah dengan dia kau bisa move on, kan? Setelah kita berpisah, kau juga bisa melakukan hal yang sama,” suaraku melunak.

“Tapi berbeda! Kami berpisah saat aku sudah tidak mencintainya lagi. Tapi kita berbeda,”—sejenak aku mendengarnya mulai terisak—“Kita berpisah saat aku masih mencintaimu. Kau tidak tahu rasanya seperti apa!”

Aku mendesah, “Kau bisa menghilangkan rasa sakit itu dengan orang yang sedang kau belajar cintai—EunJae.”

Setelah itu aku berdiri dan pergi. Meninggalkannya. Tokoh yang memutuskan hubungan memang selalu terlihat jahat, aku tahu. Sekarang aku merasa sangat jahat pada Jaejoong. Kalaupun aku mengalah dan membiarkan hubungan ini, aku bisa membayangkan dia akan kembali mengabaikanku. Memangnya berubah semudah itu?

Aku menaruh tanganku di saku dan berjalan cepat. Aku bisa merasakan mataku panas dan terasa penuh.

Yeah, aku menangis.


END


~Side Story~

[Normal POV]

Sudah 10 menit sejak Yunho pergi. Jaejoong tetap duduk di tempat yang sama. Dia menatap lantai dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirannya, namun satu hal yang pasti, perasaannya hancur. Matanya memerah dan wajahnya berantakan.

Tak lama dia bangkit berdiri dan memasuki ruangan EunJae. Disana pria itu menatapnya terkejut.

“Jae, kau kenapa?”

“Kadang aku berhadap EunJae mati saja.”

Ucapan Yunho teringat membuat hatinya berdecit pelan.

“Aku mau pulang,” ucap Jaejoong lirih.

EunJae menatapnya kecewa, “Dengan tampang seperti itu? Ayolah, duduk. Cerita denganku ada apa?”

“Aku hanya ingin pulang. Kesini untuk pamit.”

EunJae meneliti Jaejoong, “Kau bertengkar dengan Yunho? Temanmu itu?”

Jaejoong membeku, “Yunho bilang hubungan kami teman?” tanyanya pada akhirnya.

Sure. Memangnya apa? Sahabat? Hehe.”

“Dia kekasihku…” ucap Jaejoong lirih

“Hah?”

Jaejoong mengalihkan wajahnya. Air matanya kembali menumpuk, “Aku akan pulang.”

BLAM

Pintu tertutup.

Jadi sudah berapa hati yang terluka?
Yeah, 3 hati.


SELESAI!

Sebenarnya fanfic ini kubuat dengan makna—untuk para gadis;
Kalau kalian berpacaran, pacarmu minta putus. Ya putusin.
Berhenti berfikir akan memberikan segalanya untuk cowokmu. Jangan murahan!
Antara sadar & tidak, kadang kamu memberikan sesuatu yang tidak seharusnya cowokmu terima di masa kalian pacaran. Got it?

Beda cerita kalau itu suamimu. Kasih apa aja terserah.
Sobat gua yang cowo selalu ingetin, “Jangan macem-macem pas pacaran. Mau pernikahan kamu nanti gagal?”

P.s.: Boleh loh berbagi hal ini ke temen2 kamu :)

.

Oke, stop cuap-cuap.
Thanks to; aaallll readers! I LOVE YOU SO MUCH.

Prev

Stay: chapter 3

Last chapter:

Langkahku berhenti saat dari jauh melihat Jaejoong memasuki kamar 103. Perlahan aku mendekati kamar itu dan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

Aku melihat Jaejoong memberikan pelukan singkat pada seseorang di atas ranjang. Mereka tertawa dan menepuk pundak. Sedikit memiringkan kepala, aku bisa melihat wajah EunJae. Pembawaannya sangat dewasa dan tenang.

Aku terdiam.

Setelah itu aku berbalik arah dan meninggalkan kamar 103.

Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?

.


.

Setelah menerbangkan abu ayah, kami bertiga—aku, ibu, JiHye—kembali pulang. Saat memasuki rumah, aku merasa perasaan sepi. Begitu juga yang terpancar di wajah JiHye dan ibu. Setelah itu kami berusaha melakukan aktifitas seperti biasa.

Semalam ponselku habis batre. Aku baru menyalakannya sekarang setelah terisi penuh.

Hanya ada satu pesan masuk dari Yoochun—sahabatku.

Aku memang belum memberitahu temanku perihal kematian ayah pada teman-teman. Tidak juga kepada Jaejoong. Setiap mengingat namanya, entah kenapa aku merasa bebanku menjadi dua kali lebih berat.

Duduk di atas kasur. Entah apa yang harus aku lakukan setelah ini. Aku bingung. Sesaat ada keinginan untuk bertemu dengan Jaejoong, namun aku tepis itu.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.


Aku sendiri tidak paham apa yang membawaku hingga kemari. Aku sudah berdiri di depan ruangan 103 milik EunJae—mantan Jaejoong. Apa aku sudah gila? Atau kepalaku terbentur?

‘Mungkin sebenarnya aku hanya terlalu merindukan Jaejoong, dan berfikiran bahwa dia akan kemari dan kami tidak sengaja berjumpa.’

Aku mendengus dengan pemikiranku sendiri. Seperti orang tolol. Tapi sudah terlanjur basah sampai di tempat ini. Apa yang bisa aku lakukan?

Tanpa berfikir panjang aku membuka pintu ruangan itu dan mendapati sesosok pria sedang asyik memainkan PSP. Alisku menyatu, bertepatan dengan dia mengangkat wajahnya dari layar PSP.

“Siapa?”

“Umm…” sial, aku yang salah tingkah sekarang, “Mungkin aku salah ruangan.”

Pria itu terkekeh, “Santai saja, bro. Mau jeruk?” tanyanya sambil mengambil jeruk dari atas meja dan melemparnya ke arahku.

EunJae ternyata tipe orang yang mudah bergaul.

“Siapa namamu? Aku Jung EunJae.”

Aku melihat jeruk di tanganku agak lama sebelum kembali menatapnya, “Jung Yunho. Senang berkenalan,” ucapku singkat, “dan terima kasih jeruknya. Aku pergi ya.”

“Senang berkenalan denganmu, Yunho!” katanya sambil melambaikan tangan singkat. Aku hanya membalasnya dengan senyum sebelum kembali menutup pintunya.

Benar-benar ramah!

Aku memijit pangkal hidungku. Siapa saja pasti merasa nyaman dengan orang seperti itu. Apa lagi Jaejoong. Shit! Aku jadi ingin segera pulang.

Saat aku memutar tubuhku, aku mendapati Jaejoong melihatku dengan wajah terkejut.

“Kenapa disini, Yun?”

Aku tertawa datar, “Berjalan-jalan sore.”

Jaejoong terkekeh, “Jalan-jalan sore sampai masuk ke rumah sakit? Dasar aneh.”

Dia tertawa. Hal yang sudah lama tidak aku dengar.

Tak lama Jaejoong merubah ekspresinya, “Ngomong-ngomong kenapa dua hari ini kau tidak kuliah?” tanyanya.

Aku diam. Dalam hati menyusun kata-kata untuk menjawab pertanyaannya. Kalau memang tahu aku tidak masuk, dia bisa menghubungiku untuk bertanya, kan?

Jaejoong mendengus dan melanjutkan kata-katanya, “Ponselku rusak kemarin pagi. Jatuh dan terlindas mobil saat aku menyebrang jalan. Kemarin saat aku berkunjung ke rumahmu juga sepi. Kau membuatku khawatir.”

Biasanya hatiku merasa hangat saat mendengar dia perhatian padaku. Tapi entah kenapa tiba-tiba perasaan itu tidak ada.

“Jae…” ucapku lirih.

“Ya?”

“Ayahku meninggal 2 hari yang lalu.”

Jaejoong terkejut. Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan, “Sungguh?”

Aku hanya menatap matanya. Memasang wajah serius.

“Kenapa kau tidak menghubungiku? Ya Tuhan, Yunho,” Jaejoong mendekat dan menyentuh lenganku.

“Aku sudah mengirim pesan, dua hari yang lalu. Kurasa itu sebelum ponselmu rusak,” balasku dingin.

Jaejoong terdiam. Dia memandangku dengan wajah yang sulit diartikan, tampak seperti berfikir keras, “Pesan yang mengatakan kau membutuhkanku?” tanyanya ragu.

Aku hanya mengangguk singkat. Tanganku terangkat dan memberikan jeruk yang kudapat dari EunJae, “Aku harus pulang sekarang Jae. Sudah hampir malam. Ini jeruk untukmu. Kau harus menjenguk EunJae juga, kan?” ucapku panjang lebar. Setelah itu langsung berjalan pergi.

Dari sudut mataku aku bisa lihat Jaejoong memandang jeruk ditangannya dengan tatapan kosong. Mungkin dia terkejut dengan maksud pesanku 2 hari yang lalu. Tapi…

Sial! Aku hampir menangis.

Aku menyeka sudut mataku. Merasa sangat menyesal pergi ke tempat ini. Ya ampun, dasar kau bodoh, Yunho. Kenapa kau harus ke tempat ini?! Bodoh. Bodoh. Bodoh.

.


.

Ponselku berbunyi saat aku sampai ke rumah. Ku lihat ada 3 panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak di kenal. Mungkin karena bising suara lalu-lalang kendaraan, membuat panggilan ini tak terdengar olehku.

Tak lama ada panggilan lagi dari nomor itu. Aku segera mengangkatnya.

“Yeobseo?” ucapku.

“Yun, ini aku Jaejoong.”

“Oh,” jawabku singkat.

“Aku merasa bersalah. Dua hari yang lalu, EunJae kemoterapi. Jadi baru saat malam hari membaca pesanmu. Aku memutuskan untuk menelfonmu untuk bertanya, tapi sudah sangat larut. Besoknya, aku berniat mengunjungi rumahmu. Saat keluar dari rumah sakit, ponselku malah rusak.”

Aku diam mencerna ceritanya. Entah ini sungguhan atau hanya karangannya saja.

“Hey, Yun? Kau masih disana?”

“Aku ngantuk.”

Suara Jaejoong tampak kecewa, “Sudah mau tidur? Selamat tidur Yun.”

“Hmm…” dengungku, sebelum menutup telepon kami.

Aku mendesah panjang, lalu memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Menatap langit-langit kamar sambil berfikir.

Mungkin besok aku akan memutuskan hubungan kami.

Aku masih sayang… bahkan mencintainya. Hanya saja ini terlalu melelahkan. Aku pria dan egois. Jika kekasihku tidak mengkondisikan diriku sebagai kekasihnya, aku merasa seperti dinomor duakan saja.

Walaupun masalah dengan EunJae baru terjadi sekitar 3 mingguan, tapi aku sudah cukup lelah. 3 minggu waktu yang cukup lama untuk merasakan sakit.

Terlalu berlebihan? Terserah!

Terlalu terbawa emosi? Terserah!

Aku tahu Jaejoong pasti punya alasan sendiri.

Tapi aku tidak salahkan, menuntut hubungan cinta yang indah? Oke, terlalu berlebihan. Tapi setidaknya, kekasih macam apa yang sampai tidak tahu kondisi kekasihnya sendiri? Dia masih bisa mencari alternatif lain untuk tetap berhubungan denganku, kan? Iya, kan?! Hei! Jawab aku.


TBC


Aku merekomendasikan lagu, ‘Never Again- Justine Timberlake‘ untuk yang suka galau. haha.
Ugh, perasaanku ikut bercampur-aduk membuat cerita ini. Kalau dari sudut pandangku, Jaejoong tidak salah. Tapi Yunho juga tidak salah! Jadi agak complicated. Mungkin chapter depan tamat, Mungkin. Hehe, chapter ini sedang menanjak menuju klimaks cerita. Maaf agak membosankan.

Prev next

Stay: chapter 2

Last Chapter :

Jaejoong diam sejenak, “Kemarin aku sangat sibuk. Ponselku tertinggal lagi. Maaf lupa mengabarimu,” kekeh Jaejoong di akhir.

Aku tidak menyahutnya lagi dan memutuskan untuk makan. Ini benar-benar canggung.

Satu suap.

Dua suap.

Gah, banyak pertanyaan di kepalaku!

“Jae, kemarin kau pergi ke tempat EunJae, kan?” ucapku pada akhirnya.

Jaejoong diam dan menatapku lama, “Iya.”

.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.


.

“Kemarin dia kemoterapi. Aku kasihan dengannya, Yun. Kemarin aku dan Hyunjoong menemaninya sampai malam,” ucap Jaejoong panjang lebar.

Tapi hatiku merasa itu bukan jawaban yang sebenarnya. Masih ada decitan-decitan dalam dadaku yang membuatku semakin merasa tidak nyaman. Aku pura-pura memandang jam tanganku, “Ah, sebentar lagi aku harus masuk, Jae.”

Jaejoong berkedip, “Tidak dihabiskan? Nanti maagmu kumat.”

Aku hanya tersenyum tipis dan mengambil tasku.

Demi Tuhan. Aku sama sekali tidak bermaksud mendiamkannya atau berubah menjadi dingin. Aku hanya berusaha menahan diri untuk tidak marah atau kesal padanya.

Aku tahu dengan sikap yang hanya diam seperti ini, malah membuat hubungan kami semakin menjauh. Tapi aku harus apa?

Mengatakan untuk tidak mendekati EunJae lagi? Hell, aku seperti tidak percaya padanya.

.

.


.

.

Besoknya aku sangat malas untuk pergi kuliah. Hari ini aku putuskan untuk di rumah saja. Sambil tetap bergulung dengan selimut, aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan singkat pada Jaejoong yang mengatakan aku tidak akan datang.

3 menit

5 menit

Aku diam menatap ponselku menunggu Jaejoong memberikan respon atas ketidak hadiranku. Hatiku kembali berdecit saat setelah 10 menit pun tidak ada pesan atau telefon masuk darinya.

Dengan malas aku kembali menaruh ponselku di atas meja nakas. Kembali bergelung dengan selimut. Hingga tak lama ponselku berbunyi dan menandakan ada telefon masuk. Aku tahu itu dari Jaejoong. Karena ringtone untuk panggilan masuk darinya kubedakan.

Sama sekali tidak ada hasrat dalam diriku untuk mengangkat telefon itu. Kekecewaanku membuatnya begitu. Dua kali, tiga kali nada dering itu terus berbunyi hingga benar-benar berhenti.

Kembali ada rasa kecewa.

Dia hanya berusaha menelfonku 3 kali, sedangkan kemarin ketika dia tidak ada aku menelfonnya lebih dari 10 kali dan mengirimnya pesan berkali-kali.

“Sialan,” desisku pelan. Tak lama aku memutuskan untuk bangkit dan mandi. Jika diam otakku hanya bisa berfikir negative tentangnya saja.

Saat turun ke lantai bawah, aku melihat adikku—Jung Jihye—sedang asyik menonton TV, “Kau tidak sekolah?” dengan malas aku duduk disampingnya.

Oppa juga tidak kuliah,” balasnya sinis.

Aku tertawa pelan, “Jalan-jalan, yuk.”

“Tidak mau,” ucapnya cepat. Sepertinya sedikit kesal padaku

Aku diam sejenak, “Yakin? Oppa akan traktir makan, nih…”

Tak butuh waktu lama sampai JIhye menerima ajakanku. Kami bersiap dan memutuskan untuk pergi daripada bosan dirumah.

Aku sengaja meninggalkan ponselku. Cukup lelah memikirkan tentang hubunganku dan Jaejoong. Hari ini saja biarkan aku sedikit bersenang-senang.

.


.

Hari ini aku sangat senang menghabiskan hari dengan adik kecilku yang manis. Pemberhentian terakhir kami berakhir di rumah. Jihye masih tertawa-tawa mendengar leluconku sepanjang perjalanan pulang. Namun tawa Jihye berhenti saat kami mendapati rumah sangat sepi.

Ini sudah jam 7 malam. Biasanya terdengar suara penggorengan dari dapur—ibuku yang sedang memasak. Aku merasakan firasat buruk. Disisi lain, Jihye sudah buru-buru menyalakan lampu ruangan dan memasuki kamarnya.

Hingga tak lama terdengar ponselku berbunyi.  Aku berjalan ke kamar untuk mengambilnya dan mendapati umma meneleponku.

“Halo?” aku segera mengangkat teleponnya.

“Y-yun?”

“Umma? Wae?”

“…”

Aku merasakan duniaku berguncang. Segera aku mematikan sambungan telefon dan berteriak memanggil Jihye.

Ya Tuhan. Seseorang mengendarakan mobil dalam keadaan mabuk dan menghantam tubuh ayahku yang sedang menyebrang jalan.

Aku menceritakan apa yang terjadi kepada ayah secara singkat kepada JiHye. Adik perempuanku mulai menangis mendengarnya. Aku menelfon taksi sambil berusaha menenangkan adikku. Walaupun kejadian ini mengguncangku, aku harus kuat. Ada dua orang wanita—Jihye dan umma—membutuhkanku.

.


.

30 menit berlalu sangat lama. 30 menit perjalanan menuju rumah sakit, aku berusaha memperkokoh mentalku untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. JiHye masih sedikit seenggukan disampingku. Aku hanya bisa mengelus punggungnya agar dia lebih tenang.

Sesampainya di rumah sakit, Jihye segera turun dan berlari masuk. Sedangkan aku membayar taksi terlebih dahulu. Setelah itu menyusul Jihye yang berlari kecil, setelah mengetahui dimana keberadaan ayah kami.

Langkah Jihye membawa kami ke depan ruang oprasi. Ibuku terduduk di bangku depan ruangan itu. Matanya merah, ketara sekali habis menangis.

“Umma…” Jihye memeluk ibu, dan tanpa kata-kata keduanya mulai menangis. Aku hanya bisa memeluk kedua perempuan yang sangat berarti untukku. Apapun yang terjadi nanti, aku harap itu yang terbaik untuk kami.

Setelah setengah jam berbagi pelukkan, Jihye mulai tenang dan tertidur di pangkuan ibu. Ibu mengelus rambut JiHye dalam diam dan menatap lantai. Aku tahu ini menjadi pukulan berat untuknya. Hingga tak lama aku memutuskan untuk bangkit dan membelikan minuman untuk ibu.

Ya Tuhan. Aku tidak berharap banyak.

Kembali aku mengacak rambut. Kepalaku pusing. Ini terlalu memberatkan. Aku butuh seseorang. Disampingku. Mendengarku. Menjadi tumpuanku. Dan seketika ada satu nama dikepalaku.

Kim Jaejoong.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil ponsel dari saku dan mengirim pesan singkat.

“Aku membutuhkanmu”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kau tahu, Jaejoong tidak membalas pesanku pada hari itu. Bahkan setelah pesan itu terkirim pun, hingga detik ini tidak ada telefon darinya. Entahlah, aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaanku seperti apa.

Kemarin ayahku meninggal setelah melalui 5 jam oprasi. Sekarang jam 6 sore, dan kami hendak mengkremasi ayah setelah sanak saudara kami rata-rata sudah datang.

Aku berjalan menusuri lorong rumah sakit, setelah dari bagian administrasi. Kematian ayah menjadi pukulan telak untuk ibu. Aku bisa melihat pertahanannya yang hancur dan menangis histeris kemarin. Begitu juga dengan Jihye.

Sudah terbayang diriku menjadi kepala keluarga setelah ini.

Langkahku terhenti saat aku melihat Jaejoong lewat, sekilas. Mataku membesar dan tanpa sadar aku mengejarnya dari belakang.

‘Apakah EunJae ada di rumah sakit ini?’

Penasaran. Sekali saja aku ingin melihat bagaimana sosok EunJae yang berhasil merebut semua perhatian Jaejoong.

Hahaha, aku membuntuti Jaejoong seperti stalker. Menyedihkan.

Langkahku berhenti saat dari jauh melihat Jaejoong memasuki kamar 103. Perlahan aku mendekati kamar itu dan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

Aku melihat Jaejoong memberikan pelukan singkat pada seseorang di atas ranjang. Mereka tertawa dan menepuk pundak. Sedikit memiringkan kepala, aku bisa melihat wajah EunJae. Pembawaannya sangat dewasa dan tenang.

Aku terdiam.

Setelah itu aku berbalik arah dan meninggalkan kamar 103.

Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?

Hancur. Lebur.

.

.


TBC


Stay

Awalnya, hubungan kami sangat harmonis.

.

Hai, Jung Yunho disini.

Ah, jangan lupa kekasihku Kim Jaejoong! Hari ini perayaan 8 bulan sejak hari jadi kami.

Kami gay? Hahaha, ya begitulah. Dia membuatku dari straight menjadi gay, pesonanya benar-benar hebat.

Kami menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Semoga saja suatu hari kami bisa menghadap orang tua kami dan meminta restu. Aku tahu pasti susah, tapi aku berharap bisa bersama dengannya untuk waktu yang lama.

Ups, sudah jam segini. Aku ada janji dengan Jaejoong!

.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland


.

[Normal POV]

Awal bulan Oktober adalah awal dari musim gugur. Udara menjadi tiba-tiba dingin dan membuat Jaejoong dan Yunho memilih memakan ramen di kedai pinggir jalan. Dari jauh mereka hanya terlihat seperti sepasang sahabat yang memilih menghabiskan akhir pekan bersama. Sesekali menyeletuk tentang kondisi cuaca yang kian memburuk dan tugas-tugas kuliah mereka yang belum juga selesai.

“Hei Jae, rumahku kosong hari ini,” celetuk Yunho. Jaejoong memutar bola matanya, “Lalu?” balas Jaejoong.

Yunho memamerkan giginya dengan tampang polos, “Temani~” ucapnya manja, sambil menyengol Jaejoong yang duduk disebelahnya.

“Tidak mau, banyak tugas! Kalau menginap, aku tidak bisa konsentrasi.”

“Ayolaaah, nanti kubantu mengerjakan.”

“Bohong!” ujar Jaejoong.

Yunho melipat tangannya, “Masa kau tidak percaya pada pacarmu sendiri? Ayolah…”

Jaejoong tampak berfikir sejenak, “Baiklah, tapi kau bayar makanan kita?” tawar Jaejoong. Tanpa pikir panjang Yunho mengacungkan jempolnya, “Siap bos,” balas Yunho.

Jaejoong mendelik, “Paman, aku mau tteokbokki satu!” ujarnya tanpa melihat ekspresi kaget Yunho.

“What?! Aku mau membayar bukan berarti pesan lagi,” Yunho tidak setuju.

Jaejoong mendengus, “Yasudah tidak jadi menginap.”

Arasseo, pesan sesukamu,” ucap Yunho sebal dan membuat Jaejoong tertawa ringan lalu mengecup pipi kanan Yunho sekilas.

Yunho hanya bisa mengulum senyum mendapat perlakuan manis. Mereka mulai berbincang ringan dan sesekali tertawa meledek.

“Loh, Jaejoong?”

Merasa ada yang menepuk pundaknya, Jaejoong menoleh dan terkejut mendapati teman SMA-nya dulu ada disana, “HyunJoong?” Tanya Jaejoong tidak percaya, “Duduk, duduk, apa kabar?”

Hyunjoong tertawa ringan, “Aku selalu baik, hahaha… Ngomong-ngomong, siapa?” Tanya Hyunjoong sambil menunjuk Yunho.

Jaejoong tersenyum, “Hyun, kenalkan ini kekasihku, Yunho.”

Hyunjoong tersenyum dan bersalaman dengan Yunho. Entah mengapa mereka berdua mulai akrab dan mereka bertiga mulai berbincang-bincang seperti sahabat lama.

Hingga sekitar 20 menit kemudian, Jaejoong memutuskan untuk pulang bersama Yunho, mengingat tugas kuliahnya yang masih menumpuk.

Jaejoong menepuk pundak Hyunjoong, “Senang bertemu denganmu. Hahaha, lain kali kita harus berkumpul lagi.”

Hyunjoong tertawa ringan, sebelum mengubah raut wajahnya menjadi serius, “Oh ya, Jae. Jung EunJae-sunbae terkena tumor otak. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit Seoul.”

Jaejoong terdiam sejenak. Eunjae mantan kekasihnya dulu, “Oh ya? Semoga dia lekas sembuh,” ucap Jaejoong datar.

Mereka saling menukar nomor ponsel untuk bisa tetap berkomunikasi. Setelah itu, Yunho mengambil tangan Jaejoong. Menggenggamnya erat dan berjalan ke halte bus terdekat.

Jaejoong mulai berceloteh tentang kehidpan SMAnya, sedangkan Yunho mulai merasakan firasat buruk.

.

.

.


.

.

.

[Yunho POV]

Akhir-akhir ini Jaejoong tampak lebih sering bermain dengan ponselnya. Biasanya setiap kami kencan dia akan mematikan ponselnya, tapi tidak dengan 1 minggu terakhir ini. Aku tidak mau curiga karena seakan-akan aku tidak mempercayainya.

Sampai suatu hari saat aku bermain ke flatnya, ponsel Jaejoong berbunyi nyaring saat Jaejoong sedang mandi.

Aku yang sedang menonton TV berjalan ke meja sebelah kasur Jaejoong untuk melihat siapa yang menelefon.

‘Jung EunJae Calling’

Dalam diam aku melihat nama itu. Sama sekali tidak berniat untuk beraksi apapun. Aku tahu semua nama mantan kekasih Jaejoong. Tapi dia pernah bilang EunJae adalah mantannya yang paling berkesan.

Panggilan terhenti, aku bernafas lega. Kembali ke sofa tempatku tadi duduk dan kembali fokus menonton TV. Tak lama Jaejoong keluar dari kamar mandi dan bertepatan dengan ponselnya berbunyi lagi.

Dari ekor mataku, kuperhatikan gerak-geriknya. Dia mengambil ponselnya, melihat layar ponselnya sebelum berjalan keluar menuju balkon untuk mengangkat telefon.

Aku hanya diam.

Jika keduanya memang tidak ada hubungan, kenapa Jaejoong harus menghindariku untuk mengangkat telefon dari EunJae itu?

10 menit

Aku mendengar suara tawa Jaejoong. Bahkan dia terlihat ceria untuk berbicara dalam telefon.

20 menit

Ada sedikit sesak di dadaku. Apa dia lupa aku disini?

30 menit

Aku melirik jam di flat Jaejoong. Sudah jam 10 malam. Sebaiknya aku pulang saja. Saat aku bangkit berdiri dan mulai membereskan barang-barang yang ku bawa tadi, kulihat Jaejoong masuk dari balkon.

“Loh, sudah mau pulang?” tanyanya polos.

Aku diam sejenak sebelum tersenyum kecil, “Sudah malam. Eomma pasti menungguku pulang.”

Jaejoong mengangguk mengerti, “Aku antar sampai depan,” ucapnya.

Kembali aku tersenyum sungkan, “Tidak usah sudah malam. Udara diluar sudah sangat dingin. Selamat malam Jae,” ucapku sambil berlalu.

Entah kenapa, aku bisa merasakan ini akan semakin buruk. Jujur aku tidak mau berfikiran negatif tentang Jaejoong, namun situasi memaksaku untuk berfikiran buruk tentangnya dan EunJae.

Aku mengusap wajahku sedikit kasar. Padahal aku tidak mengerjakan apapun, tapi rasanya penat sekali.

.


.

Kejadian seperti itu semakin lama semakin sering. Aku mulai terbiasa tidak diacuhkan oleh Jaejoong. Hei, aku sudah cukup sabar, kan?

Hari ini kami memutuskan untuk kencan. Jam 10 kami bertemu dan membeli tiket bioskop. Kami baru akan menonton jam 2 nanti, selang waktu kita gunakan untuk berjalan-jalan.

Sekitar jam jam makan siang, saat kami baru selesai makan, ponsel Jaejoong berbunyi.

Dengan sedikir ragu dia menatap layar ponselnya.

“Angkat saja, Jae…”

Jaejoong menatapku sejenak, sebelum dia mengangkat telefon itu, “Halo?”

“….”

“Apa, Hyun? Suaramu tidak terdengar.”

“…..”

Raut wajah Jaejoong berubah kaget, “EunJae kritis?”

Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Jaejoong tampak kalang-kabut dan banyak bertanya kepada Hyunjoong sementara aku sudah blank.

‘Pip’

Jaejoong mematikan telefonnya, “Yunho aku mohon pengertianmu kali ini saja,” ucapnya dengan raut bersalah, “EunJae kritis. Dia membutuhkanku, bolehkah…”

Oke, aku mengerti arah pembicaraan ini, “Baiklah, kau boleh kesana,” ucapku pada akhirnya.

Jaejoong tersenyum, “Kau yang terbaik. Kali ini aku yang bayar makanan ini,” Jaejoong memasukan ponselnya kedalam saku, “Aku duluan Yun.”

Setelah itu Jaejoong pergi. Aku diam.

Aku mengeluarkan dompetku yang terdapat tiket bioskop di dalamnya. Ini untuk pertama kalinya kencan kami gagal.

Entahlah, aku merasa kecewa. Kenapa Jaejoong bisa langsung begitu saja pergi saat mendengarkan EunJae kritis, tanpa tahu bagaimana perasaanku.

Ah… kepalaku jadi sakit.

.


.

Sejak kejadian itu aku dengan Jaejoong jadi semakin renggang. Hari ini saja aku sama sekali tidak bertemu dengannya dikampus. Sekitar jam 2 siang setelah mata kuliahku selesai, aku memutuskan untuk mendatangi flat Jaejoong.

Setidaknya untuk mengecek keadaanya. Sebab dia sama sekali tidak mengangkat telefonku.

Aku diam di depan flat Jaejoong. Sudah berkali-kali mengetuknya namun tidak ada yang membukakan pintu. Sampai aku meraih knop pintunya.

Astaga! Pintunya tidak dikunci.

Seketika ada bayangan buruk dalam kepalaku. Jangan-jangan Jaejoong diculik, atau flatnya kebobolan maling! Tanpa pikir panjang aku segera masuk dan hanya diam karena begitu sunyi.

Semua barang-barangnya masih rapi. Aku berkeliling flatnya untuk mencari Jaejoong tapi dia tidak ada di manapun.

Sampai mataku menatap ponselnya yang tergeletak di atas kasur.

Astaga ceroboh sekali.

Aku mengambil ponselnya dan hendak menaruhnya di dalam laci, sebelum sebuah kecurigaan hinggap di kepalaku.

Ada keinginan untuk membuka ponselnya. Tapi bukankan ini seperti merusak privasi seseorang. Eh, tapi Jaejoong kan bukan orang asing. Dia bahkan kekasihku.

Tanpa berlama lama aku menyalakan ponselnya. Ada 13 panggilan tak terjawab. 1 dari Hyunjoong dan 12 dariku.

Oke, pantas dia tidak menjawab telfonku, ponselnya tertinggal.

Setelah itu aku melihat panggilan masuk dan keluarnya. Aku hanya bisa tercengang saat nama Jung EunJae menjadi sebuah deretan panjang dari panggilan masuk dan keluarnya. Jika ada 10 panggilan masuk dari EunJae, dariku hanya ada 3.

Ada emosi yang mulai timbul, tanpa pikir panjang aku membuka pesan masuknya. Lagi-lagi aku melihat deretan pesan masuk dari EunJae. DIa bahkan tidak pernah sesering ini berkiriman pesan denganku.

Memang sedikit tidak sopan, namun aku membuka pesan terakhirnya. Ada pesan masuk dari EunJae.

‘Aku membutuhkanmu’

Hanya seperti itu saja. Jam pengiriman pesan itu jam 7 pagi tadi. Menurut analisisku, setelah mendapat pesan itu, tanpa pikir panjang Jaejoong segera pergi mendatangi EunJae sampai melupakan ponselnya.

Ya Tuhan… hatiku sakit.

.


.

Besoknya Jaejoong datang kuliah dengan wajah cerianya. Aku tidak tahu harus merespon sikapnya seperti apa. Tidak mungkin aku bersikap biasa saja setelah kejadian kemarin.

“Kenapa kemarin tidak masuk? Telefonku bahkan tidak dijawab sama sekali,” ucapku saat kami duduk untuk makan siang di kantin.

Jaejoong diam sejenak, “Kemarin aku sangat sibuk. Ponselku tertinggal lagi. Maaf lupa mengabarimu,” kekeh Jaejoong di akhir.

Aku tidak menyahutnya lagi dan memutuskan untuk makan. Ini benar-benar canggung.

Satu suap.

Dua suap.

Gah, banyak pertanyaan di kepalaku!

“Jae, kemarin kau pergi ke tempat EunJae, kan?” ucapku pada akhirnya. Rasa penasaran terlalu mengusikku.

Jaejoong diam dan menatapku lama, “Iya.”


TBC


.

Serius kau harus dengar lagu Stay dari Sugarland. Lagu Country, sih… tapi asli, makna dari lirik ini benar-benar menusuk. Download ya kalau sempat. Hehehe…

Dan ini tidak akan menjadi happy ending—menurutku. Hahaha.

Oh ya. Aku sedang suka membuat fanfiksi yang hanya 1-3 chapter saja.

Untuk melanjutkan fic lama aku pusing setengah mati. Cerita itu sudah 1-2 tahun yang lalu, jadi aku blm mendapatkan ide-ide segar untuk dilanjutkan. Hahaha…

 

Next

Step: Chapter 2

Yunho dengan berani menjulurkan tangannya hendak memukul sosok dibelakang Jaejoong, namun seketika sosok itu hilang. Jujur dia takut melihat wanita dengan wajah hancur itu dibelakang Jaejoong. Namun rasa kesalnya lebih besar, dia menduga sosok itu pasti yang selama ini menghantui orang yang dicintainya.

“Ada apa Yun?” suara Jaejoong membuat ekspresi Yunho yang awalnya keras menjadi lebih tenang.

Yunho mengecup bibir Jaejoong singkat, “Kita bicarakan besok. Ini akan sangat panjang.”

Saat Yunho hendak menarik Jaejoong kepelukannya, Jaejoong meghentikan pegerakannya, “Ceritakan sekarang. Apa yang kau lihat!” Jaejoong yang pada awalnya enggan mengatakan apa yang dia alami akhir-akhir ini, menjadi terpancing. Dia curiga Yunho melihat sesuatu yang selama ini menghantuinya.

Jika pada awalnya Jaejoong menutup diri, dan berusaha menanggungnya semua, kini dia sudah berada di titik dimana ingin menghancurkan apa yang selalu menghantuinya.

Yunho menghela nafas, sangat hafal dengan sifat Jaejoong yang mudah sekali berubah-ubah, “Aku melihat seorang wanita di belakangmu. Wajahnya hancur, rambutnya panjang. Seperti kebanyakan orang Jepang.”

“Jepang?” desis Jaejoong.

“Yeah…” dengan lembut Yunho mulai memeluk Jaejoong dan mengajaknya berbaring, “Kau pernah sebelumnya tinggal di Jepang, kan?”

Jaejoong hanya mengangguk pelan. Dia memeluk Yunho.

“Sekarang ceritakan apa saja yang kau alami selama ini sehingga meminta pindah rumah beberapa kali.”

Mendengar penuturan Yunho, Jaejoong terdiam sesaat. Memilah-milah apa yang harus dia ceritakan, “Aku selalu mendengar derap langkah seseorang mengelilingiku.”

Yunho mendengarkan secara seksama apa yang Jaejoong katakana sembari memikirkan jalan keluar untuk keduanya.

“Awalnya kupikir rumah kita yang sebelumnya berhantu sehingga aku memintamu pindah. Tapi suara langkah itu terus menghantuiku. Hingga kemarin aku juga mendengar suaranya juga. Aku setuju jika kau bilang dia orang Jepang. Dia memanggilku dengan sufik –kun, kemarin.”

Yunho terdiam lama. Terasa sedikit kekecewaan dalam hatinya, “Kenapa kau tidak cerita sejak dulu? Kalau dari dulu kau cerita, mungkin masalah ini cepat selesai…”

“Kau akan menanggapku gila jika aku bercerita seperti itu. Bahkan pada awalnya aku merasa diriku terlalu banyak pikiran dan stress sampai bisa seperti itu! Tapi makin lama itu terasa nyata! Ada yang menghantuiku!” Jaejoong berbicara cepat. Meluapkan banyak hal yang tidak Yunho ketahui.

Tidak ada gunanya jika berdebat. Yunho hanya semakin mengeratkan pelukannya terhadap Jaejoong, “Besok kau ikut aku ke kantor saja Jae. Sekarang tidurlah.”

Entah kenapa seketika perasaan hangat mengisi Jaejoong. Mempunyai pasangan yang pengertian seperti Yunho sangat membuatnya lega.

.

.


.

Step

chapter 2

-Z-

.


.

.

Jaejoong merenggut bosan dan berputar-putar di atas kursi kerja, ruangan Yunho. Dia bosan setengah mati, sedari tadi mata Yunho fokus ke komputer yang menampilkan banyak komentar konsumen perihal game yang dikeluarkan oleh perusahaan tempat Yunho bekerja.

Jaejoong melipat tangannya di atas punggung kursi dan menyandarkan kepalanya, “Aku bosan.”

“Mau bermain dengan game dari perusahaan ini?” tawar Yunho tanpa menoleh ke arah Jaejoong dia tau pria ini pasti tidak betah duduk diam.

Seperti mendapatkan mainan kesukaannya Jaejoong menegakkan punggungnya dan memasang wajah tertarik. Membuat Yunho yang melirik Jaejoong dari sudut matanya tertawa geli. Pria itu membuka lacinya dan mengeluarkan kaset game dan memberikannya pada Jaejoong, “Pakai saja PS3 di situ,” tujuk Yunho pada TV yang berada di pojok ruangan.

Tanpa berkata-kata lagi Jaejoong bangkit dan berjalan. Tidak lupa menyapa Jimmy yang duduk di meja yang bersebelahan dengan Yunho.

“Eh Yunho…” Jimmy menyikut lengan teman karibnya, “Tumben kau membawa Jaejoong kemari.”

Yunho menoleh sebentar ke arah Jimmy, “Ceritanya panjang. Mungkin selama 1 minggu kedepan Jaejoong akan terus mengekoriku,” membayangkan Jaejoong akan terus mengikutinya seperti anak ayam membuat Yunho tertawa geli.

“Hutang ceritamu banyak sekali, dude. Aku tidak akan sanggup mendengarnya,” canda Jimmy sambil menepuk pundak Yunho.

Yunho menyahut dengan tawa ringan. Setelah itu keduanya kembali fokus kepekerjaan masing-masing. Hingga tiba-tiba Jimmy menyeletuk, “Kau sangat mencintainya, hmm?”

“Pertanyaan macam apa itu?!” Yunho protes dan memukul punggung Jimmy.

“Hey, aku hanya bertanya. Habis kau terlalu memanjakan dan menjaganya, sih,” dengus Jimmy.

Yunho menyeregit, “Kau terdengar seperti perempuan yang sedang menstruasi dan cemburuan.”

“Maksudmu aku cemburu padamu?!” Jimmy menyipitkan matanya, “Hell no! Mary jauh lebih cantik.”

Yunho kembali tertawa lepas, temannya ini ada-ada saja. Selalu punya cara untuk menghiburnya, “Jaejoong itu lebih dari cintaku, Jim,” senyuman tipis terpampang di bibir Yunho, “Dia jiwaku.”

Hening sejenak. Jimmy memandang Yunho lama.

Dude, kau tiba-tiba seperti pujangga ya—”

YUNHOO!”

Ucapan Jimmy terpotong dengan jeritan keras Jaejoong. Yunho segera menoleh dan panik saat mendapati Jaejoong tidak berada di depan TV. Dia menerka-nerka datang asalnya suara. Suara itu terdengar seperti dari toilet.

Buru-buru dia bangkit dan berlari ke arah toilet dan membuka pintunya dengan kasar. Jantungnya sempat terhenti saat mendapati Jaejoong berdiri di sudut ruangan dengan raut ketakutan. Selanjutnya detak jantungnya menggila. Rasa khawatir membuatnya segera menghampiri Jaejoong dan mendekapnya erat.

Dengan penuh rasa takut Jaejoong balas mendekap Yunho, “A-aku baru saja selesai buang air kecil,” dengan suara bergetar Jaejoong menceritakan apa yang dialaminya, “Suara derap langkah itu muncul dan tiba-tiba lampu mati,” perlahan Jaejoong mulai terisak, “Saat lampunya nyala wanita itu berdiri di depanku. Memanggil namaku… aku takut sekali. Dia berusaha menyentuhku, Yun. But, Thanks God, kau datang. Terima kasih, Tuhan…”

Yunho hanya diam mendengar cerita Jaejoong. Dia hanya diam mengelus punggung Jaejoong.

Di sisi lain Jimmy hanya melihat keduanya dalam diam dari ambang pintu, “Dude, kalian berdua harus menceritakan apa yang terjadi kepadaku.”

.

Setelah mendengar cerita panjang tentang apa yang selama ini menghantui Jaejoong, Jim mengelus dagunya berfikir keras, “Aku punya kenalan paranormal.”

“Siapa?” Jaejoong antusias.

Jimmy melihat Yunho dan Jaejoong bergantian, “Aku akan memberikan nomor mereka.”

.

.


.

.

Sabtu pagi kediaman Yunho dan Jaejoong kedatangan tamu—sang paranormal. Wanita cantik dengan dandanan gotik dan asisten pria mengekorinya.

Melihat Jaejoong membuatnya tersenyum tipis. Pria itu memiliki mata yang teduh, “Kau yang menelfonku, kan?”

Jaejoong mengangguk dan mengajak wanita itu masuk. Memperkenalkannya dengan Yunho dan kini mereka berempat duduk di ruang tengah rumah mereka.

“Namaku Kim Jaejoong. Boleh kutahu namamu?”

Paranormal itu berfikir sejenak, “Panggil saja aku Megan. Nah sekarang kalian bisa mulai bercerita.”

Jaejoong mencari posisi nyaman untuk duduk dan hendak bercerita. Namun sang asisten menarik lengan Megan dan membisikan sesuatu.

Setelah mendapat informasi dari asistennya, Megan kembali menatap Yunho dan Jaejoong, “Ada seorang wanita berdiri di belakang Jaejoong…” ucapnya mengantung. Membuat Yunho dan Jaejoong sontak menoleh ke belakang. Namun keduanya tidak menemukan siapapun.

“Bagaimana kau bisa tahu?” Yunho buru-buru berbicara saat tidak mendapati siapapun dibelakang Jaejoong.

Megan menatap asistennya sejenak, “Asistenku memiliki indra keenam. Sosok dibelakangmu kah yang menghantuimu, Jaejoong?”

Keduanya mengangguk mantap.

“Sudah berapa kali dia menunjukan sosoknya?” tanya Megan lagi, “Apa dia pernah menyentuh salah satu dari kalian?”

“Dua kali. Sekali dihadapanku dan sekali dihadapan Yunho,” ucap Jaejoong, “Kemarin dia hampir menyentuhku namun Yunho berhasil mengagalkannya.”

“Jangan sampai dia menyentu kalian!” seru Megan, “Dia akan menjadi parasit jika kau mengizinkannya untuk menyentuh kalian.”

“Parasit?” gumam Yunho.

Sang asisten mengangguk. Dia tampak ingin berbicara sesuatu namun tak sampai ditelinga Jaejoong dan Yunho. Sang paranormal gemas dan menjitak asistennya, “Kau diam saja,” setelah itu ia balik menatap Yunho dan Jaejoong yang bingung, “Dia tidak bisa berbicara dengan bahasa manusia. Beruntung telingaku memiliki kelebihan dan dapat menangkap suaranya.”

Puas dengan jawaban Megan, Yunho dan Jaejoong mengangguk.

“Ehem” Megan berdeham, “Jadi, jika sosok itu menjadi parasit, mereka dapat mengambil alih tubuh kalian. Memang awalnya tidak akan sadar, tapi kalian akan menjadi sering pusing dan sering dihantui mimpi buruk. Setelah itu sering lupa dengan apa yang telah kalian lakukan. Hingga pada akhirnya mengambil alih hidup kalian.”

Jaejoong bergidik ngeri, dan Yunho menyadari itu. Dia berinisiatif memegang tangan Jaejoong erat. Berusaha membantu Jaejoong mengatasi rasa takutnya.

Sang asisten merenggut tidak setuju. Dia kembali menarik lengan Megan dan mengucapkan sesuatu yang tidak jelas.

“Tunggu. Dia bukan tipe parasit?” Megan menyerengit, “Dia tidak ingin menjadi parasitmu, Jaejoong. Dia ingin dirimu! Kau pernah berhubungan dengan hantu itu semasa kau hidup, Jaejoong?”

Jaejoong berdesis, “Aku tidak tahu dia yang mana, aku tidak kenal…”

“Heuk! Heuk! Heuk!” asisten itu berteriak.

“Jaejoong! Jaga ucapanmu. Kau membuatnya marah!”

Jaejoong segera membungkam mulutnya. Tanpa dia sadari tubuhnya merapat kearah Yunho. Mencari perlindungan.

Sang asisten itu kembali berbicara sesuatu.

“Dia bilang, dia akan berbicara dengan sosok dibelakangmu…”

.

.


.

.

“Kau kenal Yamada Yuuki?”

Jaejoong menautkan alisnya. Berusaha mengingat-ingat.

“Dia adik kelasmu saat di Jepang. DIa telah meninggal dan sangat terobsesi padamu.”

Jaejoong masih terus berfikir. Yunho dan Megan menunggu dengan sabar.

“Aku ingat,” celetuk Jaejoong pada akhirnya, “Dia yang menyatakan perasaannya padaku, sekitar 3 bulan sebelum pindah kemari.”

Yunho tampak tertarik, “Lalu?”

Jaejoong mengangkat bahu, “Aku tidak tahu, aku menolaknya pada saat itu.”

“Kata asistenku, dia bunuh diri setelah kau menolaknya. Arwahnya jadi mengikutimu sampai sekarang.”

Yunho menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa, “Jadi bagaimana? Kau paranormal kan? Punya ide?”

Megan mendelik ke arah Yunho, “Aku sedang berfikir.”

Jaejoong menopang tangannya dan ikut berfikir. Sampai dia merasa ada hembusan di belakang telinganya. Jaejoong terkekeh geli. Bisa-bisanya Yunho sempat bercanda padanya disaat seperti ini.

“Heuk! Heuk!”

Semua seketika menoleh kepada sang asisten yang tampak ketakutan, hingga…

Sreet

“AAARRGH!”

Tepat dihadapan mereka, tubuh Jaejoong terjatuh dari sofa dan terseret kebelakang. Seolah-olah ada yang menarik tubuh pria itu.

Yunho bergerak cepat, menahan tubuh Jaejoong. Sementara itu ketakutan luar biasa terlihat dari wajah Jaejoong. Dia bisa merasakan ada yang mencekik lehernya dan menariknya kebelakang, namun tidak ada siapapun disitu!

Hurt!” Jerit Jaejoong keras. Lehernya tertarik kebelakang sementara Yunho menahan kakinya. Tubuhnya sudah terlentang di lantai dengan bagian punggung keatas sedikit melayang.

Megan bergerak cepat. Dia mengeluarkan kitab suci serta salib, menatap sosok yang berada di belakang Jaejoong walaupun kasat mata. Namun dia dapat melihat seberkas bayangan gelap, “Terus tahan dia, Yunho!”

Sementara Megan merapalkan sesuatu, Yunho berada dalam dilema. Dihadapannya Jaejoong menjerit kesakitan, lehernya serasa akan dibelah. Sudut matanya sudah tergenang air mata. Yunho tidak suka ekspresi itu. Tapi jika dia melepaskan Jaejoong, dia tidak mau kehilangan pria ini!

‘TAKUT’ hanya satu kata itu yang terus melintas di kepala Jaejoong. Tubuhnya serasa mati. Ada seseorang memeluk lehernya keras namun seseorang itu tidak terlihat! Bagaimana kau bisa percaya dengan yang seperti ini?!

Cekikan dilehernya semakin keras, Jaejoong hampir tidak bisa bernafas. Hingga tiba-tiba dia merasakan sosok dibelakangnya berguncang keras, membuat tubuhnya ikut tergoncang. Dan sedetik kemudian Megan berteriak mengusir hantu yang mengincarnya.

Dan cengkraman di lehernya menghilang.

Tubuhnya terjatuh ke lantai.

Dan semua gelap

“Jaejoong!”

.

.

.


.

.

.

Yunho baru menutup pintu kamar mereka setelah merebahkan Jaejoong yang masih pingsan di atas kasur. Megan mendatanginya dengan tampang awut-awutan. Setelah mengusir hantu yang mengikuti Jaejoong, Megan terlalu syok mendapati Jaejoong pingsan secara mendadak.

“Terima kasih banyak, Megan…”

Megan mengibaskan tangannya, “Selama kau membayarnya sesuai perjanjian, tidak masalah,” jeda sejenak, “Bercanda. Ngomong-ngomong bagaimana Jaejoong?”

“Ah dia masih tertidur.”

Megan melirik jam tangannya sejenak, “Aku masih ada klien. Awalnya aku mau mengucapkan selamat tinggal pada Jaejoong,” ucap Megan. Ia lalu mengabil tangan Yunho dan meletakan kalung salib kecil, “Suruh Jaejoong gunakan itu. Mengantisipasi hantu wanita gila itu tidak menggangunya lagi.”

Yunho menatap kalung itu lama, “Baiklah. Kau mau pulang sekarang?”

Megan mengangguk.

“Akan ku antar sampai depan.”

.


~Epilog~

Hatinya yang patah telah membuatnya bunuh diri. Jaejoong pernah menolaknya.
Namun kini kembali hidup di dunia yang berbeda. Berambisi besar untuk mendapatkan Jaejoong kembali.

Sosok wanita yang meninggal dengan melempar dirinya ke rel kereta api mengikuti Jaejoong hingga ke Amerika. Dia tidak akan gagal. Cintanya kepada Jaejoong begitu besar.

Setelah pengusiran dirinya terhadap Jaejoong, Jaejoong diberikan kalung suci yang membuatnya tidak bisa mendekat. Namun malam ini Jaejoong ceroboh. Dia melepaskan kalung salib itu dan tertidur dengan nyaman di pelukan Yunho.

Wanita itu berlari ke arah kasur dan menatap Jaejoong yang tertidur, “Jejung-kun~”

Dia menyentuh pria itu, “Aku ada di sebelahmu…” lalu tawa pelan keluar dari bibirnya. Membuat Jaejoong terbangun dan menatap horror dirinya.

Bagaimana tidak Jaejoong terbangun dan wanita dengan wajah hancur dekat sekali dengannya.

“AAAAAARRRGHHH!”


END


.

Uhuk, ending ceritanya aneh.

 

Kritik dan saran?

-Z

 

Prev

Step: Chapter 1

Warning : AU, OOC, typo, Boys Love, Horror, tidak masuk akal karena ini imajinasiku.

Disclaimer : Themselvs

Rate : T

.


“Yun…”

“Ya?”

Aku rasa sebaiknya kita pindah rumah.”

.


.

Step

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.


.

Victoria Street number 26

.

BRUK

“Huft… Jae, barangmu terlalu banyak!” Yunho bertolak pinggang. Punggungnya serasa lepas setelah mengangkut banyak dus-dus ke dalam rumah barunya.

“Taruh saja, nanti aku yang bereskan. Kau ada rapat sebentar lagi, kan?”

Yunho menatap Jaejoong sebentar sebelum mengangguk setuju. Dia mendekati orang yang dinikahinya 3 bulan yang lalu dan mengecup dahinya cepat, “Aku akan pulang cepat. Nanti ku bantu bereskan.”

“Ya, ya, ya. Sana berangkat,” usir Jaejoong dengan kekehan ringan.

.


Dude, kau pindah rumah lagi?”

Yunho yang baru keluar dari ruang rapat dengan atasannya menoleh ke rekan sekerjanya. Sudah 2 tahun mereka berada di bagian produksi perusahaan mereka—ZDGame—sehingga sudah terbiasa berbagi tentang suka-duka mereka selama ini.

“Jaejoong meminta untuk pindah, Jim.”

Pria keturunan Amerika-Hawaii itu menyipitkan matanya heran, “Ini sudah kedua kalinya kalian pindah. Suamimu terlalu muluk. Jangan bilang dia meminta rumah-rumah yang mewah…”

Yunho mendesah, “Kita makan siang, yuk,” Yunho berjalan mendahului Jimmy ke arah kantin. Tidak perduli dengan Jimmy yang mengerang tidak suka.

Damn, kau mengalihkan pembicaraan!” Jimmy mengejar Yunho yang lebih tua 2 tahun darinya.

Dan seperti biasa… Yunho pura-pura tidak mendengar. Walaupun pada akhirnya akan sulit untuk menutup rahasia dari Jimmy Macken.

.


Seharian membereskan rumah barunya membuat Jaejoong lelah luar biasa. Setelah memasak makan malam dan mandi, dirinya sempat tertidur sejenak di sofa ruang tengah.

Sebenarnya dia tidak mau pindah ke sini. Rumahnya yang sebelumnya sangat bagus, halaman luas dan rumah yang tidak terlalu besar—sehingga dia tidak repot membereskan rumah. Bahkan dia sudah membeli beberapa kantung biji bunga untuk ditanam. Namun ada hal yang membuatnya memohon pada Yunho untuk pindah.

Ngomong-ngomong sudah jam 9 malam dan Yunho belum juga pulang. Jaejoong menghela nafas dan mengambil ponselnya dengan enggan. Padahal seingatnya tadi Yunho—suaminya—berjanji untuk pulang cepat.

Hallo?”

“Kau dimana?”

Dalam perjalanan, sayang. Ada apa?” suara Yunho terdengar ringan seolah lupa bahwa dia sudah berjanji pulang lebih awal.

“Tidak apa-apa. Hanya bertany—”

Tap

Tap

Tap

Tubuh Jaejoong menegang. Dia mendengar dengan jelas ada orang yang berjalan tepat dibelakangnya. Buru-buru dia menoleh. Matanya membulat takut saat mendapati tidak ada siapapun disana.

Jae? Hey? Kau masih disana?”

“Y-Yun…” suara Jaejoong bergetar.

Mendapati ada yang aneh dari suara Jaejoong, jantung Yunho berdetak lebih cepat, “Kenapa, Jae?

“C-cepat pulang… Please, suara itu keluar lagi!”

Suara apa, Jae?”

Tap

Tap

Tap

PleasePlease! Cepat pulang!” Jaejoong benar-benar ingin berlari sekarang juga. Suara langkah itu tiba-tiba menjadi lebih keras. Seperti ada orang yang berjalan memutarinya.

Oke! Aku hampir sampai sayang. Jangan tutup telfonnya!”

Ini bukan pertama kalinya! Tapi ini selalu membuat Jaejoong bergetar ketakutan, “Yunho… Yunho… Yunho… Yunho…” ia terus merapalkan nama Yunho. Berusaha mengurangi rasa takutnya. Dengan cepat dia menyalakan televisi dan membesarkan volumenya.

Namun bukannya reda, Jaejoong merasa ada angin menerpa bagian kanan tubuhnya. Seketika bulu kuduknya berdiri. Ruangan ini tertutup. Tidak mungkin ada angin yang masuk.

J-Jejung-kun…”

Itu bukan suara Yunho!

“AAAAAAAAAAARGH!”

.

.

.


.

.

.

Yunho hampir saja mati.

Saat diperjalanan dia mendengar teriakan Jaejoong melalui telefon dan di rumah ia mendapati Jaejoong tak sadarkan diri.

Kini dia hanya diam sambil mendekap orang yang paling dia cintai ini. Mengelus punggungnya beberapa kali. Sudah 1 jam dia menunggu Jaejoong untuk sadar. Dia sudah memeriksa seluruh tubuh Jaejoong untuk memastikan apakah ada luka atau apapun.

Sempat beberapa kali ia hampir tertidur karena menunggu, namun kembali terjaga dan mendekap Jaejoong semakin erat.

“Yun…”

Jaejoong sadar! Namun Yunho tidak kunjung melepaskan pelukannya. Dia sengaja, “Kau kenapa?”

“Aku ingin pindah lagi…”ada sepercik nada takut.

What the…” Yunho segera melepas dekapan keduanya dan memandang Jaejoong kesal, “Kau ingin kita pindah untuk ke tiga kalinya, huh? Bahkan belum ada 24 jam kita disini!”

Jaejoong menatap Yunho dengan penuh permohonan, “Yun… kau tidak mengerti.”

“Bagaimana aku mau mengerti jika kau tidak pernah bilang! Aku sudah cukup sabar mencari rumah hingga 2 kali seperti ini, tanpa menuntutmu untuk bercerita. Tidak ada pindah untuk yang ke tiga kalinya! Kau pikir uangku menggunung?”

Jaejoong terkejut. Yunho marah padanya. Tapi ini juga salahnya tidak mau—tidak berani—untuk bercerita.

“Maafkan aku, Yun…” Jaejoong menunduk. Membuat Yunho merasa bersalah.

Yunho kembali mendekap Jaejoong, “Maaf, baiklah. Kita pindah lagi. Aku akan cari perumahan yang lebih ramai.”

“Tidak usah. Maaf merepotkan.”

Yunho tergelak, “Kau tidak akan pernah membuatku repot, sayang…” Yunho mengecup bibir Jaejoong, “Besok aku akan bertanya pada Helen tentang rumah baru.”

Namun Jaejoong tetap memasang wajah kurang nyaman. Yunho pasti sangat kerepotan karenanya, “Y—”

“Jaa… aku mau mandi, kau boleh tidur duluan,” Yunho bangkit berdiri dan mengusap kepala Jaejoong, “Aku janji tidak akan lama.”

.


.

“Kau baru pindah kemarin, Yun! Sekarang mau pindah lagi?” Helen—salah satu teman Yunho yang menjadi agen untuk jual-beli rumah—tampak sangat terkejut dengan penuturan Yunho.

“Ini kemauan Jaejoong.”

“Ada apa dengannya?! Rumah yang kemarin memang kenapa? Tidak nyaman? Banyak serangga? Atau apa?!” Helen tampak terlihat kesal. Dia membolak-balik map besar berisi rumah-rumah yang perusahaannya jual.

Yunho menghela nafas berat. Dia menyadarkan seluruh tubuhnya ke punggung kursi yang dia dudukin, “Please, jangan banyak tanya. Aku sudah cukup pusing.”

Helen memutar matanya bosan, “Terserah. Sekarang kau ingin rumah seperti apa?”

Yunho menatap Helen sejenak, “Rumah… yang berada di keramaian. Sepertinya Jaejoong tidak terlalu suka tempat yang sepi.”

“Tidak usah terlalu bagus kurasa, yang penting nyaman,” tambah Yunho, “Kalau bisa tidak terlalu besar. Kesannya menakutkan.”

Helen mendelik, “Kau ini banyak maunya. Mungkin dua sampai tiga hari lagi aku akan telefon mengenai harga dan tempat. Pelangganku akhir-akhir ini menggunung.”

“Terserah kau. Kalau bisa secepatnya…”

“Kau harus mentraktirku jika sudah.”

“Baik, princess~”

.

.


.

.

Yunho terbangun saat Jaejoong memeluknya terlalu erat. Dia meraba tubuh Jaejoong yang memeluknya dari belakang.

“Kenapa?”

“T-tidak apa…”

Tapi Yunho tetap merasa ada yang aneh, “Hei, kenapa?” Yunho membalik tubuhnya dan menatap Jaejoong dengan mata yang masih setengah mengantuk.

“Tak apa. Tidurah lagi…”

“Jae, hidungmu berdarah!” Yunho segera bangkit. Memaksa Jaejoong untuk duduk juga. Matanya menelusuri wajah orang yang dia cintai penuh kekhawatiran. Dengan jempolnya Yunho mengusap darah yang mengalir dari hidung Jaejoong.

“Aku bisa sendiri, Yun.”

Yunho menggeram tidak suka, “Kau kenapa, Jae?! Sikapmu jadi aneh.”

“Aku tidak mau merepotkan, Yun…”

“Ya Tuhan… kau merepotkanku?! Jika kamu merepotkan, aku tidak akan pernah menikahimu! Kenapa kau jadi aneh, ha?!” Yunho bangkit berdiri, “Aku ambil tisu dulu.”

Setelah Yunho berlalu dari hadapannya Jaejoong menunduk dalam. Kepalanya terasa berat karena banyak hal menghantuinya. Jika tidak ada orang di dekatnya Jaejoong sama sekali tidak bisa merasa tenang selalu saja ada yang—

Tap

Tap

Tap

Matanya membulat. Suara langkah itu lagi…

“Yun…” Jaejoong memanggil nama Yunho berharap pria itu datang cepat!

Tap Tap

Tap Tap

Ketukan langkah semakin cepat.

“Yun!” Membuang harga dirinya sebagai laki-laki, Jaejoong menjerit keras.

Tap

Langkah itu terhenti. Mau tak mau Jaejoong ikut diam. Dia mengenggam selimutnya erat. Takut sekali. Ya ampun, Yunho… kau kemana?!

Drap Drap Drap Drap

Tuhan… suara langkah itu berubah menjadi hentakan kaki.

“YUNHOOO!”

Grep

Sebuah rengkuhan hangat membuat Jaejoong merasa lebih lega. Dengan erat dia membalas pelukan orang yang dia percaya akan melindunginya.

“Hey, kenapa sayang?”

“Aku takut… Please, kita pindah. Please!” perlahan Jaejoong mulai menangis.

Perasaan bingung menyerang Yunho. Dengan lembut dia mengusap punggung Jaejoong, “Kita akan pindah. Tenanglah.”

Perlahan Yunho melepas pelukannya. Dia ingin mengusap air mata Jaejoong. Namun seketika pergerakannya terhenti. Matanya membulat syok mendapati suatu sosok perempuan dengan wajah hancur dan berambut panjang di belakang Jaejoong.

“Jae, dibelakangmu…”


TBC


Hanya twoshoot. Promise, lanjutannya ku lanjutkan secepatnya. Tidak ada 1 minggu kuusahakan, namun berikan respon ne? Ini fanfic horror pertamaku. Janji endingnya tidak terlalu menyeramkan, karena jujur aku sendiri takut dengan horror.

Dan bagi yang menunggu fanfiksiku yang lain, aku mohon maaf sebesarnya. Aku berusaha melanjutkan namun selalu stuck. Menyebalkan sekali.

Terima kasih yang sudah memintaku untuk Update dari di twitter, facebook, line, BBM, PM, bahkan sampai whats app… Dude, dari mana kalian tahu nomorku? Wks.

.

Kritik dan saran?

-Z

 

Next

Song

Lagu, ‘Last TimeSecondhand Serenade’ terputar sehari penuh di ponselku hingga pada akhirnya menghasilkan fanfiksi ini.

Warning: AU, OOC, bit!YunJae, typo, boys love and also straight.
Rating : K
Disclaimer: Themselves

.

Song

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.


Pernikahannya dengan gadis yang sudah 2 tahun menjadi tambat hatinya sangat melelahkan. Setelah mengucap janji suci tadi sore, mereka langsung bergegas ke lantai paling atas suatu Hotel Bintang Lima di pusat kota Seoul, untuk mengadakan resepsi.

Dan kini tepat jam 10 malam baru mereka memasuki salah satu kamar yang sengaja mereka pesan untuk menghabiskan malam pertama.

Sang pengantin wanita tampak sibuk membereskan dandanannya dan bergegas membasuh diri. Membuatnya bosan menunggu, hingga matanya tak sengaja menatap setumpukan hadiah pernikahan mereka.

Tanpa basa-basi dia bangkit berdiri dari posisinya dan menuju kea rah meja yang berisi hadiah pernikahan mereka.

Berbagai macam ukuran kado membuatnya tertarik. Beberapa dia ambil dan menggoncangkan kotak tersebut untuk memperkirakan benda apa yang ada di dalamnya.

“Ini seperti suara parfume…” dengusnya saat mendengar suara riakan air dari dalam kotak berwarna merah darah.

“Ini malah terdengar seperti suara beras. Haha…”

Namun tak lama dia mendapati gulungan kertas yang diikat dengan pita merah, diantara para kado yang saling bertumpukan. Membuat dia menautkan alisnya heran. Apa orang ini hanya memberikannya sebuah kertas ucapan selamat? Huh…

Ia menarik pita merah yang mengikat kertas itu dan membiarkannya melayang sejenak di udara sebelum terjatuh ke lantai. Membuka gulungan kertas yang setelah dia perhatikan terlihat sangat lecek seperti sudah diremas-remas sedemikian rupa.

“Partitur?”

Alangkah terkejut dirinya saat melihat bahwa kertas itu berisi sebuah partitur lagu. Goresan pinsil serta coretan-coretan masih terihat baru.

Manis sekali… ada yang membuat lagu untuk pernikahannya.

Lagu didalamnya dituliskan menggunakan bahasa Inggris yang sedikit asing baginya. Ketika ia membuka lembaran selanjutnya, dia melihat jelas sang penulis menuliskan namanya di ujung kiri bawah, seolah lagu itu memang hanya diperuntukan untuknya.

Ah! Tidak ada tulisan dari siapa lagu ini! Dia sudah membolak-balik kertas rapuh itu namun masih belum bisa menemukan dari siapa kertas lagu ini berasal.

Ia diam sejenak untuk berfikir. Namun tak lama dia tampak buru-buru melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam dompetnya. Dalam hati dia berniat mempelajari lagu itu dan menyayikannya untuk istrinya. Juga sebagai tanda terima kasih secara tidak langsung kepada sang komposer.

“Yun?”

Pria yang bernama lengkap Jung Yunho itu segera membalikan tubuhnya ke arah istrinya yang tampak sangat segar setelah mandi. Bibirnya menyunggingkan senyum sebelum mendekati tubuh istrinya dan memberikan kecupan mesra di dahinya. Tak lama kecupan hangat mulai terjadi hingga pada akhirnya kedua pasangan suami-istri itu melewati malam pertama mereka penuh cinta.

.

.


.

.

2 Minggu Kemudian…

Tanpa sepengetahuan istrinya, Yunho diam-diam pergi ke studio milik saudaranya. Di dalam dompetnya terdapat partitur yang dia dapat dulu, yang baru hari ini dia sempat dia mainkan. Setelah 10 hari berbulan madu dengan istrinya di Inggris.

Yunho duduk di atas piano dan membuka partiturnya. Berlatih sejenak mengenai nadanya sebelum masuk kedalam lagu.

I’m stuck with writing songs just to forget
What they really were about
And these words are bringing me so deeply in debt
That I don’t think I can dig my way out
I couldn’t breath you in

Pria tampan itu menghentikan caranya memainkan piano dan mulai berfikir. Lagu yang diberikan padanya… seperti lagu sedih. Kini dia menjajarkan seluruh partiturnya dan mulai membaca liriknya secara acak.

 ‘And my heart is torn in two, thinking a days spent without you’

‘I want you to know that I’d die for you’

‘If you are alone, make sure you’re not lonely’

‘I know I’m not the only one’

Yunho terdiam lama. Ini seperti lagu yang berisi tentang patah hati. Kenapa diberikan untuk pernikahannya?

Kemungkinannya hanya satu, orang itu tidak menyetujui pernikahannya. Antara ia mencintai istrinya atau dirinya. Tapi tunggu… sang pencipta menuliskan namanya, berarti lagu itu untuknya.

Yunho mulai menyandarkan tubuhnya dan mengambil nafas berat. Entalah, dia bukannya kecewa diberikan lagu seperti ini. Dia malah merasa kasihan dengan orang tersebut. Entah siapapun dia atau dimanapun dia berada, ia berdoa agar orang itu mendapatkan kebahagiaannya sendiri.

.

.

.


.

.

3 Tahun Kemudian…

Minggu ini agak berbeda. Jika setiap akhir pekan akan Yunho habiskan dengan berjalan-jalan bersama keluarga kecilnya, kini dia berencana untuk diam saja dirumah bersama istrinya dan anaknya yang 3 minggu lalu genap berumur 1 tahun.

Setelah makan malam, ia duduk di atas sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi.  Beberapa kali memindahkan stasiun televisi karena tidak ada yang membuatnya tertarik.

Hingga istrinya datang dengan sekotak keripik.

Istrinya merebut remote darinya dan mulai memindahkan ke saluran kesukaannya. Penghargaan Musik? Huh, terserah saja… Yunho sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan ajang seperti ini.

Yeobo, aku sangat suka Youngwoon! Suaranya bagus sekali!”

Yunho tertawa sejenak, “Aku lebih suka kau menanyi untukku…”

Melihat istrinya tampak kesal karena dirinya malah membalas dengan gombalan, Yunho hanya berpura-pura tidak memandang istrinya.

Gyuut

“Aduh! Yak… kenapa kau malah mencubitkuu?!” Yunho merenggut sebal.

“Nakal!” sekali lagi istrinya malah menepuk paha Yunho sebelum kembali fokus pada acara di televisi.

.

“My heart is torn in two, thinking a days spent without you”

Yunho terdiam sejenak saat mendengar nada serta lirik lagu yang sangat familiar di telinganya. Buru-buru dia ikut mengalihkan pandangannya ke televisi untuk mencari tahu siapa yang menyanyi lagu itu.

Lagu yang diberikan padanya 3 tahun lalu saat pernikahannya… dulu dia sudah berusaha mencari tahu siapa yang membuat lagu sedih itu untuknya walaupun pada akhirnya nihil.

Dan kini dia mendapati lagu itu dinyanyikan oleh seorang yang dia yakin adalah orang yang sama dengan sang pemberi partitur lagu padanya.

Yeobo! Itu Youngwoon!”

Yunho bahkan tidak mendengar ucapan istrinya. Dia terlalu fokus untuk dapat melihat siapa yang menyanyikan lagu itu karena kini kamera masih menyeret dari jauh sang penyanyi.

Namun saat kamera mendekati sang penyanyi, Yunho tersedak.

“Kim Jaejoong?!” pekiknya.

“Kau tahu dia?”

Yunho berubah gugup dan menatap istrinya ragu, “Teman kuliahku dulu,” setelah itu Yunho kembali menatap televisi, tidak mengubris istrinya yang memekik senang.

Yunho tidak terlalu terkejut sebenarnya jika Jaejoong telah menjadi penyanyi sukses. Suara pria itu memang bagus sekali, ditambah dari dulu memang itu yang dia cita-citakan.

Jaejoong adalah temannya dulu yang tiba-tiba menjauh darinya secara misterius. Yunho pun tidak mau mengambil pusing. Setelah lulus dan mulai bekerja kabar Jaejoong benar-benar hilang.

Tapi, yang membuatnya tersedak kaget adalah kenyataan bahwa Jaejoong pernah mencintainya dan hancur karena dia memilih orang lain. Semua itu terlihat jelas dalam hadiah lagu itu…

So I’ll sing this song to you for the last time…


END


Kepalaku rasanya mau pecah saat tahu laptopku hilang… T_T
Sebenarnya aku sudah banyak melanjutkan beberapa cerita disana. Change, Bleed, Innocent, Rumor dan Halo separuhnya sudah aku buat. Love in the Ice sudah jadi 2 chapter. Beberapa sketsa fic baru rancanganku dan lain sebagainya yang tidak bisa ku ingat dengan lengkap.

Tapi semuanya sudah hilang dan aku juga sudah lupa apa saja yang sudah kutulis T__T)

Niatnya memang mau kupublish namun saat itu ada kendala perihal modem -_-)

Ya sudahlah… pokoknya aku minta maaf sekali jika nantinya agak lama update, aku harus berusaha meningat apa yang aku tulis biar nantinya nyambung (?) hahaha…

.

Kritik & Saran

—Z

Another

Another

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Warning: AU, OOC, Hurt, Meaningless, typos, dsb.
Rate: T
Disclaimer: Themselves

.


PLAK

Yunho hanya diam saat tangan Jaejoong melayang kearahnya. Entahlah. Mau marahpun segan karena ini semua adalah kesalahannya. Tatapan tajam dari Jaejoong membuat dia merasa tertekan, hingga ia hanya dapat menundukan kepalanya saja.

Bahkan, nafas memburu Jaejoong terdengar hingga ketelinga. Padahal jarak pria itu satu meter dihadapannya. Kemarahan Jaejoong begitu terasa.

Mereka hanya diam sampai Yunho mengeluarkan suara, “Maafkan aku.”

Bukan kata-kata sebagai balasan. Jaejoong malah mendorong Yunho hingga pria itu membentur tembok dibelakangnya, “DIMANA OTAKMU TOLOL?!” sekali lagi pukulan melayang. Lebih keras daripada yang tadi dan menghantam perut Yunho. Membawa rasa sakit didaerah itu. Ringisan Yunho terdengar namun tidak membuat Jaejoong mengiba.

Melihat Yunho yang malah menunduk memegangi perutnya membuatnya lebih kesal, “Tegakkan tubuhmu dan TATAP AKU!”

Walaupun perih, namun Yunho berusaha menegakkan tubuhnya dan menatap Jaejoong. Jaejoong menatapnya kembali tajam. Mata Jaejoong bergerak menelusuri matanya seolah mencari kebenaran.  Jantung Yunho terenyuh perih saat mendapati ada genangan dimata kekasihnya.

Tapi, sebelum air mata itu menetes Jaejoong mundur. Dia mengusap wajahnya kasar dan kembali menatap Yunho.

“Terserah kau,” ucap Jaejoong tiba-tiba dengan suara parau, “Nikahi saja gadis itu. Kita berpisah.”

Kenyataan pahit yang harus Yunho dapat, dia telan mentah-mentah. Sejak tiga hari yang lalu, dia sudah menduga Jaejoong akan mengatakan ini padanya. Namun dia tidak pernah tahu bahwa rasanya begini sakit.

Di sisi lain, rasa kecewa mengelitik Jaejoong. Di suatu bagian kecil sudut hatinya, dia ingin Yunho berusaha mempertahankannya. Namun di depan matanya sendiri, Yunho hanya diam saat dia mengatakan kata-kata berpisah.

“Ambil barangmu yang ketinggalan di sini, lalu pergi,” ucap Jaejoong lagi. Dia berjalan cepat meninggalkan Yunho menuju dapur. Mengambil segelas air putih sambil mengusap wajahnya berkali-kali agar tidak menangis.

Namun dibandingkan dengan Jaejoong. Yunho hanya terdiam diposisinya. Semua perkataan Jaejoong membuatnya kaku dan enggan bergerak. Tapi daripada dibilang enggan, tepatnya Yunho tidak sanggup.

Dia ingin menangis dan berlutut di depan Jaejoong agar menarik perkataanya kembali namun itu akan percuma.

“CEPAT AMBIL! KENAPA DIAM?!”

Bentakkan Jaejoong membuatnya tersentak. Dengan gerakan kaku Yunho bergerak meraih satu persatu barang-barangnya yang tersebar di apartemen Jaejoong. Hingga dia sendiri tidak sadar begitu banyak hal yang dia taruh disini. Baju, kunci, kaset, dan masih banyak lagi.

Namun diam-diam dia meninggalkan beberapa benda yang membawa kenangan dengan Jaejoong. Contohnya kamera Polaroid milik mereka. 4 bulan mereka menyisihkan gaji keduanya hanya untuk membeli kamera ini.

Hingga pada akhirnya, satu tas penuh berada di tangan Yunho. Dia menolehkan kepalanya mencari Jaejoong, dan tepat saat itu juga dia mendapati pria itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun ketika tahu Yunho balas memandang Jaejoong, ia malah memalingkan wajahnya ke arah lain.

Mereka diam.

Tapi Yunho berinisiatif dan duduk di sofa tepat sebelah Jaejoong.

Mianhae…” lirihnya.

Jaejoong mendengus mendengar perkataan maaf yang membuat telinganya terasa panas, “Pergi sana! Kita tidak punya urusan lagi.”

“Aku mabuk saat itu, Jae… kejadiannya satu bulan lalu saat pesta ulang tahun Changmin,” cerita Yunho.

Jaejoong mendelik, “Memangnya aku perduli, hah?!,” pria itu bangkit berdiri dan menatap tajam Yunho, “Pergi sekarang, sebelum aku mengusirmu, Jung!”

“Gadis itu yang datang, Jae! Aku bersumpah. Aku bahkan tidak tahu hari itu aku menanamkan benihku padanya,” balas Yunho. Dia ikut bangkit berdiri dan menatap Jaejoong.

“Terserah! Aku tidak perduli dengan ceritamu! PERGI!”

Please, Jae! Aku belum bisa pergi,” ungkap Yunho pada akhirnya. Dia berada di kondisi di mana selalu ada Jaejoong di sisinya. Jika dia dipaksa untuk pergi, Yunho mulai membayangkan bahwa dirinya tidak sanggup menempuhnya, “Aku salah! Maafkan aku. Maafkan aku, please…”

Jaejoong menunduk, “Pergi Yun…”

Yunho memegang tangan Jaejoong. Mencari mata kekasihnya yang tertutupi poninya sendiri, “Jangan begini, Jae… kau menyakitiku.”

“KAU PIKIR PERBUATANMU TIDAK MENYAKITIKU?!”

Genggaman tangan itu terlepas. Perkataan Jaejoong menusuknya. Tepat disana… tepat di hatinya. Sakit sekali…

Bentakkan Jaejoong membuat semuanya bungkam. Yunho hanya menatap nanar kearahnya, sedangkan Jaejoong menunduk dalam dengan punggung yang mulai bergetar pelan.

“Beri aku waktu…” lirih Yunho.

Jaejoong mendongak. Dia sudah siap membentak Yunho lagi jika pria itu memintanya waktu untuk saling memaafkan dan kembali berbaikan.

“Satu jam saja,” lanjut Yunho yang membuat Jaejoong bungkam. Malah perkataan pria itu membuat Yunho memiringkan kepalanya sedikit karena bingung.

Namun Yunho menatap Jaejoong tepat dimatanya. Membuat pria dengan mata besar itu terpana.

“Beri aku satu jam sebelum aku meninggalkanmu…”

.

.


.

.

.

Sebenarnya saat Yunho memeluknya dari belakang dan membuatnya terjebak dalam kondisi yang sunyi seperti ini, membuat Jaejoong sedikit sebal.

Pria yang kini menjadi mantan kekasihnya tampak diam membenamkan wajahnya di punggung Jaejoong. Sesekali menggesekkan wajahnya disana atau menghirup wangi tubuh Jaejoong. Ditambah dengan tangan Yunho melingkari pinggangnya erat.

Namun jika teringat 15 menit yang lalu Yunho meminta tambahan waktu satu jam membuat Jaejoong tidak bisa melawan. Dia membiarkan Yunho melakukan apapun di waktu yang singkat ini.

“Jae… Jaejoong…”

Yunho menggumamkan namanya begitu merdu membuat Jaejoong bergidik. Dia mencengkram tangannya sendiri.

“Aku akan banyak berbicara. Kau diam saja,” lanjut Yunho. Dia mengeratkan pelukannya. Bahkan agak terlalu keras, membuat Jaejoong merasa sedikit sesak. Tapi Yunho melakukan ini bukan karena dia ingin melukai Jaejoong. Dia tidak ingin pria dalam pelukannya ini pergi.

“Maafkan aku, Jae… Maafkan aku,” suara lirih dari belakang punggungnya membuat Jaejoong terenyuh.

Tapi Jaejoong menurut dengan perkataan Yunho. Dia tidak akan berbicara apapun!

“Kau pasti melihatku seperti pengkhianat, Jae… maafkan aku,” tangan Yunho yang berada di pinggangnya bergetar.

“Bodohnya aku. Seharusnya mabuk bukan menjadi alasan! Jika hatiku milikmu, seharusnya dengan naluripun aku bisa tahu dan tidak menyeleweng…”

“Maafkan aku…” satu tangan Yunho naik dan memeluk dada Jaejoong. Wajahnya dia benamkan pada punggung Jaejoong. Dan detik itu jaejoong bisa merasakan ada titikan air menempel di bajunya.

“Aku bahkan tidak tahu bagaimana sakitnya perasaanmu saat aku mengatakan, ‘aku telah menghamili Bora’. Aku bodoh… seharusnya kau menamparku 10 kali biar aku sadar diri, hehehe…” tawa kecil Yunho. Dia bukan sedang menghibur diri! Dia menertawakan dirinya sendiri.

Diam… Yunho tampak asyik mengusap wajahnya di punggung Jaejoong.

“Padahal kita baru putus sekitar 20 menit,” bisik Yunho memutus keheningan, “Tapi aku sudah ‘merindukanmu’, Jae.”

Jaejoong menutup mulutnya. Ucapan Yunho menohok. Kalimat itu begitu simpel, namun makna yang mengatakan bahwa, Yunho merindukan Jaejoong untuk tetap bersama, membuatnya sakit. Ditambah Yunho mengatakannya secara spontan. Hingga dengan begitu nakal, satu tetes kristal menetes dari mata pria cantik itu.

“Bagaimana dengan besok ya? Kalau aku rindu, bolehkan aku kesini?” gumam Yunho, “Aku masih boleh menelfonmu, kan, Jae… kau tidak akan menghapus nomorku, kan?”

Tangisan Jaejoong mengeras. Dia mengigit bibirnya sendiri menahan isakan. Egonya masih dia pertahankan agar Yunho tidak mendengarnya menangis.

“Aku mohon jangan berhenti kirimi aku pesan… Ingatkan aku untuk makan. Ingatkan aku untuk tidak bekerja terlalu malam. Aku tidak bisa jika kau tidak mengingatkan.”

Diam…

“Hehehe, aku seperti orang bodoh berbicara sendiri,” perlahan Yunho melepaskan pelukannya. Dia mengusap matanya sendiri. Sejujurnya matanya sudah mengalirkan air mata sunyi sedari tadi.

Perlahan Yunho membalikkan tubuh Jaejoong. Namun dia malah mendapati mantan kekasihnya menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Yunho bukan orang bodoh yang tidak tahu apa yang Jaejoong lakukan. Tanpa basa-basi dia menarik Jaejoong kedalam pelukannya. Memeluknya begitu erat.

Jaejoong tidak membalas pelukannya. Yunho pun sudah cukup sadar diri, tidak menuntut Jaejoong untuk melakukan apa yang biasa mereka lakukan dulu.

Tapi sekali lagi saja.

Yunho ingin egois.

Pria itu melepaskan pelukannya dan perlahan menarik kedua tangan Jaejoong agar tidak menutupi wajahnya sendiri.

Dia tidak perduli dengan wajah Jaejoong yang tampak berantakan. Dengan lembut dia menyatukan bibir keduanya.

Jaejoong memberontak! Tentu saja. Pria dihadapannya sudah bukan siapa-siapa lagi.

Tapi Yunho menahan lehernya. Cukup lama bibir mereka saling bersentuhan. Namun ketika Yunho hendak melumat bibir Jaejoong, pria itu mendorong pundaknya keras, membuat sentuhan mereka terlepas.

“Aku membencimu,” desisan halus dari Jaejoong.

“Aku sudah membuang rasa cintamu, Jung…”

Bekas air mata di sisi wajah Jaejoong tidak mengurangi tatapan tajam pria itu kepada Yunho, “Jangan harapkan apapun dariku lagi!”

“Dan aku bersumpah! Aku bisa mendapatkan kekasih yang lebih baik dari padamu!”

Ottokae? Ada pisau transparan menghujam perasaan Yunho.


END


Holy shit. Temanku menyanyikan lagu ‘Bernafas Tanpamu – Lyla’ tepat disampingku sambil memetik gitar. Sedikit kurang aku terbawa suasana dan ikut sedih. Terutama saat part, “Akulah serpihan kisah masa lalumu, yang sekedar ingin tahu, keadaanmu…” Eventough my friend is a boy, I heard his voice trembling.

.

Fanfiksi ini juga sedikit balas dendam *?* untuk Yunho-ku~ Arra~ “Dasar jelek *merong*”

.

Kritik & Saran?

Karma

Aku hanya akan menjadi orang tolol jika melupakan awal hubungan kita.
Itu begitu indah hingga aku lupa bahwa aku bertindak jahat…
Dan kini, karma menimpaku.


KARMA

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Warning: OOC, bit!Canon, typo, Boys Love, Broken.
Rate: T
Disclaimer: Themselves


2001. Kita bertemu di tahun ini kan? Maaf aku sudah lupa kapan tanggal tepatnya. Namun tahun itu adalah saat aku lulus dari audisi yang diadakan oleh S.M. Entertaiment dan mulai mengikuti training di perusahaan ini.

Dibesarkan dengan 8 kakak perempuan membuat orentasi seksualku sedikit menyimpang. Mungkin aku bisa tergoda melihat wanita. Namun aku juga bisa menyukai pria juga. Bisex

Maka kau terlihat berkilauan di mataku. Aku yang pada saat itu hanya remaja biasa sangat mudah terpikat oleh pesonamu. Dadaku berdebar kencang di dekatmu. Kau tegas. Mempesona. Membuatku ingin mengenalmu lebih lanjut.

Dan fiolla~

Kita berteman, semakin dekat dan dekat. Walaupun aku harus menelan kenyataan pahit bahwa kau memiliki kekasih, tidak apa-apa…

.

Hari itu aku menatap nanar isi dompetku. Bagaimana aku bisa tinggal di kota kejam—Seoul—ini tanpa uang yang mencukupi? Aku belum bayar sewa. Uang makan juga terbatas… bisa-bisa aku diusir.

Meminjam uang ke noona juga tidak enak. Bagaimanapun mereka juga pasti membutuhkan uang.

Di tengah rasa gundah itu, aku bisa merasakan ada yang mengetuk pintu. Buru-buru aku berlari kecil dan membukanya. Mendapatimu meringis kecil sambil menatapku memelas.

“Jae, jeball… boleh aku menginap di sini? Aku tidak punya tempat lagi.”

Kau meminta izin untuk menginap. Oh Tuhan… bagaimana bisa aku menolak? Tentu saja dengan senang hati aku mengajakmu masuk. Namun di saat itu kegundahanku mulai muncul.

Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman di tempat ini. Maka dari itu aku tidak mempersalahkan kau menetap tanpa mengetahui masalahku. Kuberikan jamuan yang baik agar kau nyaman.

Dan walau hanya sebentar, aku benar-benar menikmati saat itu.

Kita bahkan tidur di satu ranjang yang sama. Hal itu membuatku sama sekali tidak bisa terlelap. Kau membuatku lupa jika aku masih memiliki hutang yang menumpuk hanya dengan melihat wajahmu yang tertidur saja.

Ini gila! Perasaan ini menggerogotiku begitu cepat.

.

Hari mulai berganti, begitu juga dengan bulan. Kupikir jarak antara kita akan semakin dekat, namun aku lebih merasakan kita mulai jauh. Temanmu bertambah, kau dekat dengan kekasihmu. Walaupun kita bersahabat sekalipun, ini tetap terasa jauh. Sedangkan duniaku hanya berotasi padamu.

Aku tidak habis pikir kenapa kau begitu mencintai wanita itu. Jika dibandingkan denganku, aku rasa aku lebih baik! Mungkin kesalahan hanya terletak pada kenyataan bahwa dia adalah perempuan, sedangkan aku pria!

Rasa iri atas kekasihmu, membuatku senang sekali saat mengetahui kita akan dibuat dalam satu grup dengan nama Four Season bersama Kangin dan Heechul. Berarti aku bisa mulai membatasi hubungan antara kau dan orang di sekitarmu karena kita akan mulai sibuk! Ditambah waktu kita bersama akan bertambah drastis. Ini seperti menyelam sambil meminum air.

Dari anggota Four Season aku sangat iri kepada Heechul. Bagaimana bisa kalian begitu dekat? Bahkan banyak yang menyangka Heechul adalah kekasih wanitamu! Kalian tampak mesra dan membuatku iritasi. Pria itu bisa dengan mudah bergelayut padamu, padahal aku harus mati-matian hanya untuk melakukan itu! Hanya bertatapan denganmu saja sudah cukup membuat kerja jantungku menggila. Bagaimana bisa aku menyentuhmu?

Sedikiit saja aku ingin kau melirikku. Aku terkadang mendekati pria atau wanita lain tepat di hadapanmu. Dalam arti aku berusaha keras agar kau cemburu lalu kau menyadari perasaanmu! Namun nihil. Kau malah sering mengodaku jika dekat dengan wanita dan memastikan hubungan kami bertambah dekat. Aku kecewa dengan responmu.

Namun pada akhirnya Four Season tidak terbentuk. Kita malah dimasukan ke dalam sebuah grup…

DONG BANG SHIN KI!

Kisah cinta kita dimulai dari grup ini…

.


.

Kita satu grup. Bulan terus berjalan dan aku semakin mengenal pribadimu yang sangat sempurna untukku. Kau terlalu baik! Itu terkadang sering menyakitiku…

.

Hari itu kau menutup diri di dalam kamar membuat aku, Yoochun, Junsu dan Changmin bingung. Dimana leader kami yang setiap kali selalu ceria?

Sebagai yang tertua aku berinisiatif mendatangimu. Sebelumnya meminta kepada yang lain untuk tenang agar aku bisa berbicara denganmu. Ketika dongsaeng kita menyanggupinya dan mereka duduk di ruang tengah dengan tenang.

Tanpa suara aku memasuki kamar kita berlima dan melihatmu tertelungkup di atas kasur. Menggengam ponselmu dan aku mendengar deru nafasmu yang payah.

Aku bukan orang bodoh yang tidak tahu bahwa kau sedang menangis. Gerakku sedikit cepat dan segera aku meraihmu. Kau menatapku dengan genangan air mata.

Aku tidak pernah melihatmu sekacau ini. Terutama ketika kau bergerak memelukku dan menangis.

“A-aku sudah memberi segalanya, Jae… tapi dia pergi,” raungmu dalam tangis.

Dan seketika aku bisa menyimpulkan semuanya. Kau berpisah dari kekasih yang selama ini kau puja-puja. Yang kau cintai dengan sangat…

Kubalas pelukanmu dengan erat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Namun dari sisi hatiku yang paling dalam, diam-diam aku senang. Kau kalian berpisah! Akhirnya, perjuanganku tidak sia-sia…

Perjuangan? Kalian belum tahu apa yang aku lakukan pada gadis itu, kan?

Lebih baik kalian tidak usah tahu daripada pada akhirnya satu persatu dari kalian mulai menyalahkanku atas keterpurukan Yunho.

.

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menjadi sangat terobsesi denganmu. Aku berusaha menjauhkan semua pria atau wanita yang sering mengerling nakal kearahmu. Lihat betapa menjijikkan mereka. Namun bukan berarti aku tidak menjijikan…

Aku—Kim Jaejoong—rela melakukan apapun hanya untuk mendapatkanmu. Entah dengan cara yang benar atau tidak. Bukankah itu terlihat menggelikan? Hanya dengan yang kumiliki saja, aku bisa menggoda banyak orang agar memaksa mereka menjauhimu!

Yun, mungkin kau tidak tahu. Namun selama ini aku selalu mencuri ciumanmu. Yoochun pernah mempergokiku, namun kupaksa dia bungkam. Dia pasti sangat terkejut, aku yang selama ini dia kira straight ternyata adalah seorang gay yang mengincar leader mereka.

Hahaha…

Setelah itu, entahlah. Terlalu banyak kejadian sehingga terkadang aku melupakannya. Padahal kalau boleh jujur aku ingin mengingat semua kenangan kita dengan terperinci.

Ah iya! Kau tahu kan awalnya SM ingin mengangkat pamor DBSK dengan mengadakan 2U couple? Kau dan Yoochun. Gezz, itu menggelikan. Kalian sering mengikuti Variety Show hanya berdua dan membuatku kesal. Namun tidak mungkin kan, aku membenci anggota boyband-ku sendiri?

Namun beruntung 2U couple kalah pamor dengan YunJae couple! Syukurlah aku selalu mendekatimu sehingga mata para fans yang tajam jadi memandang kita. Membuat nama ‘YunJae’ dielu-elukan.

Karena itu, aku pikir, aku adalah manusia paling berbahagia di dunia ini.

.

“Yunho, kau dan Jaejoong tolong semakin dekatlah.”

Kau yang tengah meminum cola menengok ke arah manager, “Maksud hyung?”

“Dibandingkan 2U, YunJae lebih menjadi incaran fans”

Aku berbinar senang dan menatap manager-hyung penuh harap. Ditambah dengan Yunho yang menurut saja membuatku semakin girang.

Setelah manager-hyung pergi, Yunho menyikutku sambil tertawa pelan, “Ini akan menjadi sangat canggung, kkk~”

Alisku berkerut melihatmu, “Wae?”

“Kita kan sahabat~”

.

Awalnya memang perkataanmu menyakitiku, namun tak lama rasa sakit itu hilang. Aku bahagia, benar-benar bahagia. Dalam setiap Variety Show aku dapat dengan bebas bermanja padamu dan mengatakan hal-hal baik tentang kita.

Kebahagiaanku semakin membuncah saat kita melakukan drama ‘Dangerous Love’ kita tampak sangat lihai untuk saling bersentuhan. Saat melakukan adegan di dekat kotak telepon, wajah kita sangat dekat. Astaga, ini tidak baik untuk jantungku.

Dan setelah itu waktu berlalu. Semua Cassiopeia pasti ingat saat zaman ‘O-Jung Ban Hap’ kita menjadi sepasang kekasih saat itu. Padahal ini semua hanya berawal dari pembicaraan biasa!

.

“Kkk~ aku rasa banyak sekali yang menyukai YunJae,” ucapmu. Kau sedang duduk di depan komputer dan tampak sedang mencari artikel tentang kita.

“Kupikir kita memang terlihat cocok,” balasku tanpa ragu.

“Benarkah?”

“Ne.”

Hening. Aku tampak sibuk mencari cara untuk membuka topik. Namun aku tak menduga malah kau yang membuka pembicaraan di antara kita.

“Jae, pernahkah kau berfikir bahwa kau mencintaiku?”

Aku jelas kelabakan. Kutatap Yunho dengan pandangan tidak percaya, “Ah, kenapa bertanya seperti itu?”

Bibirmu melengkung dan menatapku, “Aku sering berfikir kalau aku mencintaimu…” kau menggaruk tengkukmu sejenak saat mendapatiku melihatmu dengan tatapan tidak percaya, “Err… lupakan saja, Jae.”

“Ah tunggu! Kalau kau bertanya apa aku pernah berfikir bahwa aku mencintaimu, aku jawab IYA! Iya, Yun! Aku mencintaimu!” karena kau hendak menutup topik kita, tentu saja akau buru-buru menyelanya.

Dan seketika kedua wajah kita memerah. Bahkan lidahku rasanya sangat kelu untuk berbicara. Hingga kita hanya saling menatap malu dan tanpa sadar tangan kita mulai terpaut. Awal hubungan yang manis, eoh?

.

Aku terlalu bahagia. Kita benar-benar menjadi sepasang kekasih. Ini semua diluar nalarku. Kita mulai berbagi banyak hal dan saling terbuka satu sama lain. Aku mulai mengurangi egoku yang dulu menjauhkanmu dari teman-temanmu. Karena tanpa aku harus menjauhimu dari mereka, kau tetap milikku!

Yun, maaf ya~ Tapi aku sering berfikir kau masokis! Kalian pasti tahu kan banyak sekali kecelakaan yang menimpa Yunho. Dari setiap kecelakan itu semuanya berhasil membuatku stress memikirkan kondisimu. Terkadang di kepalaku hanya berpikiran hal-hal buruk  yang bisa saja menimpamu untuk kedepannya.

Walau aku tidak terlalu perduli, kuakui Tuhan sangat baik. Jika tidak mungkin dia sudah membawamu pergi dan membuat hatiku hancur.

.

Kau tahu namja, bukan?
Akan sangat wajar jika kami membutuhkan hal-hal biologis seperti yang dibutuhkan oleh para namja pada umumnya. Dan ini juga terjadi pada kita—DBSK member.

Saat itu kami menonton film porno bersama. Dulu kami agak sering melihatnya bersama namun karena padatnya jadwal kami harus menikmati ini sendiri-sendiri.

Kau berada di sampingku. Semua lampu mati dan hanya meninggalkan LCD TV yang menampilkan adegan dewasa.

10 menit

Yoochun beranjak ke kamarnya.

15 menit

Junsu buru-buru pergi ke kamar mandi.

20 menit

Changmin masuk ke kamarnya.

Hanya tinggal kita berdua. Sejak lama aku ingin mencoba hal baru dalam hubungan kita. Sehingga dengan perlahan aku menyentuh tanganmu. Kita berdua sama-sama tegang. Adengan di TV semakin memanas.

Sampai aku lupa sejak kapan kita mulai berciuman. Dan aku memberikan diriku padamu.

.

Kita tinggal satu drom. Bersama 3 orang yang lebih muda dari pada kita, Yun. Sehingga membuat kita berdua adalah keluarga yang memiliki 3 orang anak. Tentu saja dengan senang hati aku menjalankan perananku. Memasak, beres-beres, menasehati dongsaeng kita.

Semua tampak sempurna. Hingga aku dapat merasakan sifatku sangat berbeda dibandingkan dulu. Terkadang aku menjadi suka merajuk dan sangat manja padamu. Aku berusaha tidak menjadi egois lagi agar tidak membuatmu kesal. Mati-matian aku berusaha menjadi sosok yang cocok denganmu. Kubuat sytle yang aku pakai serasi denganmu. Apa kau memperhatikan itu? Tentu tidak. Aku hanya terlalu terobsesi denganmu hingga melakukan hal ini. Namun aku tetap yakin kau mencintaiku, kok.

Selain itu, terkadang aku menyesali ketidak awasanku untuk melihat masa depan. Kau tahu, pada 2009 kupikir lebih baik kita tidak pernah ke Gwangju!

.

“Jaejoong-ah. Kau adalah sosok yang sangat baik. Kau cerdas, kau manis, telaten, bahkan kau begitu sopan. Namun bagaimanapun kau tidak bisa bersama dengan Yunho.”

Kita berdua atau lebih tepatnya aku terpaku mendengar perkataan ibumu.

Ini penolakan secara halus, kan?

Setelah ini tidak ada pembicaraan sama sekali antara kami semua. Aku memilih kembali ke hotel tempat di mana kami menginap. Meninggalkan Yunho yang entah apa yang dia bicarakan dengan orang tuanya.

Sesampainya di hotel aku terduduk di atas kasur. Lama… sungguh lama sekali aku duduk terdiam disini.

Sampai aku sendiri tidak sadar aku mulai menangis. Dengan payah aku memeluk lututku sendiri dan menenggelamkan kepalaku disana.

Sejak 2001. Banyak sekali yang telah aku lakukan untuknya. Begitu banyak hingga terasa menyakitkan. Setelah berhubungan badan, kupikir ini dapat membuat hubungan kami menjadi semakin intim.

Jujur, selama ini aku tidak pernah perduli gunjingan dari orang lain mengenai orentasi seksualku. Tapi saat mendapat penolakan dari kedua orang tua Yunho, membuatku sangat sedih. Bagaimanapun aku dan Yunho sangat mencintai satu sama lain. Hubungan kita juga bukan hanya hubungan ringan yang biasa dilakukan oleh para remaja.

“Huhuhu…” sadar isakanku semakin keras, ku raih bantal dan membenamkan kepalaku disana.

Kau tahu… aku berfikir bahwa, jika orang tua Yunho tidak setuju dengan ini, Yunho pasti akan menuruti kedua orang tuanya walaupun ini akan menyakiti kami berdua. Bagaimanapun orang tua adalah prioritas, bukan?

CKLEK

Pintu terbuka dan aku tahu itu Yunho.

Kau tidak berkata apapun malah mendekapku. Namun dengan cepat aku mendorongmu. Aku sedang dalam kondisi buruk. Bagaimanapun… walaupun itu adalah Yunho, aku tidak ingin diganggu.

“Jae, dengarkan aku. Maafkan orang tuaku, ne?”

Sengaja aku tidak membalas perkataanmu dan memilih diam. Aku menatap ke arah lain tanpa menganggapmu ada disana.

“Aku ingin memberimu penjelasan, kumohon dengar…”

Aku tetap diam! Sebenarnya aku ingin menendangmu keluar dari tempat ini, tapi rasanya tidak tega.

Namun keterdiamanku malah membuatmu melunjak dan semakin cerewet. Kepalaku rasanya berdenyut kesal karena ini. Tanpa pikir panjang aku menatapmu nyalang.

“Yun pergilah, sebelum aku membencimu.”

Wajahmu tampak syok. Namun tak lama kau mengiyakan dan pergi.

Aku tidak tahu bahwa egoku kembali muncul ke permukaan. Sejak hari itu aku selalu menghindari Yunho. Tidak berbicara, tidak saling bersentuhan. Tidak perduli dia selalu membujuk dan mengajakku berbicara. Terkadang aku berfikir apakah dia tidak lelah melakukan ini?

.

“Mwo? Kau, Yoochun dan Junsu memutuskan untuk keluar?”

Aku mengangguk mantap atas ucapan Yunho, “Kami sudah membicarakan tentang ini, Yun. Bukankah akan lebih baik jika kau dan Changmin ikut? Ayo, kita harus bergerak cepat.”

Yunho menggeleng, “Tidak! Aku akan tetap tinggal.”

Jika dulu kami sering seiya sekata, sekarang dia malah menolak ajakanku, “Yoochun dan Junsu sedang membujuk Changmin. Kau tidak mungkin tinggal disini sendirian, kan?”

“Walaupun sendirian aku tetap berada di sini,” ujarmu mantap.

Aku menatapnya lama, “Ternyata cuman sampai disini saja…”

“Maksudmu?”

Aku menatap Yunho kesal, “Rasa sukamu padaku! Bagiamana bisa kau tetap tinggal sedangkan aku tidak ada! Kau mulai terbiasa tanpa kehadiranku, kan?”

Kau kelabakan, “Apa maksudmu, Jae? Ini sama sekali tidak ada hubungannya. Kau memutuskan untuk keluar aku tidak masalah, sungguh. Ini tidak ada sambungannya dengan perasaanku padamu!”

Dalam otakku hanya terpikir kata, ‘Mengapa?’ sehingga sangat sulit merespon dan memutuskan jalan keluar dari hal ini.

“Terserah kau, Yun! Lebih baik memang semuanya berakhir, kan?! Aku pergi!”

Hari itu aku meninggalkan Yunho dengan suara debaman pintu yang sangat keras.

.

Bagiku itu adalah masa lalu yang menyakitkan. Aku masih sangat mudah terpancing emosi walaupun umurku sudah 20 tahun lebih! Tak lama setelah kejadian itu, aku baru dapat berpikir tenang setelah berada di JYJ dan mulai menyesali semuanya.

Dari awal ini bukan kesalahan Yunho namun aku selalu melimpahkan semua padanya. Jika saja waktu itu kami bisa berbicara, mungkin ini tidak terjadi. Sedikit kurang aku menyesal…

Kenapa baru saat kepalaku dingin semuanya terlihat jelas, namun semuanya terlambat! Berulang kali aku mencoba menghubungi Yunho atau Changmin. Beratus-ratus kali aku mencari artikel tentang mereka. Namun sangat minim…

Mereka seolah menghilang… padahal kata maafpun belum pernah aku lontarkan.

Kalian ingat kan berapa lama aku jatuh cinta padanya? Sudah 8 tahun! Dan dengan kondisi seperti ini aku mulai gila merindukannya.

.

Hari ini adalah hari ulang tahunku ke-26.

Banyak yang aku undang untuk merayakan ini. Teman lama, kerabat, ah… banyak sekali!

Kutuangkan kebahagiaanku disini. Kami berbincang banyak hingga mulai mabuk.

Setelah banyak yang mabuk di sekitarku dan kondisi mulai tenang tiba-tiba nama Yunho terlintas. Menyakitkan. Selama ini dia tidak pernah absen dari hari ulang tahunku. Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun tanpanya setelah 9 tahun.

Ditengah rasa pusing yang menjalar, aku mulai mengingat semua dosaku padanya.

Dan entah sejak kapan aku mulai menangis keras dan menjadi bahan tontonan temanku yang masih sadar. Otakku terlalu penuh akan namanya.

“YUNHO!”

Lalu gelap.

.


.

Dan kembali ke masa sekarang. Aku terkadang merasa gila karena merindukanmu sebagai kekasihku!

Kita berbaikan, tentu saja! Aku senang mendengar hal itu~ Namun berbaikan disini bukan dalam konsep yang aku inginkan. Aku ingin kita berbaikan dan kembali menjadi sepasang kekasih. Namun kau MENOLAKNYA! Entah kesalahanku ada di mana, namun saat kau memilih untuk berteman saja dibandingkan kembali menjadi sepasang kekasih sangat menyakitiku.

Beberapa kali kau berkunjung hanya dengan label teman di dadamu. Label yang sangat ingin aku cabut.

Ke over protektif-anku kembali! Aku menjadi sangat mudah cemburu hanya karena hal kecil yang kau lakukan. Ditambah dengan Changmin yang berada di pihakmu.

Tch, aku sudah menduga magnae itu memiliki rasa padamu, Yun! Menyebalkan. Dia bisa tetap berada di sampingmu, sedangkan aku tidak!

.

.


.

.

[NORMAL POV]

“Oke latihan selesai!”

“Ne!”

Yunho dan Changmin tampak berbincang sebentar sebelum keduanya berpisah dan akan melakukan kegiatan masing-masing. Yunho yang pada saat itu memang tidak memiliki jadwal berniat pulang untuk istirahat.

Hampir saja botol minum di tangannya tidak jatuh. Dia sedikit terkejut melihat gadis yang dulu menjadi tambatan hatinya sebelum dia berada di Dong Bang Shin Ki. Wanita cantik itu tampak menunduk sejenak sebelum mendekati Yunho.

Annyeong~”

Karena gugup, buru-buru Yunho membalas ucapan wanita itu, “Annyeong, k-kita berbicara di kantin saja bagaimana?”

Wanita itu tersenyum, “Arra~”

.

“Bagaimana kabarmu, Yun? Kita sudah lama sekali tidak bertemu dan berbincang seperti ini,” wanita itu tertawa pelan dan memandang Yunho.

“Aku baik,” Yunho menatap gadis itu tepat di matanya. Dia… dia adalah orang yang pernah sangat dia cintai dulu, “Kau ingin memesan sesuatu?”

“Ah, tidak usah aku sudah makan. Ah, ya ngomong-ngomong aku turut sedih atas grup-mu yang terpecah, Yun..”

Yunho tertawa pelan, “Itu sudah tiga tahun yang lalu. Kami sekarang fokus ke album baru, ‘Catch Me’.”

Hening.

Yunho menyesap kopinya sambil berfikir apa yang harus harus dibicarakan.

“Yun, kau dan Jaejoong masih berpacaran?”

Mworago? Yunho membulatkan matanya kaget. Bagaimana wanita ini bisa tahu? Hanya anggota member DBSK dan orang tuanya yang mengetahui hal ini, “Bagaimana kau…”

“Ah, maaf kan aku. Lupakan saja,” wanita itu menyadari kesalahan dalam ucapannya. Buru-buru dia mengalihkan pembicaraan namun hal ini membuat Yunho tambah curiga. Tanpa permisi dia memegang tangan wanita itu dan menatapnya lekat, “Beritahu aku, kumohon,” ucap Yunho lirih.

.

Yunho hanya terdiam melihat gadis yang ada di hadapannya. Wanita itu sudah menceritakan semuanya. SEMUANYA!

Bagaimana sejak 2001 Jaejoong telah terobsesi dengannya. Bahkan Jaejoong juga yang membuat gadis ini memilih untuk berpisah darinya. Hah… Ini terasa berat. Yunho mengusap wajahnya sendiri dan membawa perhatian gadis itu.

“Maafkan aku, Yun…”

Yunho hanya diam dengan tubuh yang bersandar ke punggung kursi, “Aku tidak tahu harus seperti apa,” ujar Yunho pelan, “Kau pergi lalu Jaejoong datang menghiburku sehingga pada akhirnya aku mencintainya. Jika diperinci memang Jaejoong yang salah, namun—“

Pria itu menatap wanita dihadapannya sekilas sebelum melempar pandangannya ke arah lain, “—Aku tidak bisa menyalahkan siapapun.”

.


.
.

Yunho terdiam sambil menatap ponselnya. Jaejoong mengirimkan pesan padanya. Setelah 3 bulan mereka sama sekali tidak saling berhubungan.

‘Hei kau di Korea, kan? Mainlah ketempatku.’

Kira-kira begitu isi pesannya. Membuat Yunho bingung antara mengiyakan atau tidak. Namun tak lama pria itu bangkit berdiri bersiap ke apartement Jaejoong. Tidak salahkan,s jika dia mengunjungi teman dekat?

.

Di tangan Yunho sudah terdapat satu kantung plastik besar. Dia mampir ke supermarket  sebelum kesini. Tidak ada salahnya membawa buah tangan, bukan?

Uh, udara dingin sekali. Yunho sudah melakukan banyak gerakan untuk membuat tubuhnya hangat. Bel pun sudah dibunyikan beberapa kali, namun Jaejoong belum membukakan pintu.

Ini sudah jam 2 pagi, jadi wajar saja jika Jaejoong ternyata sudah tertidur.

Sekali lagi Yunho menekan bel. Dan tiba-tiba pintu langsung terbuka, membuat dia terkejut.

“Cepat masuk, brr, dingiin!”

Yunho tertawa pelan dan segera masuk. Sifat Jaejoong sejak dulu memang tidak pernah berubah. Pria melepas sepatunya, “Lama sekali membukanya.”

“Aku tidur tadi,” ucap Jaejoong sambil menguap. Matanya menangkap objek yang berada di samping Yunho. Ada kantung putih besar disana, “Kau beli apa?”

“Camilan dan bahan makanan. Aku lapar,” Yunho mengambil kantung putih itu dan berjalan ke arah dapur. Menaruhnya di atas meja dan mengeluarkan isinya. Sedangkan Jaejoong duduk di atas meja samping Yunho. Memperhatikan bahan-bahan yang dikeluarkan teman akrabnya.

“Egh, kenapa kau beli kimchi instan?” Jaejoong mengangkat bungkusan itu sambil menatap heran Yunho.

Sekilas Yunho melirik Jaejoong sebelum kembali mengeluarkan bahan lain yang dia beli, “Itu untukku. Aku pusing jika tidak ada kimchi saat ingin.”

Jaejoong turun dari atas meja dan membuka kulkasnya, “Aku ada dua kotak kimchi. Kau bisa ambil satu.”

“Kau yang buat?”

Jaejoong menutup pintu kulkas, “Ibuku yang buat. Nanti kubungkus untukmu.”

Yunho mengangguk samar menjawab Jaejoong, “Aku ingin makan sesuatu yang hangat.”

Ramyun?” canda Jaejoong. Dia melihat Yunho dengan senyuman tipisnya. Namun Yunho menanggapinya dengan memutar bola matanya, membuat tawa Jaejoong lepas, “Bercanda. Aku tahu kau sudah muak dengan makanan instan seperti itu,” Jaejoong menggunakan apron dan bersenandung kecil.

“Jadi kau mau buat apa?”

Jaejoong membuka lemari dan mengambil panci besar, “Kimchi stew? Kau ingin kimchi, kan?”

Yunho meringis, “Sebenarnya tidak terlalu ingin.”

“Lalu kenapa beli kimchi instan?”

“Kan aku bilang itu untuk jaga-jaga jika aku ingin~” ujar Yunho sambil berjalan ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Menunaikan hasrat yang sedari tadi dia tahan selama perjalanan.

Jaejoong hanya mendengus. Dia memilih untuk mulai memasak. Memanaskan air, masukan bumbu. Selagi dia sedang sibuk memotong bahan yang akan menjadi isi. Ketika ia memotong kentang, Jaejoong tersentak kaget karena Yunho menepuk bahunya.

“Jangan mengagetkanku!”

“Maaf-maaf,” ujar Yunho sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Setelah memperhatikan Jaejoong yang sedang momotong bahan, tanpa permisi pria itu mengambil pisau lain dan membantu Jaejoong.

Kaget tiba-tiba Yunho membantunya, Jaejoong menoleh, “Tunggu saja di ruang tengah. Biar aku yang memasak.”

“Ajari aku memasak.”

“Eh?”

Yunho mengangkat bahunya, “Semenjak tinggal di tempat yang terpisah dari Changmin aku harus bisa mengurus semuanya sendiri,” ucap Yunho sambil memotong kentang, “Sangat merepotkan karena aku hampir tidak bisa memasak.”

Jaejoong mengangguk setuju. Pasti sangat merepotkan tinggal sendiri dan harus mengurus semuanya sendirian. Karena diapun begitu, “Tapi bukannya kau bisa buat stew?”

“Kemarin aku coba. Rasanya mengerikan,” Yunho bergidik saat mengingat stew buatannya. Hampir tidak ada rasanya! Pokoknya sangat aneh.

Jaejoong tertawa lalu menyikut Yunho. Pria itu hanya meringis dibuatnya.

“Aku ajari tapi setelah itu kau yang mencuci piring.”

“Siap, bos!” Yunho meletakkan tangannya di atas alis. Memasang posisi hormat, membuat Jaejoong lagi-lagi tertawa.


.

DUK!

“Ah!”

Yunho menoleh dan menarik Jaejoong mundur. Sungguh dia tidak sengaja mendorong pria itu hingga mau tidak mau dahi Jaejoong terbentur dengan lemari yang berada di sisi atas dapurnya. Salahkan dapur Jaejoong yang kecil hingga membuat Yunho tidak sengaja menyenggol Jaejoong ketika dia lewat.

“Tidak apa-apa?” Yunho melihat dahi Jaejoong. Sepertinya tidak terluka. Namun tadi suara benturannya lumayan keras.

“Hati-hati, dong!”

Yunho mendengus, “Salahkan dapurmu yang kecil,” Yunho melempar pandangannya ke seluruh dapur Jaejoong. Mencari alasan agar tidak disalahkan, seperti anak kecil, “Dan… apa-apaan ada ini?” dia menunjuk ke tempat gantungan handuk yang sangat panjang di sisi dapur Jaejoong, “Kenapa ada cucian dan handuk di dapur? Bukannya ini malah membuat cucianmu jadi bau?”

Sayangnya Jaejoong tidak mengubris. Sudah banyak yang mengatakan hal itu padanya, sehingga dia tidak perduli lagi.

Yunho berjalan mendekati gantungan handuk Jaejoong sebelum dia tertawa tertahan. Tentu karena ini, mau tidak mau Jaejoong menjadi penasaran. Ia menjeda kegiatannya dan melihat Yunho yang tampak menunjuk-nunjuk sesuatu.

“YAH!” Jaejoong mendorong Yunho dengan tubuhnya lalu buru-buru menutupi pakaian dalamnya yang sengaja dia gantung sebelah handuk.

“Warna merah dengan motif putih! Hahaha…” Yunho tampak tertawa puas setelah menemukan hal yang bisa dijadikan bahan ejekan. Bagaimana bisa Jaejoong yang sudah 28 tahun masih sangat kekanak-kanakan? Sama sekali tidak berubah sejak dulu.

Sedangkan di sisi lain Jaejoong sudah malu setengah mati. Bagaimana bisa dia sangat ceroboh? Dulu saat pembuatan DVD ‘Come One Over JYJ’ dia juga lupa menyimpan benda ‘keramat’-nya. Sehingga mau tidak mau pakaian dalamnya terekam dan kini tersebar di seluruh negri.

“Sudahlah! Untuk apa di bahas, sih?” bentak Jaejoong kesal, “Kau mandi sana. Aku akan selesaikan ini,” ucapnya sebelum kembali berkutat dengan peralatan masak.

“Oke, underwear merah,” ejek Yunho membuat Jaejoong mengerang kesal. Sebelum dapat menimbulkan kericuhan, pria itu memilih untuk langsung berlari kecil ke arah kamar mandi dengan kekehan ringan, “Aku pinjam bajumu, Jae~”

Langkah Yunho terhenti. Dahinya berkerut saat melewati lorong menuju kamar mandi Jaejoong. Sepertinya dulu di atas meja rias yang dekat kamar mandi Jaejoong tidak terlalu banyak kosmetik. Kenapa sekarang jumlahnya membludak?

Tangannya meraih salah satu lipbam yang di tutupnya terdapat tanda tangannya. Tidak lain itu adalah produk Missha yang dimana dia dan Changmin menjadi maskot produk itu. Namun yang Yunho pikirkan adalah, sejak kapan Jaejoong menggunakan Missha? Setelah berfikir sejenak, Yunho hanya menyimpulkan itu adalah pemberian fans. Bukankah ada banyak YunJae shipper maniak yang sering mengirimkan benda-benda seperti ini? Dia juga sering mendapat banyak benda dengan merk Tony Moly atau sesuatu yang berkaitan dengan Jaejoong.

Saat memasuki kamar mandi, Yunho kembali mengerutkan dahinya, “Itukan sikat gigiku,” tangannya mengambil sikat gigi berwarna putih dengan hiasan ungu tua. Sekitar 3 bulan yang lalu saat dia berkunjung kemari, Yunho ingat dia menggunakan sikat gigi ini.

Yunho mengusap sikatnya, “Basah?” dia diam sejenak. Ini tandanya ada yang menggunakan sikat giginya, kan? Dan satu-satunya orang yang bisa disalahkan adalah … Jaejoong.

Dia merenggut tidak suka dan memilih untuk mandi saja. Di kepalanya berkecamuk banyak hal. Seharusnya Jaejoong membuang sikat giginya, kan? Untuk apa disimpan? Dia berkunjung ke apartement ini juga terbilang jarang.

Tidak ada 10 menit Yunho menyelesaikan acara mandinya. Mengingat ini sudah sangat larut. Dengan handuk putih di pinggang, dia memasuki dress room yang dekat dengan kamar mandi. Memilih secara acak baju yang bisa dia gunakan. Toh tubuhnya dan Jaejoong tidak terlalu berbeda jauh. Namun matanya tertumbuk pada setumpuk pakaian yang berada di sisi ruangan. Dengan iseng Yunho membongkarnya. Namun pergerakannya terhenti saat mendapati bahwa setumpuk pakaian disitu rata-rata adalah pakaian yang hampir mirip dengan yang pernah dia pakai.

Singkatnya ini terlihat seperti couple T-shirt?

Perlahan tanpa dia sadari, ada rasa kesal menyeruak di dadanya.

Dengan asal dia menggunakan pakaian Jaejoong dan segera keluar dari dress room itu. Dia mendapati Jaejoong duduk di atas karpet sambil menonton televisi. Di depan Jaejoong terdapat meja yang awalnya kosong menjadi sedikit penuh dengan makanan-makanan di atasnya.

Berusaha melupakan rasa kesalnya, Yunho duduk di samping Jaejoong yang sedang makan, “Dari awal aku sudah bilang, beli meja makan.”

“Untuk apa meja makan kalau aku cuman sendiri?” balas Jaejoong yang membuat Yunho bungkam. Dia memilih untuk mulai makan saja dari pada membahas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dibahas. Lagi pula sebenarnya dia menyetujui apa yang Jaejoong katakan.

Dari ruangan luas itu hanya terdengar suara televisi yang menampilkan film action. Jika Jaejoong larut dalam film, maka Yunho sedang menimang-nimang apa yang akan dia bicarakan kepada teman baiknya itu.

Pria yang hanya berbeda dua hari dari Jaejoong itu menatap wajah Jaejoong yang tampak serius.

“Jae…”

Jaejoong agak tersentak saat Yunho menghancurkan konsentrasinya, “Ah, ya, kenapa?”

“Tidak jadi,” Yunho kembali fokus makan, “Nanti saja dibicarakannya.”

Jaejoong tidak suka pembicaraan yang setengah-setengah, “Jangan buat aku penasaran,” dia mematikan televisi menggunakan remot, lalu membenahi posisi duduknya agar berhadapan dengan Yunho.

Yunho memasukan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Dia juga merubah posisinya menjadi berhadapan dengan Jaejoong, “Pertama-tama, aku harap kau tidak marah. Aku minta maaf jika kau tersinggung,” dia menatap Jaejoong tepat dimatanya.

Jaejoong mengangguk mengerti.

Yunho menyentuh dadanya sejenak, menarik nafas dalam, “Bukankah seharusnya kau berhenti menyamakan apa yang kita gunakan?”

Jaejoong memiringkan kepalanya tidak mengerti, “Maksudmu?”

“Aku melihat banyak sekali pakaianmu yang mirip denganku, lalu sikat gigiku ada di kamar mandimu dan terakhir Missha. Sejak kapan kau pakai merk itu?” Yunho berkata dengan nada yang mirip seperti desisan. Takut-takut yang dia katakan bisa menyakiti Jaejoong.

Dan tentu saja itu menyakiti Jaejoong. Sangat. Pria itu hanya menatap Yunho dengan tatapan tidak percaya, tanpa berniat membalas apa yang Yunho katakan. Dan ini membuat Yunho bersalah, “Lupakan ucapanku, Jae,” ucap Yunho. Dia memilih untuk membereskan peralatan makan yang mereka gunakan dan membawanya ke dapur.

Bahkan Yunho menyempatkan diri untuk membersihkan seluruh peralatan masak itu. Terlihat jelas dia menghindari Jaejoong yang masih terdiam di ruang tengah.

Namun baru sampai di piring ke tiga, Jaejoong datang dan membatunya mengelap piring yang sudah dicuci.

Yunho menatap Jaejoong. Melihat pria itu menampilkan senyuman terpaksa, “Aku akan berjuang,” Jaejoong menjawab keinginan Yunho tadi.

Yunho mendesah, “Maafkan aku. Maksudku, maafkan keegoisanku.”

“Tak apa. Bukankan sebagai teman baik akan terlihat aneh jika kita memiliki banyak benda yang sama?” kekeh Jaejoong untuk mencairkan suasana. Namun bukannya membuatnya menjadi baik-baik saja, ini semua malah membuat kondisi mereka semakin kaku. Apa lagi Yunho sama sekali tidak menanggapinya.


.

Jaejoong terdiam melihat Yunho yang tampak asyik bercerita. Matanya menatap intes wajah Yunho yang menampilkan ekspresi yang berbeda-beda. Terutama saat pria itu tertawa karena ceritanya sendiri. Membawa desiran aneh di dadanya. Ada hasrat untuk menyentuh wajah itu.

Pada akhirnya tanpa sadar tangan Jaejoong terjulur dan memegang pipi Yunho. Namun saat pria cantik itu hendak mendekatkan wajahnya dengan Yunho, Yunho mendorong pundak Jaejoong menjauh dan mengguncang pria itu.

“Hey, Jae! Apa-apaan ini?” pekik Yunho. Dia sangat kaget saat Jaejoong melakukan gerakan tiba-tiba seolah ingin menciumnya.

Jantung Jaejoong berdebar cepat. Oh Tuhan… hampir, hampir ia mencium Yunho.

“Maafkan aku,” Jaejoong gelagapan. Dia menggeser duduknya menjauhi Yunho. Mengusap wajahnya kasar untuk mengembalikan kesadarannya. Namun melihat Yunho yang tampak masih kesal, Jaejoong merasa dadanya berdecit nyeri, “Maafkan aku, Yun. Sungguh.”

Mata Yunho terpejam untuk menenangkan detak jantungnya. Tak lama mata musangnya terbuka dan menatap Jaejoong dengan tatapan mengintimidasi, “Kita sudah berjanji, hanya teman.”

“Maaf…”

“Teman tidak berciuman Jae. Apa yang kau pikirkan?” desis Yunho. Dia mengacak rambutnya frustasi.

Kata-kata Yunho melukainya. Jaejoong hanya membiarkan jantungnya berdebar nyeri sebelum kembali membalas perkataan Yunho, “Aku sedang belajar menjadi teman yang baik, Yun. Tadi aku kelepasan.”

Yunho terdiam mendengar penuturan Jaejoong. Dia menunduk sejenak lalu kembali memandang Jaejoong, “Seharusnya aku yang minta maaf. Maaf membuatmu sulit. Kau sudah berusaha, seharusnya aku menghargai itu.” Yunho mengusap rambut Jaejoong sejenak. Mencari gerakkan yang bisa mencairkan suasana.

Namun sentuhan lembut di rambutnya tidak membuat Jaejoong membaik. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung sofa dalam keadaan menyamping agar tetap dapat melihat Yunho.

“Maafkan aku, Yun. Namun apa kau tahu? Ini sangat sulit untukku,” tutur Jaejoong, “Aku mencintaimu. Sangat! Awalnya kita adalah sepasang kekasih yang saling membutuhkan. Aku terbiasa menyentuhmu dan melakukan kontak intim seperti berpelukan atau ciuman,” Jaejoong menghela nafas. Tangannya memainkan ujung bajunya untuk mengurangi rasa gugupnya.

Yunho menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Jaejoong yakin Yunho pasti merasakan hal  yang sama dengannya, “Lalu saat itu aku terbawa emosi hingga memutuskanmu. Ini sangat menyulitkanku. Aku harus beradaptasi dengan kondisi yang baru dimana kau tidak ada disana,” Jaejoong menunduk dan mengusap matanya saat merasa ada genangan di pelupuk matanya.

“Jae-“

“Jangan menyelaku. Aku belum selesai,” ucap Jaejoong memotong perkataan Yunho. Dia mengangkat wajahnya menatap Yunho.

Menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya, “Aku terbiasa dengan kehadiranmu. Sangat sulit untuk bergerak maju. Apakah kau mengerti maksudku?” ulang Jaejoong. Ia melihat Yunho mengangguk, “Tak lama, setelah aku Yoochun dan Junsu pergi, kita semua mulai berbaikan dan mau saling memaafkan.”

Yunho mengangguk meng-iyakan.

“Tapi walaupun kita semua berbaikan, hubungan kita tidak membaik, Yun…” dia menatap Yunho dalam.

Yunho merasa tatapan Jaejoong mengintimidasinya. Membuatnya merasa tidak nyaman, “Maafkan aku.”

“Ah, tidak. Aku tidak menyalahkanmu,” Jaejoong memperbaiki posisi duduknya, “Kau tidak salah saat menawarkan persahabatan denganku. Aku yang salah karena masih tidak mau menerima kenyataan itu.”

“Tapi seharusnya aku juga paham perasaanmu.”

Tangan Jaejoong bergoyang. Menandakan pria itu tidak setuju dengan pendapat Yunho, “Kau tidak salah. Aku yang salah.”

Yunho mendesah, jengah, “Jae, dengar. Aku selalu membuatmu sulit. Lebih tepatnya aku selalu membuat semua ini menjadi sulit. Aku tahu perasaanmu dan aku juga tahu perasaanku, namun aku takut, aku tidak sanggup jika hubungan kita kembali. Ini membuatmu harus bersabar untuk-“

“Wajar jika kau takut, Yun. Aku telah melukaimu begitu dalam. Menjadi sangat tidak tahu diri jika aku malah ingin kita kembali.”

“Jangan menyelaku! Kau bahkan belum mendengar apa yang inginku katakan,” bentakan Yunho membuat Jaejoong tersentak. Dia menunduk dan meremas tangannya sendiri.

Jaejoong tampak takut, membuat Yunho merasa bersalah, “Maafkan aku,” ujar Yunho setelah tenang, “Seharusnya dari awal kita merahasiakan hubungan kita dari orang tuaku. Bukannya memaksakan diri agar mereka tahu hal ini,” tangannya mengelus pundak Jaejoong singkat.

Mereka diam dan tampak tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Jika Yunho berfikir bahwa ini adalah salahnya, maka Jaejoong berfikir bahwa inti dari ini semua berasal darinya.

“Tapi aku membuat semuanya menjadi lebih sulit.”

Yunho terdiam mendengar nada getir Jaejoong.

“Saat tahu bahwa orang tuamu sebenarnya tidak menyukaiku, seharusnya itu bukan menjadi alasanku kesal padamu. Kau ingatkan aku terus menghindarimu sejak kejadian itu,” ia mengusap wajahnya sejenak. Pembicaraan ini membuatnya frustasi, “Bahkan aku memperparah segalanya dengan meninggalkanmu dan Changmin.”

Sebagai leader seharusnya Yunho memiliki cara untuk menenangkan—mantan—anggota bandnya. Namun mendengar nada putus asa dari Jaejoong membuatnya tidak bisa berkutik dan membiarkan pria itu terus melanjutkan ceritanya.

“Lalu kita bertengkar hebat karena ini. Jika aku bisa kembali, aku tidak akan marah-marah padamu saat itu hingga kita berpisah. Aku sedang gelap mata saat itu,” Jaejoong mengusap wajahnya. Dia yakin penampilannya sudah hancur sekarang. Berkali-kali dia mengusap wajahnya kasar atau mengacak rambutnya sendiri, “Jika biasanya aku bisa mengambil keputusan dari pertengkaran yang biasa kita lakukan, saat itu aku sama sekali tidak bisa. Aku malah memperuncing keadaan dan tidak bisa mencari cara untuk menyelesaikannya.”

Dadanya sudah sakit. Jaejoong ingin menangis di hadapan Yunho dan mengeluarkan semua unek-uneknya seperti dulu. Seperti dulu. Namun dihadapannya bukan Yunho kekasihnya. Namun Yunho temannya. Ini membuatnya merasa aneh.

“Jika aku bisa memutar waktu, sekarang mungkin kita masih menjadi sepasang kekasih, Yun,” cicit Jaejoong, “Jika bisa mengulang, aku memililh untuk mendengar ucapanmu dan tetap berada di sisimu. Aku berjanji akan berdamai denganmu dan diriku sendiri,” pria itu sudah sampai di titik dimana dia sudah tidak bisa membendung semuanya. Tangisannya pecah seperti yang biasa dia lakukan dulu. Hanya di depan Yunho dia menampilkan seluruh kelemahannya. Seperti dulu.

“Aku terlalu bodoh karena terus bertahan dengan egoku. Aku yang memulai semuanya, Yun. Bahkan aku tidak memikirkan bagaimana hidupku tanpamu nantinya. Saat kita mulai berpisah dan tidak pernah berhubungan lagi … aku … aku … aku hancur! Aku merindukanmu sampai aku merasa cukup gila karenanya.”

Yunho tidak merespon. Tepatnya dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Semua pengakuan Jaejoong membuatnya ingin menangis juga. Perkataan pria itu seolah memaksanya untuk mengingat masa di mana dia benar-benar terpuruk dengan kondisinya. Butuh waktu yang lama agar dia dapat berdamai dengan dirinya dan mau memaafkan yang lainnya.

“Aku seperti orang bodoh terus berusaha menghubungimu. Bahkan sampai memposting hal ini di jejaring sosial. Padahal aku tahu hasilnya tetap saja nihil,” Jaejoong menertawakan dirinya sendiri mengingat dirinya yang dulu.

Tangan Yunho terangkat. Menghapus air mata Jaejoong, “Jangan menangis,” ucap Yunho parau. Bagimana pria itu menyuruh orang lain untuk berhenti menangis jika dirinya sendiri sudah berkaca-kaca seperti itu?

Sekilas Jaejoong mengecup telapak tangan Yunho. Dia merindukan sentuhan dari tangan ini, “Setelah itu aku, kau, Changmin, Yoochun dan Junsu berkumpul dan saling memaafkan. Egoku kembali muncul karena kita berbaikan, dan memintamu kembali. Tentu kau menolaknya dan itu menjadi tamparan keras untukku. Aku menangisi diriku sendiri jika mengingat itu,” lanjut Jaejoong.

“Sudah…” Yunho berbisik meminta Jaejoong menghentikan ceritanya. Ini semua melukainya sangat dalam. Dalam sunyi air mata Yunho menetes turun.

“Sampai akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Kita berteman namun disini masalah kembali muncul,” Jaejoong tidak menuruti keinginan Yunho dan terus bercerita, “Aku menderita karena status pertemanan kita! Bagaimana bisa, Yun… Bagaimana bisa aku mencintai orang yang sebenarnya paling tidak boleh aku cintai?

Yun, kau terlalu baik. Kau sangat baik padaku. Bagiamana aku bisa berhenti mencintaimu? Aku sudah berusaha, sungguh. Awalnya aku berharap kau menjadi jahat dan kejam. Berniat membalas dendam padaku, Junsu dan Yoochun karena meninggalkan kalian. Namun itu tidak pernah terjadi. Kenapa kau memaafkanku, Yun? Kenapa kau begitu baik padaku? Kenapa kau masih mau datang kemari mendengar ceritaku setelah aku melukaimu begitu banyak? Aku bah—“

“Cerewet,” Yunho menghentikan seluruh ucapan Jaejoong dengan dekapan lembut. Dan disana semuanya tumpah begitu saja. Jaejoong balas mendekap Yunho dan menangis keras.  Begitu juga dengan Yunho yang menangis dalam diam. Semuanya beban terasa tersalurkan perlahan.

Hampir sepuluh menit mereka dalam posisi seperti ini. Sudah tidak ada isakan lagi diantara keduanya. Hanya ruangan sunyi yang menjadi saksi bisu keduanya.

“Aku mencintaimu, Yun,” bisik Jaejoong pelan. Lelah menangis, kepalanya terkulai di pundak Yunho. Sedangkan kedua tangannya masih memeluk pinggang Yunho.

Yunho terdiam sejenak, “Aku juga,” balasnya lirih. Dia mengeratkan pelukannya terhadap Jaejoong. Hingga membuat Jaejoong merasa sangat aman dan tenang. Pria itu perlahan memejamkan matanya mencari kehangatan yang sudah hampir tidak bisa dia rasakan lagi.


.

Jam lima pagi, Yunho memilih untuk segera pulang. Setelah saling mencurahkan isi hati dan menangis, kondisi keduanya sudah tampak lebih cair.

Jaejoong membawakan Yunho satu kotak kimchi seperti janjinya tadi. Dilihatnya Yunho sedang bersiap dan membereskan barang-barangnya. Mata Jaejoong yang awas mengikuti pergerakan Yunho yang sedari tadi mondar-mandir di hadapannya.

“Yun,” Jaejoong menoel pundak Yunho yang baru selesai menggunakan sepatunya. Membuat perhatian pria itu tertuju padanya, “Jadi sekarang kita … sudah kembali?” tanya Jaejoong penuh harapan. Dalam hatinya dia berharap dengan adanya kejadian tadi, Yunho mau memulai semuanya dari awal dengannya. Toh jika mereka kembali, Jaejoong akan berjanji menjadi semakin baik dan baik untuk Yunho.

Namun ketika Yunho menunjukan senyuman terpaksa, Jaejoong hanya bisa menelan ludahnya sendiri.

“Maafkan aku. Tapi aku belum bisa,” ucap Yunho getir, “Maafkan aku. Aku mencintaimu tapi aku tidak bisa.”

Jaejoong hanya menatap Yunho dengan nanar. Tak lama dia menepuk pundak temannya dan memeluk pria yang lebih tinggi sekilas.

“Tak apa, aku tahu… aku sedang menerima karma-ku.”


Eventough Loving You is A CRIME
I’ll be happy

-END-


Ini fiksi yang kubuat kemarin untuk lomba di Fanficyunjae.

Kkk~

Kritik & Saran?

Desire

Apa kau dengar? Suara gagak terdengar memekakan? Membuat siapapun yang mendengarnya membuat merasakan nyeri pada bagian kepala.

Kau juga merasakan itu kan, heh, KIM JAEJOONG?!

Salahkan dirimu sendiri yang menahan rasa ‘lapar’ itu sendirian. Kau bisa mati dalam kegelapan jika terus menahannya. Bodoh…

.


.

Desire

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Warning: typo, AU, OOC, Real Person, Vampire!Jae
Rate : T
Disclaimer : Themselves

Ada yang terinspirasi dari manga VAMPIRE KNIGHT by Matsuri Hino

.

Playing : Linkin’ ParkNumb & Tohoshinki – One and Only One

.


.

DUK

Yunho mendorong pundak Jaejoong agar pria itu mau melihatnya, “Jae, kau menghindariku?!”

Jaejoong yang baru menyelesaikan kegiatan ektrakurikuler, terkejut mendapati Yunho menunggunya di luar gedung. Keduanya adalah sahabat dekat sehingga saat Jaejoong menghindarinya selama seminggu ini membuat Yunho berfikir keras mencari kesalahannya hingga saat dia sampai di titik buntu, pria itu mendatangi Jaejoong.

Pria dengan rambut hitam kelam itu mengalihkan pandangannya dari Yunho, “Aku tidak menghindarimu. Tidak lihat apa aku sedang sibuk?” cibir Jaejoong. Dia melepas tangan Yunho yang memegang lengannya. Jaejoong membenarkan letak tas punggungnya dan berjalan menuju motornya yang dia parkirkan di sebelah kanan gedung olahraga.

Dengan setia Yunho mengekori Jaejoong sambil tetap berceloteh, “Kau marah padaku, eoh? Bahkan saat istirahat kau juga menghindariku. Kau pasti marah, Jaaae~” Yunho terus menendangi bagian bawah tas punggung Jaejoong mencari perhatian Jaejoong. Dia tidak suka diabaikan.

Rasanya kepalanya sakit mendengar rengekan Yunho. Tasnya juga ditendangi dari tadi membuat tubuhnya terlonjak beberapa kali.

“Jaee~”

Jaejoong mengambil bola tenis yang tadi dia masukan ke saku sebelah kiri tasnya, “AISH, DIAM!” dengan tidak berperasaan ia melempar bola itu hingga terkena wajah Yunho.

APPO!”

Tidak mengubris Yunho, Jaejoong menggunakan helm-nya dan menyalakan motornya. Saat dia hendak menjalankan motor pemberian pamannya, Yunho memegang pundak Jaejoong dan segera menduduki kursi penumpang.

Jaejoong mengangkat kaca depan helmnya dan menoleh ke belakang, “Apa-apaan kau?! Turun!”

“Aku ikut!” ujar Yunho kekanakan. Tangannya memegang pundak Jaejoong dan mengguncangkannya, “Ayo jalan!”

Jaejoong memutar bola matanya, jengah. “Aku mau langsung pulang dan istirahat! Melelahkan sekali kalau harus mengantarmu pulang. Tujuan kita berlainan arah, bodoh! Lagipula mana mobil yang kau bangga-banggakan itu, eoh?! Pulang saja dengan itu!” cerocos Jaejoong sakartik. Pria itu mulai muak dengan sifat manja Yunho.

“Mobilku di service,” balas Yunho kalem, “Dirumah tidak ada orang, Jaae~ aku kesepian~ aku main ke tempatmu saja.”

“Geez,” tanpa mau banyak berdebat dengan Yunho, Jaejoong segera menjalankan motornya ke flat tepatnya berada yang hanya berkisar 5 kilometer dari sekolah. Rumah Jaejoong sendiri berada di pinggir kota, sehingga pria itu memilih untuk menyewa flat agar tidak sulit untuk menjangkau sekolah.

“WOHOOO~ Lebih cepat Jae! Kencangkan motormu!”

“BERISIK!”

.

.


.

.

Memasuki flat-nya, Jaejoong mengabaikan Yunho yang masih betah berceloteh. Pria cantik itu merebahkan tubuhnya di atas kasur dan berusaha menganggap Yunho tidak ada.

“Jae! Aku mau ramyuun dicampur dengan tteokbokki~”

Jaejoong mengerang kesal. Bisakan Yunho diam sejenak? Dia mengambil bantalnya dan menutupi kepalanya dengan benda itu.

“Jaaaeee~” rengek Yunho manja.

“Buat sendiri! Kepalaku sakit. Diamlah!” bentak Jaejoong membuat Yunho bungkam. Dia memandang sahabatnya yang sedang tiduran dengan pandangan khawatir.

“Baiklah,” balas Yunho singkat. Setelah menepuk kaki Jaejoong, Yunho berjalan keluar dari ruangannya dan Jaejoong hanya mengintip kepergian Yunho dari sela bantalnya.

BLAM

Setelah pintu tertutup Jaejoong beranjak duduk. Jaejoong yakin pria itu pasti pulang karena tidak ingin menganggunya. Sebenarnya kepalanya tidak sakit, dia hanya berbohong untuk menghindari Yunho.

Dibandingkan dengan pusing, sebenarnya Jaejoong ‘lapar’.
Tapi ini bukan lapar biasa, kawan…

Jaejoong turun dari atas kasur dan berjongkok mengambil benda yang dia taruh di bawah kasurnya. Sebuah kotak dengan ukuran 5x8x1,5 cm berwarna merah pekat. Jaejoong membuka kotak itu dan melihat kotak itu berisi kapsul yang berwarna sama dengan tempatnya.

Ini adalah makanan aslinya.

Tablet darah

Bibirnya melengkungkan senyuman miris. Jaejoong mengambil satu kapsul dan menaruhnya di dalam gelas yang berisi air. Seketika warna air yang awalnya bening langsung berubah menjadi merah pekat dan terlihat lebih kental.

Sebenarnya dibandingkan memakan tablet darah, meminum darah manusia lebih dapat memuaskan dahaga. Dan itu yang Jaejoong rasakan akhir-akhir ini. Tablet darah tidak bisa membuat dahaganya hilang. Dia malah merasa lebih haus dan lebih haus lagi.

Ini juga alasan lain mengapa dia menjauhi Yunho. Dalam kurun waktu 5 tahun, Yunho adalah orang paling dekat dengannya. Dari awal bertemu Jaejoong tahu bahwa wangi darah Yunho berbeda. Begitu manis. Namun saat itu Jaejoong dapat menekan rasa hausnya. Tapi tidak dengan belakangan.

Sosok lain dalam dirinya seolah memberontak ingin menerkam Yunho dan menyesap ‘rasa’ pria itu.

“Yah, terserah kau mau haus seperti apa. Tapi jangan sampai melukai Yunho, arra?” gumam pria itu pada dirinya sendiri.

Huft, entah sejak kapan dirinya mulai memandang Yunho tidak sekedar teman. Banyak poin plus dari Yunho sehingga membuat dirinya tertarik. Sangat tertarik malah.

Perlahan Jaejoong mengangakat gelasnya dan mulai meneguk cairan merah di dalamnya.

Hish, rasanya tidak enak.

“Kau meminum darah?!”

DEG

Rasanya tangan Jaejoong berubah menjadi sangat lemas saat mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar.

PRANG

“Y-Yunho?”

Rasanya Jaejoong ingin mati saja. Kenapa dia tidak sadar Yunho masuk ke ruangannya? Bagaimana ini?!

“KENAPA KAU MEMINUM DARAH?!” pekik Yunho. Pria itu bergerak mendekati Jaejoong. Dia mengguncang tubuh sahabat baiknya. Apa yang dia lihat barusan sangat menekan kesadarannya. Teman baiknya meminum darah?

Jaejoong hanya diam dan menatap Yunho kaku, “Ke-kenapa kau disini?” ucapnya gugup.

Yunho mengacak rambutnya brutal. Otaknya berfikir keras, “Aku membawakan obat sakit kepala!” ucap pria itu dengan nada tinggi, “Lalu kulihat kau meminum darah!? Gila! Kau vampir, eoh?!” matanya menatap Jaejoong tajam.

Diam…

Yunho tampak mengatur nafasnya sedangkan Jaejoong hanya menatap pria di depannya lama.

Jaejoong merasa mulai dapat berfikir jernih. Dia mendesah pelan, “Ne, aku vampir,” tidak ada gunanya berbohong atau mencari alasan lain. Yunho sudah melihat jelas ‘kegiatan’-nya.

“Kenapa kau tidak bilang dari awal?!”

Pria cantik itu memejamkan mata dan memijat kepalanya sebentar. Setelah itu dia kembali menatap Yunho, “Aku menyukaimu. Jika aku jujur, aku takut kau malah menjauh.”

Yunho mencibir, “Alasan!”

“Aniya~ A-“

“STOP! Biarkan aku tenang, ne? Setelah itu kita berbicara lagi,” Yunho beranjak dari hadapan Jaejoong.

Dan ketika pintu kembali di tutup, Jaejoong menatap sendu pecahan gelas di bawah kakinya.

“Semua gara-gara kau! Kenapa kau harus seorang vampir, eoh?” desis Jaejoong kesal.

.

.


.

.

.

Sekarang jam 9 malam. Berarti sudah 3 jam semenjak Yunho meninggalkan flat Jaejoong. Dirinya sudah merasa tenang sekarang dan memutuskan kembali ke tempat Jaejoong dan berbicara dengan pria itu.

Jaejoong seorang vampir dan pria itu mencintai dirinya.

Hais, ini membuat kepalanya berdenyut beberapa kali.

Sebenarnya dia tidak marah jika Jaejoong memang seorang vampir ataupun perihal pria itu menyembunyikan hal ini sejak lama. Dia hanya terlalu terkejut sehingga ingin membuat seolah-olah Jaejoong bersalah.

Sedari tadi dia sudah berfikir, mungkin ini alasan mengapa Jaejoong menghindarinya akhir-akhir ini. Apa Jaejoong ingin meminum darahnya? Atau pria itu takut perasaanya ketahuan?

Yunho hanya terkikik pelan memikirkan hal ini.

Dia membuka pintu flat Jaejoong dan mendapati semuanya gelap. Namun tanpa pikir panjang, Yunho masuk begitu saja dan menutup pintunya kembali.

“Grrr…”

Yunho terpaku mendengar geraman. Seperti suara hewan buas yang mengerang lapar karena tidak mendapat buruan. Apa ada hewan liar masuk ke flat Jaejoong. Namun mengingat flat ini berada di pertengahan kota, itu sangat tidak mungkin.

Langkah Yunho berubah cepat dan dia terpaku mendapati Jaejoong.

Pria itu menancapkan kukunya di atas ranjang. Mengeluarkan keringat deras dan matanya memerah. Menggeram dan menolehkan kepalanya kesana kemari seperti hewan buas.

“Jae!” pekik Yunho.

Dan seketika Jaejoong menoleh ke arahnya. Tidak ada satu detik saat Jaejoong tiba-tiba melompat menerjangnya. Yunho syok bukan main.

BUGH

Tubuh Yunho terjatuh.

“Au!”

Kuku Jaejoong mencakar bagian dadanya.

“Grr…”

Geraman Jaejoong memenuhi ruangan.

“JAE, kau kenapa?!”

Dan…

“ARGH!!”

Taring tajam Jaejoong menembus kulit leher Yunho. Membuat darah bercipratan.

.

.

.


.

.

.

Yunho tidak marah ketika Jaejoong menyakitinya malam itu, setelah Jaejoong mengaku semuanya dan sosok yang malam itu menyerang Yunho adalah sisi jahat Jaejoong. Setelah kejadian itu, Yunho malah terus menawarkan darahnya.

Dan sejak hari itu juga. Jaejoong menjadi sangat ketergantungan dengan Yunho. Mengonsumsi tablet darah sudah tidak pernah dia lakukan lagi. Kini dia berpaling menjadi meminum darah temannya sendiri—Yunho.

Ini sudah dua bulan sejak kejadian itu. Jaejoong duduk diam di atas kasur. Dia bisa merasakan bahwa sisi lainnya semakin ganas sejak meminum darah Yunho. Jika dulu dia bisa bertahan meminum darah Yunho hanya 1 minggu sekali, sekarang frekuensi itu berubah semakin dekat. Kini jika dalam 3 hari dia tidak meminum darah Yunho, tubuhnya terasa sangat sakit.

Jujur Jaejoong tidak pernah mau meminum darah Yunho dengan frekuensi secepat itu. Lihat saja pria itu akhir-akhir lebih mudah lelah. Bahkan sering tertidur saat pelajaran. Beberapa kali Jaejoong harus menahan nafasnya jika tiba-tiba Yunho limbung.

Namun Yunho selalu datang padanya. Memeluk tubuh Jaejoong lalu menyodorkan lehernya sendiri agar Jaejoong meminum darahnya. Walaupun tidak ingin, namun Jaejoong juga tidak bisa menolak.

Jika seperti ini terus, dia bisa-bisa membunuh Yunho. Jaejoong mengerang frustasi. Dia menjambak rambutnya sendiri. Dia berfikir untuk mengonsumsi tablet darah lagi sebagai cadangan agar tidak bergantung pada temannya.

Tangannya meraba ke bawah kasur dan mengambil kotak merah itu. Mencampur isinya dengan air dan mulai meminumnya.

Belum ada satu tegukkan, Jaejoong memuntahkan minuman itu. Dia tidak percaya jika obat yang dulu sering dia konsumsi rasanya seperti ini. Pria itu seolah-olah meminum sampah. Rasanya sangat buruk. Dibandingkan dengan darah Yunho…

DEG

Tidak-tidak. Kau tidak boleh bergantung dengan darah Yunho. Jaejoong kembali meraih gelas itu dan meminum isinya lagi. Dan lagi-lagi dia memuntahkan semuanya. K-kenapa tubuhnya menolah tablet darah?

Ada  rasa frustasi dalam dirinya. Kini dia tidak mencampur tablet darah dengan air. Pria itu memakan dua tablet darah seperti mengunyah permen.

Diam sejenak sampai obat itu masuk ke lambung vampirnya dan seketika dia merasakan ada yang menghantam perutnya begitu keras. Dia kembali memuntahkan isi perutnya.

“Hoek… Hoek… Hiks…” perlahan tanpa disadari olehnya, Jaejoong menangis. Jika dia tidak bisa meminum tablet darah lagi, berarti Yunho…

Memikirkannya saja membuat Jaejoong ingin menangis lebih keras.

.

Setelah percobaanya dengan tablet darah, kini Jaejoong meringkuk di atas kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Dia mengigil. Dia bisa merasakannya… tubuhnya memberontak dan dia merasakan lapar yang sangat.

Di dalam selimut Jaejoong mencakari tubuhnya sendiri. Memaksa dirinya tetap sadar dan tidak menyakiti siapapun.

“Bagaimana ini?” isak pria itu dalam diam. Sebenarnya dia tidak cengeng! Hanya saja jika memikirkan kondisinya sekarang dia selalu ingin menangis.

Jaejoong masih ingat bahwa kemarin siang adalah waktu terakhir dia meminum darah temannya. Bagaimana bisa kini dia sudah lapar lagi?

Dalam kesunyian, tak lama Jaejoong mendengar pintu flatnya terbuka.

“Jae?”

Yunho…

Dalam hati Jaejoong merutuki kedatangan Yunho. Kenapa pria itu datang? Bagaimana jika dia tiba-tiba lepas kendali dan meminum darah Yunho?

“PERGI!” bentak Jaejoong keras sebelum Yunho sempat melihat wajahnya.

Namun dibentak seperti apapun, Jaejoong tetap memasuki flat Jaejoong dan mendapati orang yang baru-baru ini menjadi temannya meringkuk di atas ranjang. Yunho tersenyum dan ikut naik ke rajang, mendekati Jaejoong.

Melihat Yunho mendekat, Jaejoong mengerang, “Pergi!” pekiknya.

Bukan Yunho namanya jika dia menuruti apa yang Jaejoong katakan. Pria itu malah semakin dekat dengan Jaejoong dan membawa Jaejoong yang ada dalam lilitan selimut mendekatinya. Ia memeluk Jaejoong mesra dan mengusap-usap wajahnya ke atas kepala Jaejoong, “Waeyo? Marah padaku?” ucap Yunho.

Jaejoong tidak menjawab. Dia menahan nafasnya mati-matian agar tidak tergoda dengan bau tubuh Yunho.

Merasa janggal karena Jaejoong tidak menjawab, Yunho menjauhkan tubuhnya agar melihat wajah temannya. Dia tersenyum tipis mendapati Jaejoong memejamkan matanya dan mengigit bibirnya sendiri seolah menahan sakit.

“Kau lapar?”

Tubuh Jaejoong tersentak saat Yunho berbisik tepat di telinganya. Dia tanpa aba-aba membuka matanya dan melihat Yunho. Pria itu menatapnya dengan tatapan teduh.

Jaejoong bergetar hebat saat Yunho membuka kancing kemejanya sendiri. Pria itu menyibakkan kemejanya dan menunjukan pundak bagian kiri. Masih ada bekas gigitan Jaejoong, terlihat sangat ketara karena baru kemarin Jaejoong mengigitnya.

“Aku tidak lapar!” tolak Jaejoong mentah-mentah. Dia memalihkan wajahnya, “Aku sudah minum kemarin!” ucap Jaejoong lagi.

Walaupun mulutnya berbohong, tapi Yunho bisa tahu jika Jaejoong berbohong. Tanpa banyak omong lagi, secara tiba-tiba dia menempelkan bibirnya dengan milik Jaejoong.

Lidahnya mengusap bibir Jaejoong membuat pria dibawahnya mendesah dan membuka belahan bibirnya. Dengan terbukanya bibir Jaejoong, Yunho dapat menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Jaejoong.

Benda lentur milik Yunho menelusuri deretan gigi Jaejoong dan terdiam di salah satu gigi Jaejoong yang sangat tajam dan lebih besar dari pada yang lain—taringnya.

Secara tiba-tiba Yunho menggores ujung lidahnya dengan taring Jaejoong membuat darahnya keluar.

Dan karena ini, sisi liar Jaejoong terpancing. Dia menekan pundak Yunho dan menghisap-hisap sisi lidah Yunho yang mengeluarkan darah. Ada hasrat ingin mengigit lidah itu agar darah yang merembes semakin banyak, namun sebelum sisi liar Jaejoong melancarkan hal itu, Yunho memutus ciuman mereka.

Dengan gentle Yunho mendekap kepala Jaejoong ke perpotongan leher dan bahunya. Yunho meringis saat bibir Jaejoong menggosok bagian lehernya dengan kasar. Setelah itu lidah pria itu keluar dan mulai menjilati leher Yunho.

Dua bulan yang lalu, Yunho merasa sangat tersiksa dengan taring Jaejoong yang sering menembus lehernya, namun kelamaan pria itu mulai mati rasa.

“Ah…” Yunho mengerang pelan saat taring Jaejoong menembus kulitnya dan mengeluarkan darah yang banyak.

Kedua tangan Yunho melingkar di punggung Jaejoong dan mengusapnya lembut. Jaejoong menghisap darahnya dengan sangat brutal seolah darahnya adalah makanan paling nikmat di dunia ini.

“Pelan-pelan sayang,” desis Yunho. Bersama dengan darahnya yang keluar, tenanganya juga seolah terhisap.

Dan seketika pergerakan Jaejoong terhenti. Suara Yunho seolah menyadarkannya.

Tentu Yunho bisa merasakan perubahan Jaejoong yang mendadak. Dia menepuk punggung temannya, “Kenapa berhenti?”

Mendengar ucapan Yunho, Jaejoong menghisap pelan darah Yunho yang masih keluar. Tubuhnya bergetar pelan dan dia mulai menangis.

Tadi dia sama sekali tidak sadar saat menghisap darah Yunho. Begitu dia sadar dia sudah berada di posisi ini dan meminum darahnya begitu brutal. Jaejoong sangat takut. Sisi vampirnya semakin liar seolah dia bisa mati kapanpun jika tidak ada darah. Namun bukan kematianlah yang ditakutinya.

Ketakutannya selama ini adalah jika dia tanpa sadar tiba-tiba membunuh pria yang ada dihadapannya. Dia tidak yakin bisa mengendalikan dirinya untuk 2 minggu kedepan.

Jaejoong melepaskan taringnya dari pundak Yunho. Tangisannya semakin pecah membuat Yunho kalang-kabut.

“Jangan menangis. Kenapa kau tiba-tiba menjadi sangat cengeng, hmm?” ledek Yunho. Dia menepuk pundak Jaejoong dan mengelusnya untuk memberi ketenangan.

Dalam kondisi masih tetap sesegukan, Jaejoong bangkit dan mengambil kotak P3K. Dia membersihkan darah Yunho dan memberikan obat pada lukanya sambil terus mengatakan, ‘Maafkan aku’.

Selesai mengobati luka Yunho, Jaejoong mendorong tubuh temannya agar terbaring di atas ranjangnya. Wajah Yunho sangat pucat, dari ekspresinya Yunho seperti habis melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan. Tapi walaupun begitu senyuman tidak pernah luntur dari bibirnya.

“Tidurlah. Aku akan membeli makanan,” ucap Jaejoong parau sebelum berjalan keluar flatnya.

.

.


.

.

.

Jaejoong memandang gelisah Yunho yang masih tidur di sampingnya. Sudah hampir 12 jam pria itu tidur dan belum menunjukan tanda-tanda akan bangun. Ingin rasanya ia membangunkan Yunho dan mengajak pria itu untuk makan, namun ada perasaan tidak tega disana saat melihat wajah Yunho yang tampak sangat kelelahan.

Tapi jika kembali mengingat bahwa Yunho belum mengonsumsi apapun atau meminum sesuatu, Jaejoong berusaha mengenyahkan perasaan itu.

“Yun…” dia mengguncang pelan tubuh Yunho, “Bangun…”

Tidak ada respon.

Jaejoong mengguncangkan tubuh Yunho lebih keras, “Banguun…”

Saat Yunho mengeliyat, Jaejoong tersenyum senang.

“Yun, ayo bangun. Aku sudah menyiapkan makan!” Jaejoong buru-buru turun dari kasur dan mengambil nampan yang dia taruh di samping kasur.

Rasanya kepalanya masih berdenyut sakit, tapi Yunho memaksakan diri untuk bangun dan duduk, “Jae…” ucapnya serak.

Jaejoong menoleh dan menatap Yunho khawatir. Pasalnya Yunho terlihat seperti di ambang kematian sekarang. Tangannya memegang nampan dengan erat, “Wae?”

“Aku tidak mau pakai sumpit. Pakai sendok.”

Hening…

“YAK!” Jaejoong memukul pundak Yunho, “Jangan bercanda di saat seperti ini!”

Yunho hanya tertawa pelan, “Habis kau tegang sekali.” setelah itu walau dengan sedikit gemetar, Yunho mulai memakan apa yang disediakan Jaejoong.

Jaejoong yang duduk di depan Yunho larut dengan pemikirannya sendiri, sambil sesekali membantu membersihkan noda yang berceceran karena tangan Yunho masih lemas.

“Yun, kupikir aku akan mengonsumsi tablet darah lagi…”

Pergerakan Yunho terhenti sebentar untuk mencerna apa yang Jaejoong katakan, “Wae? Darahku tidak enak?” candanya.

Jaejoong menggeleng, “Aniya~ Itu enak… terlalu enak malahan,” Jaejoong menatap Yunho tepat di matanya, “Aku takut suatu saat aku membunuhmu tanpa sadar,” ucapnya serius.

Yunho tergelak. Setelah itu tangannya terangkat untuk mengusap rambut Jaejoong, “Tenang saja, Jae~ Aku percaya kau tidak akan pernah membunuhku.”

Jaejoong hanya diam menerima usapan Yunho.

‘Tidak, Yun… Yang mengigitmu itu bukan aku. Tapi sisi liarku.’ batinnya.


END


Adakah yang ingin menyampaikan idenya mengenai kelanjutan fanfiksi ini? Seperti fanfiksi TRUTH. Aku suka membaca komentar kalian~

Kritik & saran?

.

.

-.-.-.-.-.-.-
FOLLOW ME!
at)Zknoow
-mention for follback & freechat!-
-.-.-.-.-.-.-