Stay: Chapter 4

“Oh! Kau yang kemarin kan?”

Aku hanya tersenyum kecil. Hari ini aku kembali ke rumah sakit, ke ruangan EunJae. Dia bersemangat menyapaku.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.

NP; Take A Bow – Rihanna

.


“Jadi kau teman Jaejoong?” Tanya EunJae sambil duduk di atas ranjang. Aku hanya mengangguk singkat menjawab pertanyaannya. Tidak mau jujur mengatakan aku kekasihnya.

“Jaejoong pernah bercerita tentangmu,” ucapku.

EunJae membalasnya dengan tertawa halus, “Anak itu dari dulu memang tidak berubah,” dia melirik kearah jam, “Sebentar lagi dia mungkin kemari.”

“Dia rajin mengunjungimu?”

“Yup! Hampir setiap hari”

Ada decitan pelan diperasaanku.

“Dia dan Hyunjoong banyak memberi dukungan untuk sembuh,” tawanya pelan sebelum bersandar ke punggung ranjang, “Mungkin kalau tidak ada mereka aku tidak seperti sekarang.”

“Memangnya kenapa?”

EunJae menggaruk tengkuknya, “Aku butuh dukungan orang lain setelah orangtuaku meninggal.”

Aku mengangkat alis, terkejut, “Aku turut sedih mendengarnya.”

“Ah tidak apa-apa santai saja.”

Setelah itu kami diam. Aku memandang jendela lama, sambil berfikir.

“Kudengar dulu kau berpacaran dengan Jaejoong,” kataku.

“Eh?!” eskpresi EunJae berubah menjadi terkejut, “Jaejoong cerita?”

Aku hanya tersenyum kecil.

“Ah iya, memang dulu seperti itu. Hehe, tapi sekarang sudah tidak kok. Kami putus beberapa tahun yang lalu, ya putus baik-baik sih.”

“Kenapa kalian berpisah?”

EunJae salah tingkah, “Y-ya seperti itu, jarang berkomunikasi karena kesibukan, semakin lama semakin renggang, lalu kami memutuskan berpisah saja. Aduh, aku terlalu banyak bercerita,” ucapnya malu.

Aku tertawa hambar, “Santai saja.”

EunJae kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin kehabisan kata-kata lagi. Sementara aku memandangnya lama. Sudah semalaman penuh aku memikirkan ini, aku cukup mantap.

“Kau masih mencintai Jaejoong ya?” tanyaku dengan kekehan diakhirnya, berusaha membuat suasana tidak menjadi canggung.

EunJae diam lama. Dia terkejut. Tiba-tiba wajahnya bersemu.

Dan dia menjawab ‘iya’.

Oh, well…

.

.

Cklek

“Yunho?”

Aku dan EunJae sontak mengalihkan pandangan dan mendapati Jaejoong yang baru datang menatap kami terkejut. EunJae menyapa Jaejoong tapi tidak dia hiraukan. Mungkin dia terlalu kaget aku disini.

Tak lama aku bangkit berdiri dan mendekati Jaejoong, “Bisa bicara?” tanyaku. Jaejoong tidak menjawab, tapi aku berjalan keluar terlebih dahulu. Yakin dia akan mengikutiku.

.


.

Aku dan Jaejoong duduk dalam diam di bangku lorong rumah sakit. Tidak ada yang membuka suara.

Jaejoong menatap kakinya yang dia goyang-goyangkan. Sedangkan aku menatapnya dari ujung mataku.

“Oh, ya,” Jaejoong menegakkan tubuhnya dan menatapku, “Aku membeli ponsel baru. Aku sudah menyimpan nomormu, tadi pagi kutelpon tapi kau tidak jawab.”

“Oh.”

Mendapat jawabanku Jaejoong terdiam dan kembali melihat ke arah kakinya.

“Kau kenal EunJae?” tanyanya.

“Baru saja kenal.”

“Kenapa tidak bilang?”

“Kenapa harus bilang?” balasku sengit.

Jaejoong kembali menatapku lama. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku membalas menatapnya. Menantang.

“Kau berubah, Yun. Ada apa?”

“Kau pikir, kau tidak berubah?” tanyaku balik.

Jaejoong mengerang kesal, “Berhenti balik bertanya. Kau masih marah karena kemarin? Aku minta maaf. Maafku tidak diterima?”

Aku mengalihkan pandangan darinya.

“Hei, Yun. Aku minta maaf, oke?” dia memegang tanganku dan aku langsung menyentaknya. Dia pasti kaget.

“Diamlah. Kau membuatku semakin marah,” ucapku.

Jaejoong membeku sesaat. Kemudian dia mengacak rambutnya frustasi.

Kemudian kami diam. Aku berusaha meredam rasa kesal, sedangkan Jaejoong menatap ke berlawanan arah. Aku tidak bisa mengintip ekspresinya.

Setelah mulai tenang, “Jae-”

Jaejoong menoleh. Wajahnya memerah.

“-kita putus.”

“Apa! K-kenapa?”

“Kurasa lebih baik begini,” ucapku pelan.

Jaejoong menatapku tidak percaya, “Gara-gara masalah kemarin?”

“Itu salah satu alasannya.”

Jaejoong menarik nafas berat, “Kau masih tidak mau memaafkanku perihal masalah kemarin?”

Aku menggeleng pelan, “Aku lelah dengan hubungan kita. Oke?”

“Lelah? Itu alasanmu? Berikan alasan lain!” Jaejoong memaksa. Dia tidak puas dengan jawabanku.

Aku mendesah, “Aku terlalu lelah cemburu, Jae. Got it?”

Dia menggeleng. Wajahnya semakin merah.

Rasanya aku sedikit takut kelepasan dan menangis di depannya. Semua rencanaku akan hancur, “Kau lebih mementingkan EunJae daripadaku.”

“Dia sakit Yun. Kau cemburu aku dekat dengannya?”

“Aku tidak masalah kau dekat dengannya. Aku cemburu dengan cintamu padanya.”

Jaejoong mencelos, “Apa yang ada di otakmu? Aku tidak mencintainya.”

“Mungkin sekarang tidak. Tapi kau kembali belajar untuk mencintainya.”

“Aku tid-“

“Iya! Kau iya!” paksaku, “Kalau tidak, kau akan lebih perduli dan sayang padaku.”

Jaejoong terdiam.

“Kadang aku berhadap EunJae mati saja.”

“Jung Yunho!”

“Terlalu jahat ya?”

Jaejoong memejamkan matanya. Setelah itu dia kembali menatapku, “Aku mencintaimu. Apa itu masih tidak bisa menjelaskan bahwa aku ingin hubungan kita tetap?” suaranya bergetar.

“Lalu aku harus bersabar dengan hubungan ini sampai kau mencintainya?” ucapku meremehkan.

“Yun, aku lelah berdebat. Aku sudah bilang aku tidak mencintainya.”

“Dengar, aku sudah memikirkan ini dengan matang. Kurasa ini memang jalan yang terbaik,” ucapku pada akhirnya. Keputusanku sudah bulat. Jika setelah ini dia masih mau membalas ucapanku, lebih baik aku pulang.

Jaejoong menutup wajahnya dengan kedua tangannya, “Kau sudah merencanakan ini, sedangkan aku tidak siap. Lalu setelah ini aku harus bagaimana jika kita berpisah?!” di kalimat terakhir suaranya menjadi parau, “Kau ingin aku kangen sampai gila?”

Aku hendak meninggalkannya, namun kata-katanya membuatku bertahan sejenak, “Kau pernah mengalami putus cinta dengan EunJae. Setelah dengan dia kau bisa move on, kan? Setelah kita berpisah, kau juga bisa melakukan hal yang sama,” suaraku melunak.

“Tapi berbeda! Kami berpisah saat aku sudah tidak mencintainya lagi. Tapi kita berbeda,”—sejenak aku mendengarnya mulai terisak—“Kita berpisah saat aku masih mencintaimu. Kau tidak tahu rasanya seperti apa!”

Aku mendesah, “Kau bisa menghilangkan rasa sakit itu dengan orang yang sedang kau belajar cintai—EunJae.”

Setelah itu aku berdiri dan pergi. Meninggalkannya. Tokoh yang memutuskan hubungan memang selalu terlihat jahat, aku tahu. Sekarang aku merasa sangat jahat pada Jaejoong. Kalaupun aku mengalah dan membiarkan hubungan ini, aku bisa membayangkan dia akan kembali mengabaikanku. Memangnya berubah semudah itu?

Aku menaruh tanganku di saku dan berjalan cepat. Aku bisa merasakan mataku panas dan terasa penuh.

Yeah, aku menangis.


END


~Side Story~

[Normal POV]

Sudah 10 menit sejak Yunho pergi. Jaejoong tetap duduk di tempat yang sama. Dia menatap lantai dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirannya, namun satu hal yang pasti, perasaannya hancur. Matanya memerah dan wajahnya berantakan.

Tak lama dia bangkit berdiri dan memasuki ruangan EunJae. Disana pria itu menatapnya terkejut.

“Jae, kau kenapa?”

“Kadang aku berhadap EunJae mati saja.”

Ucapan Yunho teringat membuat hatinya berdecit pelan.

“Aku mau pulang,” ucap Jaejoong lirih.

EunJae menatapnya kecewa, “Dengan tampang seperti itu? Ayolah, duduk. Cerita denganku ada apa?”

“Aku hanya ingin pulang. Kesini untuk pamit.”

EunJae meneliti Jaejoong, “Kau bertengkar dengan Yunho? Temanmu itu?”

Jaejoong membeku, “Yunho bilang hubungan kami teman?” tanyanya pada akhirnya.

Sure. Memangnya apa? Sahabat? Hehe.”

“Dia kekasihku…” ucap Jaejoong lirih

“Hah?”

Jaejoong mengalihkan wajahnya. Air matanya kembali menumpuk, “Aku akan pulang.”

BLAM

Pintu tertutup.

Jadi sudah berapa hati yang terluka?
Yeah, 3 hati.


SELESAI!

Sebenarnya fanfic ini kubuat dengan makna—untuk para gadis;
Kalau kalian berpacaran, pacarmu minta putus. Ya putusin.
Berhenti berfikir akan memberikan segalanya untuk cowokmu. Jangan murahan!
Antara sadar & tidak, kadang kamu memberikan sesuatu yang tidak seharusnya cowokmu terima di masa kalian pacaran. Got it?

Beda cerita kalau itu suamimu. Kasih apa aja terserah.
Sobat gua yang cowo selalu ingetin, “Jangan macem-macem pas pacaran. Mau pernikahan kamu nanti gagal?”

P.s.: Boleh loh berbagi hal ini ke temen2 kamu :)

.

Oke, stop cuap-cuap.
Thanks to; aaallll readers! I LOVE YOU SO MUCH.

Prev

Stay: chapter 3

Last chapter:

Langkahku berhenti saat dari jauh melihat Jaejoong memasuki kamar 103. Perlahan aku mendekati kamar itu dan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

Aku melihat Jaejoong memberikan pelukan singkat pada seseorang di atas ranjang. Mereka tertawa dan menepuk pundak. Sedikit memiringkan kepala, aku bisa melihat wajah EunJae. Pembawaannya sangat dewasa dan tenang.

Aku terdiam.

Setelah itu aku berbalik arah dan meninggalkan kamar 103.

Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?

.


.

Setelah menerbangkan abu ayah, kami bertiga—aku, ibu, JiHye—kembali pulang. Saat memasuki rumah, aku merasa perasaan sepi. Begitu juga yang terpancar di wajah JiHye dan ibu. Setelah itu kami berusaha melakukan aktifitas seperti biasa.

Semalam ponselku habis batre. Aku baru menyalakannya sekarang setelah terisi penuh.

Hanya ada satu pesan masuk dari Yoochun—sahabatku.

Aku memang belum memberitahu temanku perihal kematian ayah pada teman-teman. Tidak juga kepada Jaejoong. Setiap mengingat namanya, entah kenapa aku merasa bebanku menjadi dua kali lebih berat.

Duduk di atas kasur. Entah apa yang harus aku lakukan setelah ini. Aku bingung. Sesaat ada keinginan untuk bertemu dengan Jaejoong, namun aku tepis itu.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.


Aku sendiri tidak paham apa yang membawaku hingga kemari. Aku sudah berdiri di depan ruangan 103 milik EunJae—mantan Jaejoong. Apa aku sudah gila? Atau kepalaku terbentur?

‘Mungkin sebenarnya aku hanya terlalu merindukan Jaejoong, dan berfikiran bahwa dia akan kemari dan kami tidak sengaja berjumpa.’

Aku mendengus dengan pemikiranku sendiri. Seperti orang tolol. Tapi sudah terlanjur basah sampai di tempat ini. Apa yang bisa aku lakukan?

Tanpa berfikir panjang aku membuka pintu ruangan itu dan mendapati sesosok pria sedang asyik memainkan PSP. Alisku menyatu, bertepatan dengan dia mengangkat wajahnya dari layar PSP.

“Siapa?”

“Umm…” sial, aku yang salah tingkah sekarang, “Mungkin aku salah ruangan.”

Pria itu terkekeh, “Santai saja, bro. Mau jeruk?” tanyanya sambil mengambil jeruk dari atas meja dan melemparnya ke arahku.

EunJae ternyata tipe orang yang mudah bergaul.

“Siapa namamu? Aku Jung EunJae.”

Aku melihat jeruk di tanganku agak lama sebelum kembali menatapnya, “Jung Yunho. Senang berkenalan,” ucapku singkat, “dan terima kasih jeruknya. Aku pergi ya.”

“Senang berkenalan denganmu, Yunho!” katanya sambil melambaikan tangan singkat. Aku hanya membalasnya dengan senyum sebelum kembali menutup pintunya.

Benar-benar ramah!

Aku memijit pangkal hidungku. Siapa saja pasti merasa nyaman dengan orang seperti itu. Apa lagi Jaejoong. Shit! Aku jadi ingin segera pulang.

Saat aku memutar tubuhku, aku mendapati Jaejoong melihatku dengan wajah terkejut.

“Kenapa disini, Yun?”

Aku tertawa datar, “Berjalan-jalan sore.”

Jaejoong terkekeh, “Jalan-jalan sore sampai masuk ke rumah sakit? Dasar aneh.”

Dia tertawa. Hal yang sudah lama tidak aku dengar.

Tak lama Jaejoong merubah ekspresinya, “Ngomong-ngomong kenapa dua hari ini kau tidak kuliah?” tanyanya.

Aku diam. Dalam hati menyusun kata-kata untuk menjawab pertanyaannya. Kalau memang tahu aku tidak masuk, dia bisa menghubungiku untuk bertanya, kan?

Jaejoong mendengus dan melanjutkan kata-katanya, “Ponselku rusak kemarin pagi. Jatuh dan terlindas mobil saat aku menyebrang jalan. Kemarin saat aku berkunjung ke rumahmu juga sepi. Kau membuatku khawatir.”

Biasanya hatiku merasa hangat saat mendengar dia perhatian padaku. Tapi entah kenapa tiba-tiba perasaan itu tidak ada.

“Jae…” ucapku lirih.

“Ya?”

“Ayahku meninggal 2 hari yang lalu.”

Jaejoong terkejut. Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan, “Sungguh?”

Aku hanya menatap matanya. Memasang wajah serius.

“Kenapa kau tidak menghubungiku? Ya Tuhan, Yunho,” Jaejoong mendekat dan menyentuh lenganku.

“Aku sudah mengirim pesan, dua hari yang lalu. Kurasa itu sebelum ponselmu rusak,” balasku dingin.

Jaejoong terdiam. Dia memandangku dengan wajah yang sulit diartikan, tampak seperti berfikir keras, “Pesan yang mengatakan kau membutuhkanku?” tanyanya ragu.

Aku hanya mengangguk singkat. Tanganku terangkat dan memberikan jeruk yang kudapat dari EunJae, “Aku harus pulang sekarang Jae. Sudah hampir malam. Ini jeruk untukmu. Kau harus menjenguk EunJae juga, kan?” ucapku panjang lebar. Setelah itu langsung berjalan pergi.

Dari sudut mataku aku bisa lihat Jaejoong memandang jeruk ditangannya dengan tatapan kosong. Mungkin dia terkejut dengan maksud pesanku 2 hari yang lalu. Tapi…

Sial! Aku hampir menangis.

Aku menyeka sudut mataku. Merasa sangat menyesal pergi ke tempat ini. Ya ampun, dasar kau bodoh, Yunho. Kenapa kau harus ke tempat ini?! Bodoh. Bodoh. Bodoh.

.


.

Ponselku berbunyi saat aku sampai ke rumah. Ku lihat ada 3 panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak di kenal. Mungkin karena bising suara lalu-lalang kendaraan, membuat panggilan ini tak terdengar olehku.

Tak lama ada panggilan lagi dari nomor itu. Aku segera mengangkatnya.

“Yeobseo?” ucapku.

“Yun, ini aku Jaejoong.”

“Oh,” jawabku singkat.

“Aku merasa bersalah. Dua hari yang lalu, EunJae kemoterapi. Jadi baru saat malam hari membaca pesanmu. Aku memutuskan untuk menelfonmu untuk bertanya, tapi sudah sangat larut. Besoknya, aku berniat mengunjungi rumahmu. Saat keluar dari rumah sakit, ponselku malah rusak.”

Aku diam mencerna ceritanya. Entah ini sungguhan atau hanya karangannya saja.

“Hey, Yun? Kau masih disana?”

“Aku ngantuk.”

Suara Jaejoong tampak kecewa, “Sudah mau tidur? Selamat tidur Yun.”

“Hmm…” dengungku, sebelum menutup telepon kami.

Aku mendesah panjang, lalu memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Menatap langit-langit kamar sambil berfikir.

Mungkin besok aku akan memutuskan hubungan kami.

Aku masih sayang… bahkan mencintainya. Hanya saja ini terlalu melelahkan. Aku pria dan egois. Jika kekasihku tidak mengkondisikan diriku sebagai kekasihnya, aku merasa seperti dinomor duakan saja.

Walaupun masalah dengan EunJae baru terjadi sekitar 3 mingguan, tapi aku sudah cukup lelah. 3 minggu waktu yang cukup lama untuk merasakan sakit.

Terlalu berlebihan? Terserah!

Terlalu terbawa emosi? Terserah!

Aku tahu Jaejoong pasti punya alasan sendiri.

Tapi aku tidak salahkan, menuntut hubungan cinta yang indah? Oke, terlalu berlebihan. Tapi setidaknya, kekasih macam apa yang sampai tidak tahu kondisi kekasihnya sendiri? Dia masih bisa mencari alternatif lain untuk tetap berhubungan denganku, kan? Iya, kan?! Hei! Jawab aku.


TBC


Aku merekomendasikan lagu, ‘Never Again- Justine Timberlake‘ untuk yang suka galau. haha.
Ugh, perasaanku ikut bercampur-aduk membuat cerita ini. Kalau dari sudut pandangku, Jaejoong tidak salah. Tapi Yunho juga tidak salah! Jadi agak complicated. Mungkin chapter depan tamat, Mungkin. Hehe, chapter ini sedang menanjak menuju klimaks cerita. Maaf agak membosankan.

Prev next

Stay: chapter 2

Last Chapter :

Jaejoong diam sejenak, “Kemarin aku sangat sibuk. Ponselku tertinggal lagi. Maaf lupa mengabarimu,” kekeh Jaejoong di akhir.

Aku tidak menyahutnya lagi dan memutuskan untuk makan. Ini benar-benar canggung.

Satu suap.

Dua suap.

Gah, banyak pertanyaan di kepalaku!

“Jae, kemarin kau pergi ke tempat EunJae, kan?” ucapku pada akhirnya.

Jaejoong diam dan menatapku lama, “Iya.”

.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland

.


.

“Kemarin dia kemoterapi. Aku kasihan dengannya, Yun. Kemarin aku dan Hyunjoong menemaninya sampai malam,” ucap Jaejoong panjang lebar.

Tapi hatiku merasa itu bukan jawaban yang sebenarnya. Masih ada decitan-decitan dalam dadaku yang membuatku semakin merasa tidak nyaman. Aku pura-pura memandang jam tanganku, “Ah, sebentar lagi aku harus masuk, Jae.”

Jaejoong berkedip, “Tidak dihabiskan? Nanti maagmu kumat.”

Aku hanya tersenyum tipis dan mengambil tasku.

Demi Tuhan. Aku sama sekali tidak bermaksud mendiamkannya atau berubah menjadi dingin. Aku hanya berusaha menahan diri untuk tidak marah atau kesal padanya.

Aku tahu dengan sikap yang hanya diam seperti ini, malah membuat hubungan kami semakin menjauh. Tapi aku harus apa?

Mengatakan untuk tidak mendekati EunJae lagi? Hell, aku seperti tidak percaya padanya.

.

.


.

.

Besoknya aku sangat malas untuk pergi kuliah. Hari ini aku putuskan untuk di rumah saja. Sambil tetap bergulung dengan selimut, aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan singkat pada Jaejoong yang mengatakan aku tidak akan datang.

3 menit

5 menit

Aku diam menatap ponselku menunggu Jaejoong memberikan respon atas ketidak hadiranku. Hatiku kembali berdecit saat setelah 10 menit pun tidak ada pesan atau telefon masuk darinya.

Dengan malas aku kembali menaruh ponselku di atas meja nakas. Kembali bergelung dengan selimut. Hingga tak lama ponselku berbunyi dan menandakan ada telefon masuk. Aku tahu itu dari Jaejoong. Karena ringtone untuk panggilan masuk darinya kubedakan.

Sama sekali tidak ada hasrat dalam diriku untuk mengangkat telefon itu. Kekecewaanku membuatnya begitu. Dua kali, tiga kali nada dering itu terus berbunyi hingga benar-benar berhenti.

Kembali ada rasa kecewa.

Dia hanya berusaha menelfonku 3 kali, sedangkan kemarin ketika dia tidak ada aku menelfonnya lebih dari 10 kali dan mengirimnya pesan berkali-kali.

“Sialan,” desisku pelan. Tak lama aku memutuskan untuk bangkit dan mandi. Jika diam otakku hanya bisa berfikir negative tentangnya saja.

Saat turun ke lantai bawah, aku melihat adikku—Jung Jihye—sedang asyik menonton TV, “Kau tidak sekolah?” dengan malas aku duduk disampingnya.

Oppa juga tidak kuliah,” balasnya sinis.

Aku tertawa pelan, “Jalan-jalan, yuk.”

“Tidak mau,” ucapnya cepat. Sepertinya sedikit kesal padaku

Aku diam sejenak, “Yakin? Oppa akan traktir makan, nih…”

Tak butuh waktu lama sampai JIhye menerima ajakanku. Kami bersiap dan memutuskan untuk pergi daripada bosan dirumah.

Aku sengaja meninggalkan ponselku. Cukup lelah memikirkan tentang hubunganku dan Jaejoong. Hari ini saja biarkan aku sedikit bersenang-senang.

.


.

Hari ini aku sangat senang menghabiskan hari dengan adik kecilku yang manis. Pemberhentian terakhir kami berakhir di rumah. Jihye masih tertawa-tawa mendengar leluconku sepanjang perjalanan pulang. Namun tawa Jihye berhenti saat kami mendapati rumah sangat sepi.

Ini sudah jam 7 malam. Biasanya terdengar suara penggorengan dari dapur—ibuku yang sedang memasak. Aku merasakan firasat buruk. Disisi lain, Jihye sudah buru-buru menyalakan lampu ruangan dan memasuki kamarnya.

Hingga tak lama terdengar ponselku berbunyi.  Aku berjalan ke kamar untuk mengambilnya dan mendapati umma meneleponku.

“Halo?” aku segera mengangkat teleponnya.

“Y-yun?”

“Umma? Wae?”

“…”

Aku merasakan duniaku berguncang. Segera aku mematikan sambungan telefon dan berteriak memanggil Jihye.

Ya Tuhan. Seseorang mengendarakan mobil dalam keadaan mabuk dan menghantam tubuh ayahku yang sedang menyebrang jalan.

Aku menceritakan apa yang terjadi kepada ayah secara singkat kepada JiHye. Adik perempuanku mulai menangis mendengarnya. Aku menelfon taksi sambil berusaha menenangkan adikku. Walaupun kejadian ini mengguncangku, aku harus kuat. Ada dua orang wanita—Jihye dan umma—membutuhkanku.

.


.

30 menit berlalu sangat lama. 30 menit perjalanan menuju rumah sakit, aku berusaha memperkokoh mentalku untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. JiHye masih sedikit seenggukan disampingku. Aku hanya bisa mengelus punggungnya agar dia lebih tenang.

Sesampainya di rumah sakit, Jihye segera turun dan berlari masuk. Sedangkan aku membayar taksi terlebih dahulu. Setelah itu menyusul Jihye yang berlari kecil, setelah mengetahui dimana keberadaan ayah kami.

Langkah Jihye membawa kami ke depan ruang oprasi. Ibuku terduduk di bangku depan ruangan itu. Matanya merah, ketara sekali habis menangis.

“Umma…” Jihye memeluk ibu, dan tanpa kata-kata keduanya mulai menangis. Aku hanya bisa memeluk kedua perempuan yang sangat berarti untukku. Apapun yang terjadi nanti, aku harap itu yang terbaik untuk kami.

Setelah setengah jam berbagi pelukkan, Jihye mulai tenang dan tertidur di pangkuan ibu. Ibu mengelus rambut JiHye dalam diam dan menatap lantai. Aku tahu ini menjadi pukulan berat untuknya. Hingga tak lama aku memutuskan untuk bangkit dan membelikan minuman untuk ibu.

Ya Tuhan. Aku tidak berharap banyak.

Kembali aku mengacak rambut. Kepalaku pusing. Ini terlalu memberatkan. Aku butuh seseorang. Disampingku. Mendengarku. Menjadi tumpuanku. Dan seketika ada satu nama dikepalaku.

Kim Jaejoong.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil ponsel dari saku dan mengirim pesan singkat.

“Aku membutuhkanmu”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kau tahu, Jaejoong tidak membalas pesanku pada hari itu. Bahkan setelah pesan itu terkirim pun, hingga detik ini tidak ada telefon darinya. Entahlah, aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaanku seperti apa.

Kemarin ayahku meninggal setelah melalui 5 jam oprasi. Sekarang jam 6 sore, dan kami hendak mengkremasi ayah setelah sanak saudara kami rata-rata sudah datang.

Aku berjalan menusuri lorong rumah sakit, setelah dari bagian administrasi. Kematian ayah menjadi pukulan telak untuk ibu. Aku bisa melihat pertahanannya yang hancur dan menangis histeris kemarin. Begitu juga dengan Jihye.

Sudah terbayang diriku menjadi kepala keluarga setelah ini.

Langkahku terhenti saat aku melihat Jaejoong lewat, sekilas. Mataku membesar dan tanpa sadar aku mengejarnya dari belakang.

‘Apakah EunJae ada di rumah sakit ini?’

Penasaran. Sekali saja aku ingin melihat bagaimana sosok EunJae yang berhasil merebut semua perhatian Jaejoong.

Hahaha, aku membuntuti Jaejoong seperti stalker. Menyedihkan.

Langkahku berhenti saat dari jauh melihat Jaejoong memasuki kamar 103. Perlahan aku mendekati kamar itu dan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

Aku melihat Jaejoong memberikan pelukan singkat pada seseorang di atas ranjang. Mereka tertawa dan menepuk pundak. Sedikit memiringkan kepala, aku bisa melihat wajah EunJae. Pembawaannya sangat dewasa dan tenang.

Aku terdiam.

Setelah itu aku berbalik arah dan meninggalkan kamar 103.

Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?

Hancur. Lebur.

.

.


TBC


Stay

Awalnya, hubungan kami sangat harmonis.

.

Hai, Jung Yunho disini.

Ah, jangan lupa kekasihku Kim Jaejoong! Hari ini perayaan 8 bulan sejak hari jadi kami.

Kami gay? Hahaha, ya begitulah. Dia membuatku dari straight menjadi gay, pesonanya benar-benar hebat.

Kami menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Semoga saja suatu hari kami bisa menghadap orang tua kami dan meminta restu. Aku tahu pasti susah, tapi aku berharap bisa bersama dengannya untuk waktu yang lama.

Ups, sudah jam segini. Aku ada janji dengan Jaejoong!

.


.

Stay

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi; Stay – Sugarland


.

[Normal POV]

Awal bulan Oktober adalah awal dari musim gugur. Udara menjadi tiba-tiba dingin dan membuat Jaejoong dan Yunho memilih memakan ramen di kedai pinggir jalan. Dari jauh mereka hanya terlihat seperti sepasang sahabat yang memilih menghabiskan akhir pekan bersama. Sesekali menyeletuk tentang kondisi cuaca yang kian memburuk dan tugas-tugas kuliah mereka yang belum juga selesai.

“Hei Jae, rumahku kosong hari ini,” celetuk Yunho. Jaejoong memutar bola matanya, “Lalu?” balas Jaejoong.

Yunho memamerkan giginya dengan tampang polos, “Temani~” ucapnya manja, sambil menyengol Jaejoong yang duduk disebelahnya.

“Tidak mau, banyak tugas! Kalau menginap, aku tidak bisa konsentrasi.”

“Ayolaaah, nanti kubantu mengerjakan.”

“Bohong!” ujar Jaejoong.

Yunho melipat tangannya, “Masa kau tidak percaya pada pacarmu sendiri? Ayolah…”

Jaejoong tampak berfikir sejenak, “Baiklah, tapi kau bayar makanan kita?” tawar Jaejoong. Tanpa pikir panjang Yunho mengacungkan jempolnya, “Siap bos,” balas Yunho.

Jaejoong mendelik, “Paman, aku mau tteokbokki satu!” ujarnya tanpa melihat ekspresi kaget Yunho.

“What?! Aku mau membayar bukan berarti pesan lagi,” Yunho tidak setuju.

Jaejoong mendengus, “Yasudah tidak jadi menginap.”

Arasseo, pesan sesukamu,” ucap Yunho sebal dan membuat Jaejoong tertawa ringan lalu mengecup pipi kanan Yunho sekilas.

Yunho hanya bisa mengulum senyum mendapat perlakuan manis. Mereka mulai berbincang ringan dan sesekali tertawa meledek.

“Loh, Jaejoong?”

Merasa ada yang menepuk pundaknya, Jaejoong menoleh dan terkejut mendapati teman SMA-nya dulu ada disana, “HyunJoong?” Tanya Jaejoong tidak percaya, “Duduk, duduk, apa kabar?”

Hyunjoong tertawa ringan, “Aku selalu baik, hahaha… Ngomong-ngomong, siapa?” Tanya Hyunjoong sambil menunjuk Yunho.

Jaejoong tersenyum, “Hyun, kenalkan ini kekasihku, Yunho.”

Hyunjoong tersenyum dan bersalaman dengan Yunho. Entah mengapa mereka berdua mulai akrab dan mereka bertiga mulai berbincang-bincang seperti sahabat lama.

Hingga sekitar 20 menit kemudian, Jaejoong memutuskan untuk pulang bersama Yunho, mengingat tugas kuliahnya yang masih menumpuk.

Jaejoong menepuk pundak Hyunjoong, “Senang bertemu denganmu. Hahaha, lain kali kita harus berkumpul lagi.”

Hyunjoong tertawa ringan, sebelum mengubah raut wajahnya menjadi serius, “Oh ya, Jae. Jung EunJae-sunbae terkena tumor otak. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit Seoul.”

Jaejoong terdiam sejenak. Eunjae mantan kekasihnya dulu, “Oh ya? Semoga dia lekas sembuh,” ucap Jaejoong datar.

Mereka saling menukar nomor ponsel untuk bisa tetap berkomunikasi. Setelah itu, Yunho mengambil tangan Jaejoong. Menggenggamnya erat dan berjalan ke halte bus terdekat.

Jaejoong mulai berceloteh tentang kehidpan SMAnya, sedangkan Yunho mulai merasakan firasat buruk.

.

.

.


.

.

.

[Yunho POV]

Akhir-akhir ini Jaejoong tampak lebih sering bermain dengan ponselnya. Biasanya setiap kami kencan dia akan mematikan ponselnya, tapi tidak dengan 1 minggu terakhir ini. Aku tidak mau curiga karena seakan-akan aku tidak mempercayainya.

Sampai suatu hari saat aku bermain ke flatnya, ponsel Jaejoong berbunyi nyaring saat Jaejoong sedang mandi.

Aku yang sedang menonton TV berjalan ke meja sebelah kasur Jaejoong untuk melihat siapa yang menelefon.

‘Jung EunJae Calling’

Dalam diam aku melihat nama itu. Sama sekali tidak berniat untuk beraksi apapun. Aku tahu semua nama mantan kekasih Jaejoong. Tapi dia pernah bilang EunJae adalah mantannya yang paling berkesan.

Panggilan terhenti, aku bernafas lega. Kembali ke sofa tempatku tadi duduk dan kembali fokus menonton TV. Tak lama Jaejoong keluar dari kamar mandi dan bertepatan dengan ponselnya berbunyi lagi.

Dari ekor mataku, kuperhatikan gerak-geriknya. Dia mengambil ponselnya, melihat layar ponselnya sebelum berjalan keluar menuju balkon untuk mengangkat telefon.

Aku hanya diam.

Jika keduanya memang tidak ada hubungan, kenapa Jaejoong harus menghindariku untuk mengangkat telefon dari EunJae itu?

10 menit

Aku mendengar suara tawa Jaejoong. Bahkan dia terlihat ceria untuk berbicara dalam telefon.

20 menit

Ada sedikit sesak di dadaku. Apa dia lupa aku disini?

30 menit

Aku melirik jam di flat Jaejoong. Sudah jam 10 malam. Sebaiknya aku pulang saja. Saat aku bangkit berdiri dan mulai membereskan barang-barang yang ku bawa tadi, kulihat Jaejoong masuk dari balkon.

“Loh, sudah mau pulang?” tanyanya polos.

Aku diam sejenak sebelum tersenyum kecil, “Sudah malam. Eomma pasti menungguku pulang.”

Jaejoong mengangguk mengerti, “Aku antar sampai depan,” ucapnya.

Kembali aku tersenyum sungkan, “Tidak usah sudah malam. Udara diluar sudah sangat dingin. Selamat malam Jae,” ucapku sambil berlalu.

Entah kenapa, aku bisa merasakan ini akan semakin buruk. Jujur aku tidak mau berfikiran negatif tentang Jaejoong, namun situasi memaksaku untuk berfikiran buruk tentangnya dan EunJae.

Aku mengusap wajahku sedikit kasar. Padahal aku tidak mengerjakan apapun, tapi rasanya penat sekali.

.


.

Kejadian seperti itu semakin lama semakin sering. Aku mulai terbiasa tidak diacuhkan oleh Jaejoong. Hei, aku sudah cukup sabar, kan?

Hari ini kami memutuskan untuk kencan. Jam 10 kami bertemu dan membeli tiket bioskop. Kami baru akan menonton jam 2 nanti, selang waktu kita gunakan untuk berjalan-jalan.

Sekitar jam jam makan siang, saat kami baru selesai makan, ponsel Jaejoong berbunyi.

Dengan sedikir ragu dia menatap layar ponselnya.

“Angkat saja, Jae…”

Jaejoong menatapku sejenak, sebelum dia mengangkat telefon itu, “Halo?”

“….”

“Apa, Hyun? Suaramu tidak terdengar.”

“…..”

Raut wajah Jaejoong berubah kaget, “EunJae kritis?”

Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Jaejoong tampak kalang-kabut dan banyak bertanya kepada Hyunjoong sementara aku sudah blank.

‘Pip’

Jaejoong mematikan telefonnya, “Yunho aku mohon pengertianmu kali ini saja,” ucapnya dengan raut bersalah, “EunJae kritis. Dia membutuhkanku, bolehkah…”

Oke, aku mengerti arah pembicaraan ini, “Baiklah, kau boleh kesana,” ucapku pada akhirnya.

Jaejoong tersenyum, “Kau yang terbaik. Kali ini aku yang bayar makanan ini,” Jaejoong memasukan ponselnya kedalam saku, “Aku duluan Yun.”

Setelah itu Jaejoong pergi. Aku diam.

Aku mengeluarkan dompetku yang terdapat tiket bioskop di dalamnya. Ini untuk pertama kalinya kencan kami gagal.

Entahlah, aku merasa kecewa. Kenapa Jaejoong bisa langsung begitu saja pergi saat mendengarkan EunJae kritis, tanpa tahu bagaimana perasaanku.

Ah… kepalaku jadi sakit.

.


.

Sejak kejadian itu aku dengan Jaejoong jadi semakin renggang. Hari ini saja aku sama sekali tidak bertemu dengannya dikampus. Sekitar jam 2 siang setelah mata kuliahku selesai, aku memutuskan untuk mendatangi flat Jaejoong.

Setidaknya untuk mengecek keadaanya. Sebab dia sama sekali tidak mengangkat telefonku.

Aku diam di depan flat Jaejoong. Sudah berkali-kali mengetuknya namun tidak ada yang membukakan pintu. Sampai aku meraih knop pintunya.

Astaga! Pintunya tidak dikunci.

Seketika ada bayangan buruk dalam kepalaku. Jangan-jangan Jaejoong diculik, atau flatnya kebobolan maling! Tanpa pikir panjang aku segera masuk dan hanya diam karena begitu sunyi.

Semua barang-barangnya masih rapi. Aku berkeliling flatnya untuk mencari Jaejoong tapi dia tidak ada di manapun.

Sampai mataku menatap ponselnya yang tergeletak di atas kasur.

Astaga ceroboh sekali.

Aku mengambil ponselnya dan hendak menaruhnya di dalam laci, sebelum sebuah kecurigaan hinggap di kepalaku.

Ada keinginan untuk membuka ponselnya. Tapi bukankan ini seperti merusak privasi seseorang. Eh, tapi Jaejoong kan bukan orang asing. Dia bahkan kekasihku.

Tanpa berlama lama aku menyalakan ponselnya. Ada 13 panggilan tak terjawab. 1 dari Hyunjoong dan 12 dariku.

Oke, pantas dia tidak menjawab telfonku, ponselnya tertinggal.

Setelah itu aku melihat panggilan masuk dan keluarnya. Aku hanya bisa tercengang saat nama Jung EunJae menjadi sebuah deretan panjang dari panggilan masuk dan keluarnya. Jika ada 10 panggilan masuk dari EunJae, dariku hanya ada 3.

Ada emosi yang mulai timbul, tanpa pikir panjang aku membuka pesan masuknya. Lagi-lagi aku melihat deretan pesan masuk dari EunJae. DIa bahkan tidak pernah sesering ini berkiriman pesan denganku.

Memang sedikit tidak sopan, namun aku membuka pesan terakhirnya. Ada pesan masuk dari EunJae.

‘Aku membutuhkanmu’

Hanya seperti itu saja. Jam pengiriman pesan itu jam 7 pagi tadi. Menurut analisisku, setelah mendapat pesan itu, tanpa pikir panjang Jaejoong segera pergi mendatangi EunJae sampai melupakan ponselnya.

Ya Tuhan… hatiku sakit.

.


.

Besoknya Jaejoong datang kuliah dengan wajah cerianya. Aku tidak tahu harus merespon sikapnya seperti apa. Tidak mungkin aku bersikap biasa saja setelah kejadian kemarin.

“Kenapa kemarin tidak masuk? Telefonku bahkan tidak dijawab sama sekali,” ucapku saat kami duduk untuk makan siang di kantin.

Jaejoong diam sejenak, “Kemarin aku sangat sibuk. Ponselku tertinggal lagi. Maaf lupa mengabarimu,” kekeh Jaejoong di akhir.

Aku tidak menyahutnya lagi dan memutuskan untuk makan. Ini benar-benar canggung.

Satu suap.

Dua suap.

Gah, banyak pertanyaan di kepalaku!

“Jae, kemarin kau pergi ke tempat EunJae, kan?” ucapku pada akhirnya. Rasa penasaran terlalu mengusikku.

Jaejoong diam dan menatapku lama, “Iya.”


TBC


.

Serius kau harus dengar lagu Stay dari Sugarland. Lagu Country, sih… tapi asli, makna dari lirik ini benar-benar menusuk. Download ya kalau sempat. Hehehe…

Dan ini tidak akan menjadi happy ending—menurutku. Hahaha.

Oh ya. Aku sedang suka membuat fanfiksi yang hanya 1-3 chapter saja.

Untuk melanjutkan fic lama aku pusing setengah mati. Cerita itu sudah 1-2 tahun yang lalu, jadi aku blm mendapatkan ide-ide segar untuk dilanjutkan. Hahaha…

 

Next

Song

Lagu, ‘Last TimeSecondhand Serenade’ terputar sehari penuh di ponselku hingga pada akhirnya menghasilkan fanfiksi ini.

Warning: AU, OOC, bit!YunJae, typo, boys love and also straight.
Rating : K
Disclaimer: Themselves

.

Song

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.


Pernikahannya dengan gadis yang sudah 2 tahun menjadi tambat hatinya sangat melelahkan. Setelah mengucap janji suci tadi sore, mereka langsung bergegas ke lantai paling atas suatu Hotel Bintang Lima di pusat kota Seoul, untuk mengadakan resepsi.

Dan kini tepat jam 10 malam baru mereka memasuki salah satu kamar yang sengaja mereka pesan untuk menghabiskan malam pertama.

Sang pengantin wanita tampak sibuk membereskan dandanannya dan bergegas membasuh diri. Membuatnya bosan menunggu, hingga matanya tak sengaja menatap setumpukan hadiah pernikahan mereka.

Tanpa basa-basi dia bangkit berdiri dari posisinya dan menuju kea rah meja yang berisi hadiah pernikahan mereka.

Berbagai macam ukuran kado membuatnya tertarik. Beberapa dia ambil dan menggoncangkan kotak tersebut untuk memperkirakan benda apa yang ada di dalamnya.

“Ini seperti suara parfume…” dengusnya saat mendengar suara riakan air dari dalam kotak berwarna merah darah.

“Ini malah terdengar seperti suara beras. Haha…”

Namun tak lama dia mendapati gulungan kertas yang diikat dengan pita merah, diantara para kado yang saling bertumpukan. Membuat dia menautkan alisnya heran. Apa orang ini hanya memberikannya sebuah kertas ucapan selamat? Huh…

Ia menarik pita merah yang mengikat kertas itu dan membiarkannya melayang sejenak di udara sebelum terjatuh ke lantai. Membuka gulungan kertas yang setelah dia perhatikan terlihat sangat lecek seperti sudah diremas-remas sedemikian rupa.

“Partitur?”

Alangkah terkejut dirinya saat melihat bahwa kertas itu berisi sebuah partitur lagu. Goresan pinsil serta coretan-coretan masih terihat baru.

Manis sekali… ada yang membuat lagu untuk pernikahannya.

Lagu didalamnya dituliskan menggunakan bahasa Inggris yang sedikit asing baginya. Ketika ia membuka lembaran selanjutnya, dia melihat jelas sang penulis menuliskan namanya di ujung kiri bawah, seolah lagu itu memang hanya diperuntukan untuknya.

Ah! Tidak ada tulisan dari siapa lagu ini! Dia sudah membolak-balik kertas rapuh itu namun masih belum bisa menemukan dari siapa kertas lagu ini berasal.

Ia diam sejenak untuk berfikir. Namun tak lama dia tampak buru-buru melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam dompetnya. Dalam hati dia berniat mempelajari lagu itu dan menyayikannya untuk istrinya. Juga sebagai tanda terima kasih secara tidak langsung kepada sang komposer.

“Yun?”

Pria yang bernama lengkap Jung Yunho itu segera membalikan tubuhnya ke arah istrinya yang tampak sangat segar setelah mandi. Bibirnya menyunggingkan senyum sebelum mendekati tubuh istrinya dan memberikan kecupan mesra di dahinya. Tak lama kecupan hangat mulai terjadi hingga pada akhirnya kedua pasangan suami-istri itu melewati malam pertama mereka penuh cinta.

.

.


.

.

2 Minggu Kemudian…

Tanpa sepengetahuan istrinya, Yunho diam-diam pergi ke studio milik saudaranya. Di dalam dompetnya terdapat partitur yang dia dapat dulu, yang baru hari ini dia sempat dia mainkan. Setelah 10 hari berbulan madu dengan istrinya di Inggris.

Yunho duduk di atas piano dan membuka partiturnya. Berlatih sejenak mengenai nadanya sebelum masuk kedalam lagu.

I’m stuck with writing songs just to forget
What they really were about
And these words are bringing me so deeply in debt
That I don’t think I can dig my way out
I couldn’t breath you in

Pria tampan itu menghentikan caranya memainkan piano dan mulai berfikir. Lagu yang diberikan padanya… seperti lagu sedih. Kini dia menjajarkan seluruh partiturnya dan mulai membaca liriknya secara acak.

 ‘And my heart is torn in two, thinking a days spent without you’

‘I want you to know that I’d die for you’

‘If you are alone, make sure you’re not lonely’

‘I know I’m not the only one’

Yunho terdiam lama. Ini seperti lagu yang berisi tentang patah hati. Kenapa diberikan untuk pernikahannya?

Kemungkinannya hanya satu, orang itu tidak menyetujui pernikahannya. Antara ia mencintai istrinya atau dirinya. Tapi tunggu… sang pencipta menuliskan namanya, berarti lagu itu untuknya.

Yunho mulai menyandarkan tubuhnya dan mengambil nafas berat. Entalah, dia bukannya kecewa diberikan lagu seperti ini. Dia malah merasa kasihan dengan orang tersebut. Entah siapapun dia atau dimanapun dia berada, ia berdoa agar orang itu mendapatkan kebahagiaannya sendiri.

.

.

.


.

.

3 Tahun Kemudian…

Minggu ini agak berbeda. Jika setiap akhir pekan akan Yunho habiskan dengan berjalan-jalan bersama keluarga kecilnya, kini dia berencana untuk diam saja dirumah bersama istrinya dan anaknya yang 3 minggu lalu genap berumur 1 tahun.

Setelah makan malam, ia duduk di atas sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi.  Beberapa kali memindahkan stasiun televisi karena tidak ada yang membuatnya tertarik.

Hingga istrinya datang dengan sekotak keripik.

Istrinya merebut remote darinya dan mulai memindahkan ke saluran kesukaannya. Penghargaan Musik? Huh, terserah saja… Yunho sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan ajang seperti ini.

Yeobo, aku sangat suka Youngwoon! Suaranya bagus sekali!”

Yunho tertawa sejenak, “Aku lebih suka kau menanyi untukku…”

Melihat istrinya tampak kesal karena dirinya malah membalas dengan gombalan, Yunho hanya berpura-pura tidak memandang istrinya.

Gyuut

“Aduh! Yak… kenapa kau malah mencubitkuu?!” Yunho merenggut sebal.

“Nakal!” sekali lagi istrinya malah menepuk paha Yunho sebelum kembali fokus pada acara di televisi.

.

“My heart is torn in two, thinking a days spent without you”

Yunho terdiam sejenak saat mendengar nada serta lirik lagu yang sangat familiar di telinganya. Buru-buru dia ikut mengalihkan pandangannya ke televisi untuk mencari tahu siapa yang menyanyi lagu itu.

Lagu yang diberikan padanya 3 tahun lalu saat pernikahannya… dulu dia sudah berusaha mencari tahu siapa yang membuat lagu sedih itu untuknya walaupun pada akhirnya nihil.

Dan kini dia mendapati lagu itu dinyanyikan oleh seorang yang dia yakin adalah orang yang sama dengan sang pemberi partitur lagu padanya.

Yeobo! Itu Youngwoon!”

Yunho bahkan tidak mendengar ucapan istrinya. Dia terlalu fokus untuk dapat melihat siapa yang menyanyikan lagu itu karena kini kamera masih menyeret dari jauh sang penyanyi.

Namun saat kamera mendekati sang penyanyi, Yunho tersedak.

“Kim Jaejoong?!” pekiknya.

“Kau tahu dia?”

Yunho berubah gugup dan menatap istrinya ragu, “Teman kuliahku dulu,” setelah itu Yunho kembali menatap televisi, tidak mengubris istrinya yang memekik senang.

Yunho tidak terlalu terkejut sebenarnya jika Jaejoong telah menjadi penyanyi sukses. Suara pria itu memang bagus sekali, ditambah dari dulu memang itu yang dia cita-citakan.

Jaejoong adalah temannya dulu yang tiba-tiba menjauh darinya secara misterius. Yunho pun tidak mau mengambil pusing. Setelah lulus dan mulai bekerja kabar Jaejoong benar-benar hilang.

Tapi, yang membuatnya tersedak kaget adalah kenyataan bahwa Jaejoong pernah mencintainya dan hancur karena dia memilih orang lain. Semua itu terlihat jelas dalam hadiah lagu itu…

So I’ll sing this song to you for the last time…


END


Kepalaku rasanya mau pecah saat tahu laptopku hilang… T_T
Sebenarnya aku sudah banyak melanjutkan beberapa cerita disana. Change, Bleed, Innocent, Rumor dan Halo separuhnya sudah aku buat. Love in the Ice sudah jadi 2 chapter. Beberapa sketsa fic baru rancanganku dan lain sebagainya yang tidak bisa ku ingat dengan lengkap.

Tapi semuanya sudah hilang dan aku juga sudah lupa apa saja yang sudah kutulis T__T)

Niatnya memang mau kupublish namun saat itu ada kendala perihal modem -_-)

Ya sudahlah… pokoknya aku minta maaf sekali jika nantinya agak lama update, aku harus berusaha meningat apa yang aku tulis biar nantinya nyambung (?) hahaha…

.

Kritik & Saran

—Z

Another

Another

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Warning: AU, OOC, Hurt, Meaningless, typos, dsb.
Rate: T
Disclaimer: Themselves

.


PLAK

Yunho hanya diam saat tangan Jaejoong melayang kearahnya. Entahlah. Mau marahpun segan karena ini semua adalah kesalahannya. Tatapan tajam dari Jaejoong membuat dia merasa tertekan, hingga ia hanya dapat menundukan kepalanya saja.

Bahkan, nafas memburu Jaejoong terdengar hingga ketelinga. Padahal jarak pria itu satu meter dihadapannya. Kemarahan Jaejoong begitu terasa.

Mereka hanya diam sampai Yunho mengeluarkan suara, “Maafkan aku.”

Bukan kata-kata sebagai balasan. Jaejoong malah mendorong Yunho hingga pria itu membentur tembok dibelakangnya, “DIMANA OTAKMU TOLOL?!” sekali lagi pukulan melayang. Lebih keras daripada yang tadi dan menghantam perut Yunho. Membawa rasa sakit didaerah itu. Ringisan Yunho terdengar namun tidak membuat Jaejoong mengiba.

Melihat Yunho yang malah menunduk memegangi perutnya membuatnya lebih kesal, “Tegakkan tubuhmu dan TATAP AKU!”

Walaupun perih, namun Yunho berusaha menegakkan tubuhnya dan menatap Jaejoong. Jaejoong menatapnya kembali tajam. Mata Jaejoong bergerak menelusuri matanya seolah mencari kebenaran.  Jantung Yunho terenyuh perih saat mendapati ada genangan dimata kekasihnya.

Tapi, sebelum air mata itu menetes Jaejoong mundur. Dia mengusap wajahnya kasar dan kembali menatap Yunho.

“Terserah kau,” ucap Jaejoong tiba-tiba dengan suara parau, “Nikahi saja gadis itu. Kita berpisah.”

Kenyataan pahit yang harus Yunho dapat, dia telan mentah-mentah. Sejak tiga hari yang lalu, dia sudah menduga Jaejoong akan mengatakan ini padanya. Namun dia tidak pernah tahu bahwa rasanya begini sakit.

Di sisi lain, rasa kecewa mengelitik Jaejoong. Di suatu bagian kecil sudut hatinya, dia ingin Yunho berusaha mempertahankannya. Namun di depan matanya sendiri, Yunho hanya diam saat dia mengatakan kata-kata berpisah.

“Ambil barangmu yang ketinggalan di sini, lalu pergi,” ucap Jaejoong lagi. Dia berjalan cepat meninggalkan Yunho menuju dapur. Mengambil segelas air putih sambil mengusap wajahnya berkali-kali agar tidak menangis.

Namun dibandingkan dengan Jaejoong. Yunho hanya terdiam diposisinya. Semua perkataan Jaejoong membuatnya kaku dan enggan bergerak. Tapi daripada dibilang enggan, tepatnya Yunho tidak sanggup.

Dia ingin menangis dan berlutut di depan Jaejoong agar menarik perkataanya kembali namun itu akan percuma.

“CEPAT AMBIL! KENAPA DIAM?!”

Bentakkan Jaejoong membuatnya tersentak. Dengan gerakan kaku Yunho bergerak meraih satu persatu barang-barangnya yang tersebar di apartemen Jaejoong. Hingga dia sendiri tidak sadar begitu banyak hal yang dia taruh disini. Baju, kunci, kaset, dan masih banyak lagi.

Namun diam-diam dia meninggalkan beberapa benda yang membawa kenangan dengan Jaejoong. Contohnya kamera Polaroid milik mereka. 4 bulan mereka menyisihkan gaji keduanya hanya untuk membeli kamera ini.

Hingga pada akhirnya, satu tas penuh berada di tangan Yunho. Dia menolehkan kepalanya mencari Jaejoong, dan tepat saat itu juga dia mendapati pria itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun ketika tahu Yunho balas memandang Jaejoong, ia malah memalingkan wajahnya ke arah lain.

Mereka diam.

Tapi Yunho berinisiatif dan duduk di sofa tepat sebelah Jaejoong.

Mianhae…” lirihnya.

Jaejoong mendengus mendengar perkataan maaf yang membuat telinganya terasa panas, “Pergi sana! Kita tidak punya urusan lagi.”

“Aku mabuk saat itu, Jae… kejadiannya satu bulan lalu saat pesta ulang tahun Changmin,” cerita Yunho.

Jaejoong mendelik, “Memangnya aku perduli, hah?!,” pria itu bangkit berdiri dan menatap tajam Yunho, “Pergi sekarang, sebelum aku mengusirmu, Jung!”

“Gadis itu yang datang, Jae! Aku bersumpah. Aku bahkan tidak tahu hari itu aku menanamkan benihku padanya,” balas Yunho. Dia ikut bangkit berdiri dan menatap Jaejoong.

“Terserah! Aku tidak perduli dengan ceritamu! PERGI!”

Please, Jae! Aku belum bisa pergi,” ungkap Yunho pada akhirnya. Dia berada di kondisi di mana selalu ada Jaejoong di sisinya. Jika dia dipaksa untuk pergi, Yunho mulai membayangkan bahwa dirinya tidak sanggup menempuhnya, “Aku salah! Maafkan aku. Maafkan aku, please…”

Jaejoong menunduk, “Pergi Yun…”

Yunho memegang tangan Jaejoong. Mencari mata kekasihnya yang tertutupi poninya sendiri, “Jangan begini, Jae… kau menyakitiku.”

“KAU PIKIR PERBUATANMU TIDAK MENYAKITIKU?!”

Genggaman tangan itu terlepas. Perkataan Jaejoong menusuknya. Tepat disana… tepat di hatinya. Sakit sekali…

Bentakkan Jaejoong membuat semuanya bungkam. Yunho hanya menatap nanar kearahnya, sedangkan Jaejoong menunduk dalam dengan punggung yang mulai bergetar pelan.

“Beri aku waktu…” lirih Yunho.

Jaejoong mendongak. Dia sudah siap membentak Yunho lagi jika pria itu memintanya waktu untuk saling memaafkan dan kembali berbaikan.

“Satu jam saja,” lanjut Yunho yang membuat Jaejoong bungkam. Malah perkataan pria itu membuat Yunho memiringkan kepalanya sedikit karena bingung.

Namun Yunho menatap Jaejoong tepat dimatanya. Membuat pria dengan mata besar itu terpana.

“Beri aku satu jam sebelum aku meninggalkanmu…”

.

.


.

.

.

Sebenarnya saat Yunho memeluknya dari belakang dan membuatnya terjebak dalam kondisi yang sunyi seperti ini, membuat Jaejoong sedikit sebal.

Pria yang kini menjadi mantan kekasihnya tampak diam membenamkan wajahnya di punggung Jaejoong. Sesekali menggesekkan wajahnya disana atau menghirup wangi tubuh Jaejoong. Ditambah dengan tangan Yunho melingkari pinggangnya erat.

Namun jika teringat 15 menit yang lalu Yunho meminta tambahan waktu satu jam membuat Jaejoong tidak bisa melawan. Dia membiarkan Yunho melakukan apapun di waktu yang singkat ini.

“Jae… Jaejoong…”

Yunho menggumamkan namanya begitu merdu membuat Jaejoong bergidik. Dia mencengkram tangannya sendiri.

“Aku akan banyak berbicara. Kau diam saja,” lanjut Yunho. Dia mengeratkan pelukannya. Bahkan agak terlalu keras, membuat Jaejoong merasa sedikit sesak. Tapi Yunho melakukan ini bukan karena dia ingin melukai Jaejoong. Dia tidak ingin pria dalam pelukannya ini pergi.

“Maafkan aku, Jae… Maafkan aku,” suara lirih dari belakang punggungnya membuat Jaejoong terenyuh.

Tapi Jaejoong menurut dengan perkataan Yunho. Dia tidak akan berbicara apapun!

“Kau pasti melihatku seperti pengkhianat, Jae… maafkan aku,” tangan Yunho yang berada di pinggangnya bergetar.

“Bodohnya aku. Seharusnya mabuk bukan menjadi alasan! Jika hatiku milikmu, seharusnya dengan naluripun aku bisa tahu dan tidak menyeleweng…”

“Maafkan aku…” satu tangan Yunho naik dan memeluk dada Jaejoong. Wajahnya dia benamkan pada punggung Jaejoong. Dan detik itu jaejoong bisa merasakan ada titikan air menempel di bajunya.

“Aku bahkan tidak tahu bagaimana sakitnya perasaanmu saat aku mengatakan, ‘aku telah menghamili Bora’. Aku bodoh… seharusnya kau menamparku 10 kali biar aku sadar diri, hehehe…” tawa kecil Yunho. Dia bukan sedang menghibur diri! Dia menertawakan dirinya sendiri.

Diam… Yunho tampak asyik mengusap wajahnya di punggung Jaejoong.

“Padahal kita baru putus sekitar 20 menit,” bisik Yunho memutus keheningan, “Tapi aku sudah ‘merindukanmu’, Jae.”

Jaejoong menutup mulutnya. Ucapan Yunho menohok. Kalimat itu begitu simpel, namun makna yang mengatakan bahwa, Yunho merindukan Jaejoong untuk tetap bersama, membuatnya sakit. Ditambah Yunho mengatakannya secara spontan. Hingga dengan begitu nakal, satu tetes kristal menetes dari mata pria cantik itu.

“Bagaimana dengan besok ya? Kalau aku rindu, bolehkan aku kesini?” gumam Yunho, “Aku masih boleh menelfonmu, kan, Jae… kau tidak akan menghapus nomorku, kan?”

Tangisan Jaejoong mengeras. Dia mengigit bibirnya sendiri menahan isakan. Egonya masih dia pertahankan agar Yunho tidak mendengarnya menangis.

“Aku mohon jangan berhenti kirimi aku pesan… Ingatkan aku untuk makan. Ingatkan aku untuk tidak bekerja terlalu malam. Aku tidak bisa jika kau tidak mengingatkan.”

Diam…

“Hehehe, aku seperti orang bodoh berbicara sendiri,” perlahan Yunho melepaskan pelukannya. Dia mengusap matanya sendiri. Sejujurnya matanya sudah mengalirkan air mata sunyi sedari tadi.

Perlahan Yunho membalikkan tubuh Jaejoong. Namun dia malah mendapati mantan kekasihnya menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Yunho bukan orang bodoh yang tidak tahu apa yang Jaejoong lakukan. Tanpa basa-basi dia menarik Jaejoong kedalam pelukannya. Memeluknya begitu erat.

Jaejoong tidak membalas pelukannya. Yunho pun sudah cukup sadar diri, tidak menuntut Jaejoong untuk melakukan apa yang biasa mereka lakukan dulu.

Tapi sekali lagi saja.

Yunho ingin egois.

Pria itu melepaskan pelukannya dan perlahan menarik kedua tangan Jaejoong agar tidak menutupi wajahnya sendiri.

Dia tidak perduli dengan wajah Jaejoong yang tampak berantakan. Dengan lembut dia menyatukan bibir keduanya.

Jaejoong memberontak! Tentu saja. Pria dihadapannya sudah bukan siapa-siapa lagi.

Tapi Yunho menahan lehernya. Cukup lama bibir mereka saling bersentuhan. Namun ketika Yunho hendak melumat bibir Jaejoong, pria itu mendorong pundaknya keras, membuat sentuhan mereka terlepas.

“Aku membencimu,” desisan halus dari Jaejoong.

“Aku sudah membuang rasa cintamu, Jung…”

Bekas air mata di sisi wajah Jaejoong tidak mengurangi tatapan tajam pria itu kepada Yunho, “Jangan harapkan apapun dariku lagi!”

“Dan aku bersumpah! Aku bisa mendapatkan kekasih yang lebih baik dari padamu!”

Ottokae? Ada pisau transparan menghujam perasaan Yunho.


END


Holy shit. Temanku menyanyikan lagu ‘Bernafas Tanpamu – Lyla’ tepat disampingku sambil memetik gitar. Sedikit kurang aku terbawa suasana dan ikut sedih. Terutama saat part, “Akulah serpihan kisah masa lalumu, yang sekedar ingin tahu, keadaanmu…” Eventough my friend is a boy, I heard his voice trembling.

.

Fanfiksi ini juga sedikit balas dendam *?* untuk Yunho-ku~ Arra~ “Dasar jelek *merong*”

.

Kritik & Saran?

Karma

Aku hanya akan menjadi orang tolol jika melupakan awal hubungan kita.
Itu begitu indah hingga aku lupa bahwa aku bertindak jahat…
Dan kini, karma menimpaku.


KARMA

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Warning: OOC, bit!Canon, typo, Boys Love, Broken.
Rate: T
Disclaimer: Themselves


2001. Kita bertemu di tahun ini kan? Maaf aku sudah lupa kapan tanggal tepatnya. Namun tahun itu adalah saat aku lulus dari audisi yang diadakan oleh S.M. Entertaiment dan mulai mengikuti training di perusahaan ini.

Dibesarkan dengan 8 kakak perempuan membuat orentasi seksualku sedikit menyimpang. Mungkin aku bisa tergoda melihat wanita. Namun aku juga bisa menyukai pria juga. Bisex

Maka kau terlihat berkilauan di mataku. Aku yang pada saat itu hanya remaja biasa sangat mudah terpikat oleh pesonamu. Dadaku berdebar kencang di dekatmu. Kau tegas. Mempesona. Membuatku ingin mengenalmu lebih lanjut.

Dan fiolla~

Kita berteman, semakin dekat dan dekat. Walaupun aku harus menelan kenyataan pahit bahwa kau memiliki kekasih, tidak apa-apa…

.

Hari itu aku menatap nanar isi dompetku. Bagaimana aku bisa tinggal di kota kejam—Seoul—ini tanpa uang yang mencukupi? Aku belum bayar sewa. Uang makan juga terbatas… bisa-bisa aku diusir.

Meminjam uang ke noona juga tidak enak. Bagaimanapun mereka juga pasti membutuhkan uang.

Di tengah rasa gundah itu, aku bisa merasakan ada yang mengetuk pintu. Buru-buru aku berlari kecil dan membukanya. Mendapatimu meringis kecil sambil menatapku memelas.

“Jae, jeball… boleh aku menginap di sini? Aku tidak punya tempat lagi.”

Kau meminta izin untuk menginap. Oh Tuhan… bagaimana bisa aku menolak? Tentu saja dengan senang hati aku mengajakmu masuk. Namun di saat itu kegundahanku mulai muncul.

Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman di tempat ini. Maka dari itu aku tidak mempersalahkan kau menetap tanpa mengetahui masalahku. Kuberikan jamuan yang baik agar kau nyaman.

Dan walau hanya sebentar, aku benar-benar menikmati saat itu.

Kita bahkan tidur di satu ranjang yang sama. Hal itu membuatku sama sekali tidak bisa terlelap. Kau membuatku lupa jika aku masih memiliki hutang yang menumpuk hanya dengan melihat wajahmu yang tertidur saja.

Ini gila! Perasaan ini menggerogotiku begitu cepat.

.

Hari mulai berganti, begitu juga dengan bulan. Kupikir jarak antara kita akan semakin dekat, namun aku lebih merasakan kita mulai jauh. Temanmu bertambah, kau dekat dengan kekasihmu. Walaupun kita bersahabat sekalipun, ini tetap terasa jauh. Sedangkan duniaku hanya berotasi padamu.

Aku tidak habis pikir kenapa kau begitu mencintai wanita itu. Jika dibandingkan denganku, aku rasa aku lebih baik! Mungkin kesalahan hanya terletak pada kenyataan bahwa dia adalah perempuan, sedangkan aku pria!

Rasa iri atas kekasihmu, membuatku senang sekali saat mengetahui kita akan dibuat dalam satu grup dengan nama Four Season bersama Kangin dan Heechul. Berarti aku bisa mulai membatasi hubungan antara kau dan orang di sekitarmu karena kita akan mulai sibuk! Ditambah waktu kita bersama akan bertambah drastis. Ini seperti menyelam sambil meminum air.

Dari anggota Four Season aku sangat iri kepada Heechul. Bagaimana bisa kalian begitu dekat? Bahkan banyak yang menyangka Heechul adalah kekasih wanitamu! Kalian tampak mesra dan membuatku iritasi. Pria itu bisa dengan mudah bergelayut padamu, padahal aku harus mati-matian hanya untuk melakukan itu! Hanya bertatapan denganmu saja sudah cukup membuat kerja jantungku menggila. Bagaimana bisa aku menyentuhmu?

Sedikiit saja aku ingin kau melirikku. Aku terkadang mendekati pria atau wanita lain tepat di hadapanmu. Dalam arti aku berusaha keras agar kau cemburu lalu kau menyadari perasaanmu! Namun nihil. Kau malah sering mengodaku jika dekat dengan wanita dan memastikan hubungan kami bertambah dekat. Aku kecewa dengan responmu.

Namun pada akhirnya Four Season tidak terbentuk. Kita malah dimasukan ke dalam sebuah grup…

DONG BANG SHIN KI!

Kisah cinta kita dimulai dari grup ini…

.


.

Kita satu grup. Bulan terus berjalan dan aku semakin mengenal pribadimu yang sangat sempurna untukku. Kau terlalu baik! Itu terkadang sering menyakitiku…

.

Hari itu kau menutup diri di dalam kamar membuat aku, Yoochun, Junsu dan Changmin bingung. Dimana leader kami yang setiap kali selalu ceria?

Sebagai yang tertua aku berinisiatif mendatangimu. Sebelumnya meminta kepada yang lain untuk tenang agar aku bisa berbicara denganmu. Ketika dongsaeng kita menyanggupinya dan mereka duduk di ruang tengah dengan tenang.

Tanpa suara aku memasuki kamar kita berlima dan melihatmu tertelungkup di atas kasur. Menggengam ponselmu dan aku mendengar deru nafasmu yang payah.

Aku bukan orang bodoh yang tidak tahu bahwa kau sedang menangis. Gerakku sedikit cepat dan segera aku meraihmu. Kau menatapku dengan genangan air mata.

Aku tidak pernah melihatmu sekacau ini. Terutama ketika kau bergerak memelukku dan menangis.

“A-aku sudah memberi segalanya, Jae… tapi dia pergi,” raungmu dalam tangis.

Dan seketika aku bisa menyimpulkan semuanya. Kau berpisah dari kekasih yang selama ini kau puja-puja. Yang kau cintai dengan sangat…

Kubalas pelukanmu dengan erat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Namun dari sisi hatiku yang paling dalam, diam-diam aku senang. Kau kalian berpisah! Akhirnya, perjuanganku tidak sia-sia…

Perjuangan? Kalian belum tahu apa yang aku lakukan pada gadis itu, kan?

Lebih baik kalian tidak usah tahu daripada pada akhirnya satu persatu dari kalian mulai menyalahkanku atas keterpurukan Yunho.

.

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menjadi sangat terobsesi denganmu. Aku berusaha menjauhkan semua pria atau wanita yang sering mengerling nakal kearahmu. Lihat betapa menjijikkan mereka. Namun bukan berarti aku tidak menjijikan…

Aku—Kim Jaejoong—rela melakukan apapun hanya untuk mendapatkanmu. Entah dengan cara yang benar atau tidak. Bukankah itu terlihat menggelikan? Hanya dengan yang kumiliki saja, aku bisa menggoda banyak orang agar memaksa mereka menjauhimu!

Yun, mungkin kau tidak tahu. Namun selama ini aku selalu mencuri ciumanmu. Yoochun pernah mempergokiku, namun kupaksa dia bungkam. Dia pasti sangat terkejut, aku yang selama ini dia kira straight ternyata adalah seorang gay yang mengincar leader mereka.

Hahaha…

Setelah itu, entahlah. Terlalu banyak kejadian sehingga terkadang aku melupakannya. Padahal kalau boleh jujur aku ingin mengingat semua kenangan kita dengan terperinci.

Ah iya! Kau tahu kan awalnya SM ingin mengangkat pamor DBSK dengan mengadakan 2U couple? Kau dan Yoochun. Gezz, itu menggelikan. Kalian sering mengikuti Variety Show hanya berdua dan membuatku kesal. Namun tidak mungkin kan, aku membenci anggota boyband-ku sendiri?

Namun beruntung 2U couple kalah pamor dengan YunJae couple! Syukurlah aku selalu mendekatimu sehingga mata para fans yang tajam jadi memandang kita. Membuat nama ‘YunJae’ dielu-elukan.

Karena itu, aku pikir, aku adalah manusia paling berbahagia di dunia ini.

.

“Yunho, kau dan Jaejoong tolong semakin dekatlah.”

Kau yang tengah meminum cola menengok ke arah manager, “Maksud hyung?”

“Dibandingkan 2U, YunJae lebih menjadi incaran fans”

Aku berbinar senang dan menatap manager-hyung penuh harap. Ditambah dengan Yunho yang menurut saja membuatku semakin girang.

Setelah manager-hyung pergi, Yunho menyikutku sambil tertawa pelan, “Ini akan menjadi sangat canggung, kkk~”

Alisku berkerut melihatmu, “Wae?”

“Kita kan sahabat~”

.

Awalnya memang perkataanmu menyakitiku, namun tak lama rasa sakit itu hilang. Aku bahagia, benar-benar bahagia. Dalam setiap Variety Show aku dapat dengan bebas bermanja padamu dan mengatakan hal-hal baik tentang kita.

Kebahagiaanku semakin membuncah saat kita melakukan drama ‘Dangerous Love’ kita tampak sangat lihai untuk saling bersentuhan. Saat melakukan adegan di dekat kotak telepon, wajah kita sangat dekat. Astaga, ini tidak baik untuk jantungku.

Dan setelah itu waktu berlalu. Semua Cassiopeia pasti ingat saat zaman ‘O-Jung Ban Hap’ kita menjadi sepasang kekasih saat itu. Padahal ini semua hanya berawal dari pembicaraan biasa!

.

“Kkk~ aku rasa banyak sekali yang menyukai YunJae,” ucapmu. Kau sedang duduk di depan komputer dan tampak sedang mencari artikel tentang kita.

“Kupikir kita memang terlihat cocok,” balasku tanpa ragu.

“Benarkah?”

“Ne.”

Hening. Aku tampak sibuk mencari cara untuk membuka topik. Namun aku tak menduga malah kau yang membuka pembicaraan di antara kita.

“Jae, pernahkah kau berfikir bahwa kau mencintaiku?”

Aku jelas kelabakan. Kutatap Yunho dengan pandangan tidak percaya, “Ah, kenapa bertanya seperti itu?”

Bibirmu melengkung dan menatapku, “Aku sering berfikir kalau aku mencintaimu…” kau menggaruk tengkukmu sejenak saat mendapatiku melihatmu dengan tatapan tidak percaya, “Err… lupakan saja, Jae.”

“Ah tunggu! Kalau kau bertanya apa aku pernah berfikir bahwa aku mencintaimu, aku jawab IYA! Iya, Yun! Aku mencintaimu!” karena kau hendak menutup topik kita, tentu saja akau buru-buru menyelanya.

Dan seketika kedua wajah kita memerah. Bahkan lidahku rasanya sangat kelu untuk berbicara. Hingga kita hanya saling menatap malu dan tanpa sadar tangan kita mulai terpaut. Awal hubungan yang manis, eoh?

.

Aku terlalu bahagia. Kita benar-benar menjadi sepasang kekasih. Ini semua diluar nalarku. Kita mulai berbagi banyak hal dan saling terbuka satu sama lain. Aku mulai mengurangi egoku yang dulu menjauhkanmu dari teman-temanmu. Karena tanpa aku harus menjauhimu dari mereka, kau tetap milikku!

Yun, maaf ya~ Tapi aku sering berfikir kau masokis! Kalian pasti tahu kan banyak sekali kecelakaan yang menimpa Yunho. Dari setiap kecelakan itu semuanya berhasil membuatku stress memikirkan kondisimu. Terkadang di kepalaku hanya berpikiran hal-hal buruk  yang bisa saja menimpamu untuk kedepannya.

Walau aku tidak terlalu perduli, kuakui Tuhan sangat baik. Jika tidak mungkin dia sudah membawamu pergi dan membuat hatiku hancur.

.

Kau tahu namja, bukan?
Akan sangat wajar jika kami membutuhkan hal-hal biologis seperti yang dibutuhkan oleh para namja pada umumnya. Dan ini juga terjadi pada kita—DBSK member.

Saat itu kami menonton film porno bersama. Dulu kami agak sering melihatnya bersama namun karena padatnya jadwal kami harus menikmati ini sendiri-sendiri.

Kau berada di sampingku. Semua lampu mati dan hanya meninggalkan LCD TV yang menampilkan adegan dewasa.

10 menit

Yoochun beranjak ke kamarnya.

15 menit

Junsu buru-buru pergi ke kamar mandi.

20 menit

Changmin masuk ke kamarnya.

Hanya tinggal kita berdua. Sejak lama aku ingin mencoba hal baru dalam hubungan kita. Sehingga dengan perlahan aku menyentuh tanganmu. Kita berdua sama-sama tegang. Adengan di TV semakin memanas.

Sampai aku lupa sejak kapan kita mulai berciuman. Dan aku memberikan diriku padamu.

.

Kita tinggal satu drom. Bersama 3 orang yang lebih muda dari pada kita, Yun. Sehingga membuat kita berdua adalah keluarga yang memiliki 3 orang anak. Tentu saja dengan senang hati aku menjalankan perananku. Memasak, beres-beres, menasehati dongsaeng kita.

Semua tampak sempurna. Hingga aku dapat merasakan sifatku sangat berbeda dibandingkan dulu. Terkadang aku menjadi suka merajuk dan sangat manja padamu. Aku berusaha tidak menjadi egois lagi agar tidak membuatmu kesal. Mati-matian aku berusaha menjadi sosok yang cocok denganmu. Kubuat sytle yang aku pakai serasi denganmu. Apa kau memperhatikan itu? Tentu tidak. Aku hanya terlalu terobsesi denganmu hingga melakukan hal ini. Namun aku tetap yakin kau mencintaiku, kok.

Selain itu, terkadang aku menyesali ketidak awasanku untuk melihat masa depan. Kau tahu, pada 2009 kupikir lebih baik kita tidak pernah ke Gwangju!

.

“Jaejoong-ah. Kau adalah sosok yang sangat baik. Kau cerdas, kau manis, telaten, bahkan kau begitu sopan. Namun bagaimanapun kau tidak bisa bersama dengan Yunho.”

Kita berdua atau lebih tepatnya aku terpaku mendengar perkataan ibumu.

Ini penolakan secara halus, kan?

Setelah ini tidak ada pembicaraan sama sekali antara kami semua. Aku memilih kembali ke hotel tempat di mana kami menginap. Meninggalkan Yunho yang entah apa yang dia bicarakan dengan orang tuanya.

Sesampainya di hotel aku terduduk di atas kasur. Lama… sungguh lama sekali aku duduk terdiam disini.

Sampai aku sendiri tidak sadar aku mulai menangis. Dengan payah aku memeluk lututku sendiri dan menenggelamkan kepalaku disana.

Sejak 2001. Banyak sekali yang telah aku lakukan untuknya. Begitu banyak hingga terasa menyakitkan. Setelah berhubungan badan, kupikir ini dapat membuat hubungan kami menjadi semakin intim.

Jujur, selama ini aku tidak pernah perduli gunjingan dari orang lain mengenai orentasi seksualku. Tapi saat mendapat penolakan dari kedua orang tua Yunho, membuatku sangat sedih. Bagaimanapun aku dan Yunho sangat mencintai satu sama lain. Hubungan kita juga bukan hanya hubungan ringan yang biasa dilakukan oleh para remaja.

“Huhuhu…” sadar isakanku semakin keras, ku raih bantal dan membenamkan kepalaku disana.

Kau tahu… aku berfikir bahwa, jika orang tua Yunho tidak setuju dengan ini, Yunho pasti akan menuruti kedua orang tuanya walaupun ini akan menyakiti kami berdua. Bagaimanapun orang tua adalah prioritas, bukan?

CKLEK

Pintu terbuka dan aku tahu itu Yunho.

Kau tidak berkata apapun malah mendekapku. Namun dengan cepat aku mendorongmu. Aku sedang dalam kondisi buruk. Bagaimanapun… walaupun itu adalah Yunho, aku tidak ingin diganggu.

“Jae, dengarkan aku. Maafkan orang tuaku, ne?”

Sengaja aku tidak membalas perkataanmu dan memilih diam. Aku menatap ke arah lain tanpa menganggapmu ada disana.

“Aku ingin memberimu penjelasan, kumohon dengar…”

Aku tetap diam! Sebenarnya aku ingin menendangmu keluar dari tempat ini, tapi rasanya tidak tega.

Namun keterdiamanku malah membuatmu melunjak dan semakin cerewet. Kepalaku rasanya berdenyut kesal karena ini. Tanpa pikir panjang aku menatapmu nyalang.

“Yun pergilah, sebelum aku membencimu.”

Wajahmu tampak syok. Namun tak lama kau mengiyakan dan pergi.

Aku tidak tahu bahwa egoku kembali muncul ke permukaan. Sejak hari itu aku selalu menghindari Yunho. Tidak berbicara, tidak saling bersentuhan. Tidak perduli dia selalu membujuk dan mengajakku berbicara. Terkadang aku berfikir apakah dia tidak lelah melakukan ini?

.

“Mwo? Kau, Yoochun dan Junsu memutuskan untuk keluar?”

Aku mengangguk mantap atas ucapan Yunho, “Kami sudah membicarakan tentang ini, Yun. Bukankah akan lebih baik jika kau dan Changmin ikut? Ayo, kita harus bergerak cepat.”

Yunho menggeleng, “Tidak! Aku akan tetap tinggal.”

Jika dulu kami sering seiya sekata, sekarang dia malah menolak ajakanku, “Yoochun dan Junsu sedang membujuk Changmin. Kau tidak mungkin tinggal disini sendirian, kan?”

“Walaupun sendirian aku tetap berada di sini,” ujarmu mantap.

Aku menatapnya lama, “Ternyata cuman sampai disini saja…”

“Maksudmu?”

Aku menatap Yunho kesal, “Rasa sukamu padaku! Bagiamana bisa kau tetap tinggal sedangkan aku tidak ada! Kau mulai terbiasa tanpa kehadiranku, kan?”

Kau kelabakan, “Apa maksudmu, Jae? Ini sama sekali tidak ada hubungannya. Kau memutuskan untuk keluar aku tidak masalah, sungguh. Ini tidak ada sambungannya dengan perasaanku padamu!”

Dalam otakku hanya terpikir kata, ‘Mengapa?’ sehingga sangat sulit merespon dan memutuskan jalan keluar dari hal ini.

“Terserah kau, Yun! Lebih baik memang semuanya berakhir, kan?! Aku pergi!”

Hari itu aku meninggalkan Yunho dengan suara debaman pintu yang sangat keras.

.

Bagiku itu adalah masa lalu yang menyakitkan. Aku masih sangat mudah terpancing emosi walaupun umurku sudah 20 tahun lebih! Tak lama setelah kejadian itu, aku baru dapat berpikir tenang setelah berada di JYJ dan mulai menyesali semuanya.

Dari awal ini bukan kesalahan Yunho namun aku selalu melimpahkan semua padanya. Jika saja waktu itu kami bisa berbicara, mungkin ini tidak terjadi. Sedikit kurang aku menyesal…

Kenapa baru saat kepalaku dingin semuanya terlihat jelas, namun semuanya terlambat! Berulang kali aku mencoba menghubungi Yunho atau Changmin. Beratus-ratus kali aku mencari artikel tentang mereka. Namun sangat minim…

Mereka seolah menghilang… padahal kata maafpun belum pernah aku lontarkan.

Kalian ingat kan berapa lama aku jatuh cinta padanya? Sudah 8 tahun! Dan dengan kondisi seperti ini aku mulai gila merindukannya.

.

Hari ini adalah hari ulang tahunku ke-26.

Banyak yang aku undang untuk merayakan ini. Teman lama, kerabat, ah… banyak sekali!

Kutuangkan kebahagiaanku disini. Kami berbincang banyak hingga mulai mabuk.

Setelah banyak yang mabuk di sekitarku dan kondisi mulai tenang tiba-tiba nama Yunho terlintas. Menyakitkan. Selama ini dia tidak pernah absen dari hari ulang tahunku. Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun tanpanya setelah 9 tahun.

Ditengah rasa pusing yang menjalar, aku mulai mengingat semua dosaku padanya.

Dan entah sejak kapan aku mulai menangis keras dan menjadi bahan tontonan temanku yang masih sadar. Otakku terlalu penuh akan namanya.

“YUNHO!”

Lalu gelap.

.


.

Dan kembali ke masa sekarang. Aku terkadang merasa gila karena merindukanmu sebagai kekasihku!

Kita berbaikan, tentu saja! Aku senang mendengar hal itu~ Namun berbaikan disini bukan dalam konsep yang aku inginkan. Aku ingin kita berbaikan dan kembali menjadi sepasang kekasih. Namun kau MENOLAKNYA! Entah kesalahanku ada di mana, namun saat kau memilih untuk berteman saja dibandingkan kembali menjadi sepasang kekasih sangat menyakitiku.

Beberapa kali kau berkunjung hanya dengan label teman di dadamu. Label yang sangat ingin aku cabut.

Ke over protektif-anku kembali! Aku menjadi sangat mudah cemburu hanya karena hal kecil yang kau lakukan. Ditambah dengan Changmin yang berada di pihakmu.

Tch, aku sudah menduga magnae itu memiliki rasa padamu, Yun! Menyebalkan. Dia bisa tetap berada di sampingmu, sedangkan aku tidak!

.

.


.

.

[NORMAL POV]

“Oke latihan selesai!”

“Ne!”

Yunho dan Changmin tampak berbincang sebentar sebelum keduanya berpisah dan akan melakukan kegiatan masing-masing. Yunho yang pada saat itu memang tidak memiliki jadwal berniat pulang untuk istirahat.

Hampir saja botol minum di tangannya tidak jatuh. Dia sedikit terkejut melihat gadis yang dulu menjadi tambatan hatinya sebelum dia berada di Dong Bang Shin Ki. Wanita cantik itu tampak menunduk sejenak sebelum mendekati Yunho.

Annyeong~”

Karena gugup, buru-buru Yunho membalas ucapan wanita itu, “Annyeong, k-kita berbicara di kantin saja bagaimana?”

Wanita itu tersenyum, “Arra~”

.

“Bagaimana kabarmu, Yun? Kita sudah lama sekali tidak bertemu dan berbincang seperti ini,” wanita itu tertawa pelan dan memandang Yunho.

“Aku baik,” Yunho menatap gadis itu tepat di matanya. Dia… dia adalah orang yang pernah sangat dia cintai dulu, “Kau ingin memesan sesuatu?”

“Ah, tidak usah aku sudah makan. Ah, ya ngomong-ngomong aku turut sedih atas grup-mu yang terpecah, Yun..”

Yunho tertawa pelan, “Itu sudah tiga tahun yang lalu. Kami sekarang fokus ke album baru, ‘Catch Me’.”

Hening.

Yunho menyesap kopinya sambil berfikir apa yang harus harus dibicarakan.

“Yun, kau dan Jaejoong masih berpacaran?”

Mworago? Yunho membulatkan matanya kaget. Bagaimana wanita ini bisa tahu? Hanya anggota member DBSK dan orang tuanya yang mengetahui hal ini, “Bagaimana kau…”

“Ah, maaf kan aku. Lupakan saja,” wanita itu menyadari kesalahan dalam ucapannya. Buru-buru dia mengalihkan pembicaraan namun hal ini membuat Yunho tambah curiga. Tanpa permisi dia memegang tangan wanita itu dan menatapnya lekat, “Beritahu aku, kumohon,” ucap Yunho lirih.

.

Yunho hanya terdiam melihat gadis yang ada di hadapannya. Wanita itu sudah menceritakan semuanya. SEMUANYA!

Bagaimana sejak 2001 Jaejoong telah terobsesi dengannya. Bahkan Jaejoong juga yang membuat gadis ini memilih untuk berpisah darinya. Hah… Ini terasa berat. Yunho mengusap wajahnya sendiri dan membawa perhatian gadis itu.

“Maafkan aku, Yun…”

Yunho hanya diam dengan tubuh yang bersandar ke punggung kursi, “Aku tidak tahu harus seperti apa,” ujar Yunho pelan, “Kau pergi lalu Jaejoong datang menghiburku sehingga pada akhirnya aku mencintainya. Jika diperinci memang Jaejoong yang salah, namun—“

Pria itu menatap wanita dihadapannya sekilas sebelum melempar pandangannya ke arah lain, “—Aku tidak bisa menyalahkan siapapun.”

.


.
.

Yunho terdiam sambil menatap ponselnya. Jaejoong mengirimkan pesan padanya. Setelah 3 bulan mereka sama sekali tidak saling berhubungan.

‘Hei kau di Korea, kan? Mainlah ketempatku.’

Kira-kira begitu isi pesannya. Membuat Yunho bingung antara mengiyakan atau tidak. Namun tak lama pria itu bangkit berdiri bersiap ke apartement Jaejoong. Tidak salahkan,s jika dia mengunjungi teman dekat?

.

Di tangan Yunho sudah terdapat satu kantung plastik besar. Dia mampir ke supermarket  sebelum kesini. Tidak ada salahnya membawa buah tangan, bukan?

Uh, udara dingin sekali. Yunho sudah melakukan banyak gerakan untuk membuat tubuhnya hangat. Bel pun sudah dibunyikan beberapa kali, namun Jaejoong belum membukakan pintu.

Ini sudah jam 2 pagi, jadi wajar saja jika Jaejoong ternyata sudah tertidur.

Sekali lagi Yunho menekan bel. Dan tiba-tiba pintu langsung terbuka, membuat dia terkejut.

“Cepat masuk, brr, dingiin!”

Yunho tertawa pelan dan segera masuk. Sifat Jaejoong sejak dulu memang tidak pernah berubah. Pria melepas sepatunya, “Lama sekali membukanya.”

“Aku tidur tadi,” ucap Jaejoong sambil menguap. Matanya menangkap objek yang berada di samping Yunho. Ada kantung putih besar disana, “Kau beli apa?”

“Camilan dan bahan makanan. Aku lapar,” Yunho mengambil kantung putih itu dan berjalan ke arah dapur. Menaruhnya di atas meja dan mengeluarkan isinya. Sedangkan Jaejoong duduk di atas meja samping Yunho. Memperhatikan bahan-bahan yang dikeluarkan teman akrabnya.

“Egh, kenapa kau beli kimchi instan?” Jaejoong mengangkat bungkusan itu sambil menatap heran Yunho.

Sekilas Yunho melirik Jaejoong sebelum kembali mengeluarkan bahan lain yang dia beli, “Itu untukku. Aku pusing jika tidak ada kimchi saat ingin.”

Jaejoong turun dari atas meja dan membuka kulkasnya, “Aku ada dua kotak kimchi. Kau bisa ambil satu.”

“Kau yang buat?”

Jaejoong menutup pintu kulkas, “Ibuku yang buat. Nanti kubungkus untukmu.”

Yunho mengangguk samar menjawab Jaejoong, “Aku ingin makan sesuatu yang hangat.”

Ramyun?” canda Jaejoong. Dia melihat Yunho dengan senyuman tipisnya. Namun Yunho menanggapinya dengan memutar bola matanya, membuat tawa Jaejoong lepas, “Bercanda. Aku tahu kau sudah muak dengan makanan instan seperti itu,” Jaejoong menggunakan apron dan bersenandung kecil.

“Jadi kau mau buat apa?”

Jaejoong membuka lemari dan mengambil panci besar, “Kimchi stew? Kau ingin kimchi, kan?”

Yunho meringis, “Sebenarnya tidak terlalu ingin.”

“Lalu kenapa beli kimchi instan?”

“Kan aku bilang itu untuk jaga-jaga jika aku ingin~” ujar Yunho sambil berjalan ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Menunaikan hasrat yang sedari tadi dia tahan selama perjalanan.

Jaejoong hanya mendengus. Dia memilih untuk mulai memasak. Memanaskan air, masukan bumbu. Selagi dia sedang sibuk memotong bahan yang akan menjadi isi. Ketika ia memotong kentang, Jaejoong tersentak kaget karena Yunho menepuk bahunya.

“Jangan mengagetkanku!”

“Maaf-maaf,” ujar Yunho sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Setelah memperhatikan Jaejoong yang sedang momotong bahan, tanpa permisi pria itu mengambil pisau lain dan membantu Jaejoong.

Kaget tiba-tiba Yunho membantunya, Jaejoong menoleh, “Tunggu saja di ruang tengah. Biar aku yang memasak.”

“Ajari aku memasak.”

“Eh?”

Yunho mengangkat bahunya, “Semenjak tinggal di tempat yang terpisah dari Changmin aku harus bisa mengurus semuanya sendiri,” ucap Yunho sambil memotong kentang, “Sangat merepotkan karena aku hampir tidak bisa memasak.”

Jaejoong mengangguk setuju. Pasti sangat merepotkan tinggal sendiri dan harus mengurus semuanya sendirian. Karena diapun begitu, “Tapi bukannya kau bisa buat stew?”

“Kemarin aku coba. Rasanya mengerikan,” Yunho bergidik saat mengingat stew buatannya. Hampir tidak ada rasanya! Pokoknya sangat aneh.

Jaejoong tertawa lalu menyikut Yunho. Pria itu hanya meringis dibuatnya.

“Aku ajari tapi setelah itu kau yang mencuci piring.”

“Siap, bos!” Yunho meletakkan tangannya di atas alis. Memasang posisi hormat, membuat Jaejoong lagi-lagi tertawa.


.

DUK!

“Ah!”

Yunho menoleh dan menarik Jaejoong mundur. Sungguh dia tidak sengaja mendorong pria itu hingga mau tidak mau dahi Jaejoong terbentur dengan lemari yang berada di sisi atas dapurnya. Salahkan dapur Jaejoong yang kecil hingga membuat Yunho tidak sengaja menyenggol Jaejoong ketika dia lewat.

“Tidak apa-apa?” Yunho melihat dahi Jaejoong. Sepertinya tidak terluka. Namun tadi suara benturannya lumayan keras.

“Hati-hati, dong!”

Yunho mendengus, “Salahkan dapurmu yang kecil,” Yunho melempar pandangannya ke seluruh dapur Jaejoong. Mencari alasan agar tidak disalahkan, seperti anak kecil, “Dan… apa-apaan ada ini?” dia menunjuk ke tempat gantungan handuk yang sangat panjang di sisi dapur Jaejoong, “Kenapa ada cucian dan handuk di dapur? Bukannya ini malah membuat cucianmu jadi bau?”

Sayangnya Jaejoong tidak mengubris. Sudah banyak yang mengatakan hal itu padanya, sehingga dia tidak perduli lagi.

Yunho berjalan mendekati gantungan handuk Jaejoong sebelum dia tertawa tertahan. Tentu karena ini, mau tidak mau Jaejoong menjadi penasaran. Ia menjeda kegiatannya dan melihat Yunho yang tampak menunjuk-nunjuk sesuatu.

“YAH!” Jaejoong mendorong Yunho dengan tubuhnya lalu buru-buru menutupi pakaian dalamnya yang sengaja dia gantung sebelah handuk.

“Warna merah dengan motif putih! Hahaha…” Yunho tampak tertawa puas setelah menemukan hal yang bisa dijadikan bahan ejekan. Bagaimana bisa Jaejoong yang sudah 28 tahun masih sangat kekanak-kanakan? Sama sekali tidak berubah sejak dulu.

Sedangkan di sisi lain Jaejoong sudah malu setengah mati. Bagaimana bisa dia sangat ceroboh? Dulu saat pembuatan DVD ‘Come One Over JYJ’ dia juga lupa menyimpan benda ‘keramat’-nya. Sehingga mau tidak mau pakaian dalamnya terekam dan kini tersebar di seluruh negri.

“Sudahlah! Untuk apa di bahas, sih?” bentak Jaejoong kesal, “Kau mandi sana. Aku akan selesaikan ini,” ucapnya sebelum kembali berkutat dengan peralatan masak.

“Oke, underwear merah,” ejek Yunho membuat Jaejoong mengerang kesal. Sebelum dapat menimbulkan kericuhan, pria itu memilih untuk langsung berlari kecil ke arah kamar mandi dengan kekehan ringan, “Aku pinjam bajumu, Jae~”

Langkah Yunho terhenti. Dahinya berkerut saat melewati lorong menuju kamar mandi Jaejoong. Sepertinya dulu di atas meja rias yang dekat kamar mandi Jaejoong tidak terlalu banyak kosmetik. Kenapa sekarang jumlahnya membludak?

Tangannya meraih salah satu lipbam yang di tutupnya terdapat tanda tangannya. Tidak lain itu adalah produk Missha yang dimana dia dan Changmin menjadi maskot produk itu. Namun yang Yunho pikirkan adalah, sejak kapan Jaejoong menggunakan Missha? Setelah berfikir sejenak, Yunho hanya menyimpulkan itu adalah pemberian fans. Bukankah ada banyak YunJae shipper maniak yang sering mengirimkan benda-benda seperti ini? Dia juga sering mendapat banyak benda dengan merk Tony Moly atau sesuatu yang berkaitan dengan Jaejoong.

Saat memasuki kamar mandi, Yunho kembali mengerutkan dahinya, “Itukan sikat gigiku,” tangannya mengambil sikat gigi berwarna putih dengan hiasan ungu tua. Sekitar 3 bulan yang lalu saat dia berkunjung kemari, Yunho ingat dia menggunakan sikat gigi ini.

Yunho mengusap sikatnya, “Basah?” dia diam sejenak. Ini tandanya ada yang menggunakan sikat giginya, kan? Dan satu-satunya orang yang bisa disalahkan adalah … Jaejoong.

Dia merenggut tidak suka dan memilih untuk mandi saja. Di kepalanya berkecamuk banyak hal. Seharusnya Jaejoong membuang sikat giginya, kan? Untuk apa disimpan? Dia berkunjung ke apartement ini juga terbilang jarang.

Tidak ada 10 menit Yunho menyelesaikan acara mandinya. Mengingat ini sudah sangat larut. Dengan handuk putih di pinggang, dia memasuki dress room yang dekat dengan kamar mandi. Memilih secara acak baju yang bisa dia gunakan. Toh tubuhnya dan Jaejoong tidak terlalu berbeda jauh. Namun matanya tertumbuk pada setumpuk pakaian yang berada di sisi ruangan. Dengan iseng Yunho membongkarnya. Namun pergerakannya terhenti saat mendapati bahwa setumpuk pakaian disitu rata-rata adalah pakaian yang hampir mirip dengan yang pernah dia pakai.

Singkatnya ini terlihat seperti couple T-shirt?

Perlahan tanpa dia sadari, ada rasa kesal menyeruak di dadanya.

Dengan asal dia menggunakan pakaian Jaejoong dan segera keluar dari dress room itu. Dia mendapati Jaejoong duduk di atas karpet sambil menonton televisi. Di depan Jaejoong terdapat meja yang awalnya kosong menjadi sedikit penuh dengan makanan-makanan di atasnya.

Berusaha melupakan rasa kesalnya, Yunho duduk di samping Jaejoong yang sedang makan, “Dari awal aku sudah bilang, beli meja makan.”

“Untuk apa meja makan kalau aku cuman sendiri?” balas Jaejoong yang membuat Yunho bungkam. Dia memilih untuk mulai makan saja dari pada membahas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dibahas. Lagi pula sebenarnya dia menyetujui apa yang Jaejoong katakan.

Dari ruangan luas itu hanya terdengar suara televisi yang menampilkan film action. Jika Jaejoong larut dalam film, maka Yunho sedang menimang-nimang apa yang akan dia bicarakan kepada teman baiknya itu.

Pria yang hanya berbeda dua hari dari Jaejoong itu menatap wajah Jaejoong yang tampak serius.

“Jae…”

Jaejoong agak tersentak saat Yunho menghancurkan konsentrasinya, “Ah, ya, kenapa?”

“Tidak jadi,” Yunho kembali fokus makan, “Nanti saja dibicarakannya.”

Jaejoong tidak suka pembicaraan yang setengah-setengah, “Jangan buat aku penasaran,” dia mematikan televisi menggunakan remot, lalu membenahi posisi duduknya agar berhadapan dengan Yunho.

Yunho memasukan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Dia juga merubah posisinya menjadi berhadapan dengan Jaejoong, “Pertama-tama, aku harap kau tidak marah. Aku minta maaf jika kau tersinggung,” dia menatap Jaejoong tepat dimatanya.

Jaejoong mengangguk mengerti.

Yunho menyentuh dadanya sejenak, menarik nafas dalam, “Bukankah seharusnya kau berhenti menyamakan apa yang kita gunakan?”

Jaejoong memiringkan kepalanya tidak mengerti, “Maksudmu?”

“Aku melihat banyak sekali pakaianmu yang mirip denganku, lalu sikat gigiku ada di kamar mandimu dan terakhir Missha. Sejak kapan kau pakai merk itu?” Yunho berkata dengan nada yang mirip seperti desisan. Takut-takut yang dia katakan bisa menyakiti Jaejoong.

Dan tentu saja itu menyakiti Jaejoong. Sangat. Pria itu hanya menatap Yunho dengan tatapan tidak percaya, tanpa berniat membalas apa yang Yunho katakan. Dan ini membuat Yunho bersalah, “Lupakan ucapanku, Jae,” ucap Yunho. Dia memilih untuk membereskan peralatan makan yang mereka gunakan dan membawanya ke dapur.

Bahkan Yunho menyempatkan diri untuk membersihkan seluruh peralatan masak itu. Terlihat jelas dia menghindari Jaejoong yang masih terdiam di ruang tengah.

Namun baru sampai di piring ke tiga, Jaejoong datang dan membatunya mengelap piring yang sudah dicuci.

Yunho menatap Jaejoong. Melihat pria itu menampilkan senyuman terpaksa, “Aku akan berjuang,” Jaejoong menjawab keinginan Yunho tadi.

Yunho mendesah, “Maafkan aku. Maksudku, maafkan keegoisanku.”

“Tak apa. Bukankan sebagai teman baik akan terlihat aneh jika kita memiliki banyak benda yang sama?” kekeh Jaejoong untuk mencairkan suasana. Namun bukannya membuatnya menjadi baik-baik saja, ini semua malah membuat kondisi mereka semakin kaku. Apa lagi Yunho sama sekali tidak menanggapinya.


.

Jaejoong terdiam melihat Yunho yang tampak asyik bercerita. Matanya menatap intes wajah Yunho yang menampilkan ekspresi yang berbeda-beda. Terutama saat pria itu tertawa karena ceritanya sendiri. Membawa desiran aneh di dadanya. Ada hasrat untuk menyentuh wajah itu.

Pada akhirnya tanpa sadar tangan Jaejoong terjulur dan memegang pipi Yunho. Namun saat pria cantik itu hendak mendekatkan wajahnya dengan Yunho, Yunho mendorong pundak Jaejoong menjauh dan mengguncang pria itu.

“Hey, Jae! Apa-apaan ini?” pekik Yunho. Dia sangat kaget saat Jaejoong melakukan gerakan tiba-tiba seolah ingin menciumnya.

Jantung Jaejoong berdebar cepat. Oh Tuhan… hampir, hampir ia mencium Yunho.

“Maafkan aku,” Jaejoong gelagapan. Dia menggeser duduknya menjauhi Yunho. Mengusap wajahnya kasar untuk mengembalikan kesadarannya. Namun melihat Yunho yang tampak masih kesal, Jaejoong merasa dadanya berdecit nyeri, “Maafkan aku, Yun. Sungguh.”

Mata Yunho terpejam untuk menenangkan detak jantungnya. Tak lama mata musangnya terbuka dan menatap Jaejoong dengan tatapan mengintimidasi, “Kita sudah berjanji, hanya teman.”

“Maaf…”

“Teman tidak berciuman Jae. Apa yang kau pikirkan?” desis Yunho. Dia mengacak rambutnya frustasi.

Kata-kata Yunho melukainya. Jaejoong hanya membiarkan jantungnya berdebar nyeri sebelum kembali membalas perkataan Yunho, “Aku sedang belajar menjadi teman yang baik, Yun. Tadi aku kelepasan.”

Yunho terdiam mendengar penuturan Jaejoong. Dia menunduk sejenak lalu kembali memandang Jaejoong, “Seharusnya aku yang minta maaf. Maaf membuatmu sulit. Kau sudah berusaha, seharusnya aku menghargai itu.” Yunho mengusap rambut Jaejoong sejenak. Mencari gerakkan yang bisa mencairkan suasana.

Namun sentuhan lembut di rambutnya tidak membuat Jaejoong membaik. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung sofa dalam keadaan menyamping agar tetap dapat melihat Yunho.

“Maafkan aku, Yun. Namun apa kau tahu? Ini sangat sulit untukku,” tutur Jaejoong, “Aku mencintaimu. Sangat! Awalnya kita adalah sepasang kekasih yang saling membutuhkan. Aku terbiasa menyentuhmu dan melakukan kontak intim seperti berpelukan atau ciuman,” Jaejoong menghela nafas. Tangannya memainkan ujung bajunya untuk mengurangi rasa gugupnya.

Yunho menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Jaejoong yakin Yunho pasti merasakan hal  yang sama dengannya, “Lalu saat itu aku terbawa emosi hingga memutuskanmu. Ini sangat menyulitkanku. Aku harus beradaptasi dengan kondisi yang baru dimana kau tidak ada disana,” Jaejoong menunduk dan mengusap matanya saat merasa ada genangan di pelupuk matanya.

“Jae-“

“Jangan menyelaku. Aku belum selesai,” ucap Jaejoong memotong perkataan Yunho. Dia mengangkat wajahnya menatap Yunho.

Menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya, “Aku terbiasa dengan kehadiranmu. Sangat sulit untuk bergerak maju. Apakah kau mengerti maksudku?” ulang Jaejoong. Ia melihat Yunho mengangguk, “Tak lama, setelah aku Yoochun dan Junsu pergi, kita semua mulai berbaikan dan mau saling memaafkan.”

Yunho mengangguk meng-iyakan.

“Tapi walaupun kita semua berbaikan, hubungan kita tidak membaik, Yun…” dia menatap Yunho dalam.

Yunho merasa tatapan Jaejoong mengintimidasinya. Membuatnya merasa tidak nyaman, “Maafkan aku.”

“Ah, tidak. Aku tidak menyalahkanmu,” Jaejoong memperbaiki posisi duduknya, “Kau tidak salah saat menawarkan persahabatan denganku. Aku yang salah karena masih tidak mau menerima kenyataan itu.”

“Tapi seharusnya aku juga paham perasaanmu.”

Tangan Jaejoong bergoyang. Menandakan pria itu tidak setuju dengan pendapat Yunho, “Kau tidak salah. Aku yang salah.”

Yunho mendesah, jengah, “Jae, dengar. Aku selalu membuatmu sulit. Lebih tepatnya aku selalu membuat semua ini menjadi sulit. Aku tahu perasaanmu dan aku juga tahu perasaanku, namun aku takut, aku tidak sanggup jika hubungan kita kembali. Ini membuatmu harus bersabar untuk-“

“Wajar jika kau takut, Yun. Aku telah melukaimu begitu dalam. Menjadi sangat tidak tahu diri jika aku malah ingin kita kembali.”

“Jangan menyelaku! Kau bahkan belum mendengar apa yang inginku katakan,” bentakan Yunho membuat Jaejoong tersentak. Dia menunduk dan meremas tangannya sendiri.

Jaejoong tampak takut, membuat Yunho merasa bersalah, “Maafkan aku,” ujar Yunho setelah tenang, “Seharusnya dari awal kita merahasiakan hubungan kita dari orang tuaku. Bukannya memaksakan diri agar mereka tahu hal ini,” tangannya mengelus pundak Jaejoong singkat.

Mereka diam dan tampak tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Jika Yunho berfikir bahwa ini adalah salahnya, maka Jaejoong berfikir bahwa inti dari ini semua berasal darinya.

“Tapi aku membuat semuanya menjadi lebih sulit.”

Yunho terdiam mendengar nada getir Jaejoong.

“Saat tahu bahwa orang tuamu sebenarnya tidak menyukaiku, seharusnya itu bukan menjadi alasanku kesal padamu. Kau ingatkan aku terus menghindarimu sejak kejadian itu,” ia mengusap wajahnya sejenak. Pembicaraan ini membuatnya frustasi, “Bahkan aku memperparah segalanya dengan meninggalkanmu dan Changmin.”

Sebagai leader seharusnya Yunho memiliki cara untuk menenangkan—mantan—anggota bandnya. Namun mendengar nada putus asa dari Jaejoong membuatnya tidak bisa berkutik dan membiarkan pria itu terus melanjutkan ceritanya.

“Lalu kita bertengkar hebat karena ini. Jika aku bisa kembali, aku tidak akan marah-marah padamu saat itu hingga kita berpisah. Aku sedang gelap mata saat itu,” Jaejoong mengusap wajahnya. Dia yakin penampilannya sudah hancur sekarang. Berkali-kali dia mengusap wajahnya kasar atau mengacak rambutnya sendiri, “Jika biasanya aku bisa mengambil keputusan dari pertengkaran yang biasa kita lakukan, saat itu aku sama sekali tidak bisa. Aku malah memperuncing keadaan dan tidak bisa mencari cara untuk menyelesaikannya.”

Dadanya sudah sakit. Jaejoong ingin menangis di hadapan Yunho dan mengeluarkan semua unek-uneknya seperti dulu. Seperti dulu. Namun dihadapannya bukan Yunho kekasihnya. Namun Yunho temannya. Ini membuatnya merasa aneh.

“Jika aku bisa memutar waktu, sekarang mungkin kita masih menjadi sepasang kekasih, Yun,” cicit Jaejoong, “Jika bisa mengulang, aku memililh untuk mendengar ucapanmu dan tetap berada di sisimu. Aku berjanji akan berdamai denganmu dan diriku sendiri,” pria itu sudah sampai di titik dimana dia sudah tidak bisa membendung semuanya. Tangisannya pecah seperti yang biasa dia lakukan dulu. Hanya di depan Yunho dia menampilkan seluruh kelemahannya. Seperti dulu.

“Aku terlalu bodoh karena terus bertahan dengan egoku. Aku yang memulai semuanya, Yun. Bahkan aku tidak memikirkan bagaimana hidupku tanpamu nantinya. Saat kita mulai berpisah dan tidak pernah berhubungan lagi … aku … aku … aku hancur! Aku merindukanmu sampai aku merasa cukup gila karenanya.”

Yunho tidak merespon. Tepatnya dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Semua pengakuan Jaejoong membuatnya ingin menangis juga. Perkataan pria itu seolah memaksanya untuk mengingat masa di mana dia benar-benar terpuruk dengan kondisinya. Butuh waktu yang lama agar dia dapat berdamai dengan dirinya dan mau memaafkan yang lainnya.

“Aku seperti orang bodoh terus berusaha menghubungimu. Bahkan sampai memposting hal ini di jejaring sosial. Padahal aku tahu hasilnya tetap saja nihil,” Jaejoong menertawakan dirinya sendiri mengingat dirinya yang dulu.

Tangan Yunho terangkat. Menghapus air mata Jaejoong, “Jangan menangis,” ucap Yunho parau. Bagimana pria itu menyuruh orang lain untuk berhenti menangis jika dirinya sendiri sudah berkaca-kaca seperti itu?

Sekilas Jaejoong mengecup telapak tangan Yunho. Dia merindukan sentuhan dari tangan ini, “Setelah itu aku, kau, Changmin, Yoochun dan Junsu berkumpul dan saling memaafkan. Egoku kembali muncul karena kita berbaikan, dan memintamu kembali. Tentu kau menolaknya dan itu menjadi tamparan keras untukku. Aku menangisi diriku sendiri jika mengingat itu,” lanjut Jaejoong.

“Sudah…” Yunho berbisik meminta Jaejoong menghentikan ceritanya. Ini semua melukainya sangat dalam. Dalam sunyi air mata Yunho menetes turun.

“Sampai akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Kita berteman namun disini masalah kembali muncul,” Jaejoong tidak menuruti keinginan Yunho dan terus bercerita, “Aku menderita karena status pertemanan kita! Bagaimana bisa, Yun… Bagaimana bisa aku mencintai orang yang sebenarnya paling tidak boleh aku cintai?

Yun, kau terlalu baik. Kau sangat baik padaku. Bagiamana aku bisa berhenti mencintaimu? Aku sudah berusaha, sungguh. Awalnya aku berharap kau menjadi jahat dan kejam. Berniat membalas dendam padaku, Junsu dan Yoochun karena meninggalkan kalian. Namun itu tidak pernah terjadi. Kenapa kau memaafkanku, Yun? Kenapa kau begitu baik padaku? Kenapa kau masih mau datang kemari mendengar ceritaku setelah aku melukaimu begitu banyak? Aku bah—“

“Cerewet,” Yunho menghentikan seluruh ucapan Jaejoong dengan dekapan lembut. Dan disana semuanya tumpah begitu saja. Jaejoong balas mendekap Yunho dan menangis keras.  Begitu juga dengan Yunho yang menangis dalam diam. Semuanya beban terasa tersalurkan perlahan.

Hampir sepuluh menit mereka dalam posisi seperti ini. Sudah tidak ada isakan lagi diantara keduanya. Hanya ruangan sunyi yang menjadi saksi bisu keduanya.

“Aku mencintaimu, Yun,” bisik Jaejoong pelan. Lelah menangis, kepalanya terkulai di pundak Yunho. Sedangkan kedua tangannya masih memeluk pinggang Yunho.

Yunho terdiam sejenak, “Aku juga,” balasnya lirih. Dia mengeratkan pelukannya terhadap Jaejoong. Hingga membuat Jaejoong merasa sangat aman dan tenang. Pria itu perlahan memejamkan matanya mencari kehangatan yang sudah hampir tidak bisa dia rasakan lagi.


.

Jam lima pagi, Yunho memilih untuk segera pulang. Setelah saling mencurahkan isi hati dan menangis, kondisi keduanya sudah tampak lebih cair.

Jaejoong membawakan Yunho satu kotak kimchi seperti janjinya tadi. Dilihatnya Yunho sedang bersiap dan membereskan barang-barangnya. Mata Jaejoong yang awas mengikuti pergerakan Yunho yang sedari tadi mondar-mandir di hadapannya.

“Yun,” Jaejoong menoel pundak Yunho yang baru selesai menggunakan sepatunya. Membuat perhatian pria itu tertuju padanya, “Jadi sekarang kita … sudah kembali?” tanya Jaejoong penuh harapan. Dalam hatinya dia berharap dengan adanya kejadian tadi, Yunho mau memulai semuanya dari awal dengannya. Toh jika mereka kembali, Jaejoong akan berjanji menjadi semakin baik dan baik untuk Yunho.

Namun ketika Yunho menunjukan senyuman terpaksa, Jaejoong hanya bisa menelan ludahnya sendiri.

“Maafkan aku. Tapi aku belum bisa,” ucap Yunho getir, “Maafkan aku. Aku mencintaimu tapi aku tidak bisa.”

Jaejoong hanya menatap Yunho dengan nanar. Tak lama dia menepuk pundak temannya dan memeluk pria yang lebih tinggi sekilas.

“Tak apa, aku tahu… aku sedang menerima karma-ku.”


Eventough Loving You is A CRIME
I’ll be happy

-END-


Ini fiksi yang kubuat kemarin untuk lomba di Fanficyunjae.

Kkk~

Kritik & Saran?

I’m Sorry

Warning : OOC, AU, typo, REAL PERSON fanfiction, BOYS LOVE, Hurt
Rate : T
Disclaimer: Themselves

.

Italic di tengah (center text) = Flashback


.

Aku selalu mengalami kesulitan untuk menyatakan seberapa besar cintaku untuk orang yang sangat kucintai.
Aku minta maaf untuk itu…
Maafkan aku Jae…
Sungguh, maafkan aku.

.


.

I’m Sorry

-Z-

.

YunJae Fanfiction

.

Terinspirasi dari, “I’m Sorry by Gummy
Arti dari lagu ini selalu menyakitiku.

.


.

Sejak dua minggu yang lalu, aku harus menerima kenyataan untuk selalu terbangun tanpa kau bersamaku.

Ini menyakitiku, sungguh. Aku terlalu terbuai dengan kehadiranmu setiap pagi yang membangunkanku dengan lembut. Mengusap pipiku sambil mengatakan beberapa besar cintamu padaku. Setelah itu memberi kecupan kecil sambil memanggil namaku berkali-kali sampai aku terbangun.

Saat aku sedang berada dalam kondisi yang baik, aku akan membalas ciumanmu dan kita tertawa bersama sambil melewatkan pagi hangat dengan secangkir coklat hangat. Namun  jika tidak tidak aku dengan seenaknya akan menepis tanganmu dan segera pergi.

Walaupun kau tidak terisak, aku tahu dalam hati kau menangis.

Maafkan aku…

.

Sejak dua minggu yang lalu, aku harus duduk di meja makan sendirian.

Aku memejamkan mataku mengingat dahulu aku sering mendengar suara penggorengan dan mencium wangi makanan yang begitu lezat. Diiringi dengan kehadiranmu menggunakan apron biru dan suara lembutmu menyenandungkan lagu cinta tanpa kenal lelah.

Tapi kini semua berbeda. Aku duduk sendirian di meja makan hanya dengan semangkuk sereal.

Tidak ada kau…

Aku memandang kursi di depanku yang biasanya selalu terisi. Kenapa aku baru merasakan sekarang betapa kosongnya semua ini tanpamu?

Saat aku marah aku akan mengabaikan masakan yang kau buat atau memperlakukan mereka seperti sampah. Namun kau tidak pernah marah… kenapa?

“Jae, kenapa kau tidak pernah marah padaku?”
“He? Pertanyaanmu aneh, Yunho-ah… tentu saja karena aku mencintaimu

Jae… maafkan aku.

.

.

Aku harus bekerja. Selelah apapun atau sesedih apapun aku harus tetap bekerja. Aku duduk di kursi bagian pemasaran. Sibuk dengan banyak berkas yang harus diselesaikan.

Meja di sampingku begitu kosong. Semua barang-barangnya telah tiada, hanya menyisakan satu komputer dalam keadaan mati.

Sejak dua minggu yang lalu, kau berhenti bekerja dan membiarkan sisi sebelah kananku terasa begitu sunyi dan kosong.

Aku teringat aku sering kesal padamu karena terus berceloteh padahal kita sedang bekerja.

“Ah, diamlah, Jae!”
“Yak, aku belum selesai berceritaaa…”

Tapi, saat aku marah aku hanya diam tidak berbicara dan membuatmu terus menunduk ketakutan di sampingku.

Jae… Kim Jaejoong… maafkan aku.

Kembalilah, aku akan membiarkanmu berceloteh sampai kau puas.

.

.

.

Sejak dua minggu yang lalu, setiap harinya aku menjadi gila karena merindukanmu.

Aku berdiri diam di depan kamar yang—dulu—kau gunakan. Kepalaku ku sandarkan di pintu sambil memejamkan mata. Dulu kau akan menutup pintu kamarmu seperti ini saat sedang menonton drama sedih dan melarangku masuk. Biasanya aku akan menggodamu dengan banyak hal…

“Jae~ buka pintunya…”
“Andwae! Hiks… huwe, Kim Sooyoung.”
“Aku buang Changchang loh, nanti. Ayo buka!”
“C-changchang?! ANDWAE! Tunggu… tunggu biar aku bukakan pintunya!”

Namun saat aku marah. Kau akan diam mengurung diri di kamar hingga pagi. Karena kau tahu bahwa kehadiranmu malah membuat amarahku semakin meledak-ledak.

Hey, Jae…

Aku pernah memukulmu, kan?

Di pelipismu… aku masih ingat kejadian itu.

Apakah itu sakit, Jae? Mana yang sakit?

Aku akan mengobatinya jika masih bisa kembali ke saat itu. Aku menyesal malah meninggalkamu begitu saja setelah melakukan hal sejahat itu.

Maafkan aku Jae… Kembalilah.

.

.

.

.

Kamarku begitu sepi sejak dua minggu yang lalu.

Tidak ada kau yang membereskannya. Tidak ada kau duduk di kasurku menungguku yang sedang bekerja,
menungguku sedang mandi,
menungguku sedang merakit robot,
menungguku saat aku belum pulang,
menungguku saat aku tidak pernah tahu bahwa selama ini kau selalu mengguku!

Kenapa kau selalu mau menungguku? Kenapa kau selalu mau bersabar terhadapku?

“Loh, Jae… kenapa belum tidur? Malah menungguku pulang?”
“Hahaha, kau ini bagaimana sih? Tentu saja aku menunggumu karena aku ingin bersamamu!”

Kamar ini…

Kamar ini terkutuk.

Kamar ini tempat dimana kita mulai sering bertengkar—lebih tepatnya aku marah-marah kepadamu.

Kamar ini juga adalah tempat perpisahan kita. Aku benci tempat ini.

Selama ini kau selalu pintar untuk menutupi air mata kesedihannya. Namun ditempat ini… dikamar ini… kau menangis begitu keras karena aku.

Masalah kita muncul sejak 1 bulan yang lalu dan puncaknya adalah saat aku bercinta dengan orang lain di kamar terkutuk ini.

Padahal selama ini, ciuman adalah jarak paling jauh yang pernah kita tempuh.

.

.

.

.

.

TING TONG

Aku terdiam di depan rumah barumu. Menunggu pintu dibukakan dengan jantung yang terus berdegup liar. Ini sudah tiga minggu kita tidak bertemu dan aku benar-benar bisa menjadi gila jika tidak bisa bertemu denganmu. Aku merendahkan segala harga diri dan egoku untuk bertemu denganmu, Jae~

Pintu terbuka dan ibumu disana. Menatapku lama dengan tatapan sendu.

Aku menunduk dalam memberi salam. Memohon dan meminta izin pada beliau agar diperbolehkan untuk menemuimu. Sekali saja.

Wanita tua itu mengizinkanku.

“J-jangan terlalu keras padanya, Yunho-sshi. Dia baru saja tertidur setelah semalaman menangis,” mohon ibumu padaku. Aku hanya mengangguk mengiyakan dan tersenyum kecil.

Tanganku bergetar hebat saat membuka pintu kamarmu. Perasaan bersalah dan rindu begitu menyeruak.

Air mataku menetes tanpa aba-aba mendapatimu sedang tertidur dengan Changchang—boneka gajah yang kubelikan untukmu—berada dalam dekapanmu. Kelopak matamu menebal karena bengkak dan sekilas hidung mancungmu terlihat memerah.

Buru-buru aku mendekatimu dan bersimpuh di samping ranjangmu. Memandangmu dengan jarak dekat. Oh Tuhan… wajah ini… aroma ini… semua ini yang sangat aku rindukan.

Kuberikan sentuhan di pipimu. Begitu halus… namun hal ini membuat matamu terbuka tiba-tiba.

Kau tersentak kaget karena kedatanganku. Namun kau tidak memberontak atau memintaku untuk pergi. Kita masih dalam posisi yang sama hingga tanpa aba-aba kau bangkit untuk duduk.

“Kenapa kemari?” ujarmu begitu serak. Aku tidak menjawab karena tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah aku bilang bahwa aku begitu merindukannya? Heh, konyol…
“Bukankan lebih baik tidak usah berjumpa lagi?” ucapmu lagi karena aku tidak merespon.
“Kita kan sudah berpisah…”

Kau begitu tenang mengatakannya. Ini sangat menyakitiku. Dengan lembut aku meraih tangannya dan menggengamnya. Namun kau menepisnya pelan namun itu menjadi tamparan keras untukku.

Apa sentuhanku begitu sakit sehingga kau tidak ingin kusentuh, Jae?

“Pergilah…”

“Aku ingin minta maaf,” ucapku mantap sambil memandangmu.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” balasmu lirih. Kau bergerak pelan membuat Changchang terjatuh dari atas kasur. Itu memang tidak penting, namun dimataku itu terlihat seperti kau membuangku perlahan.

Aku terdiam sejenak. Namun tak lama aku menarik tubuhmu secara paksa agar kita berhadapan, “Aku minta maaf! Aku bodoh! Kau boleh mengatakan itu padaku!”

“Maaf untuk segala luka yang ku beri.”

“Maaf karena tidak melakukan apapun setelah menyakitimu.”

Air mataku menetes.

“Maafkan aku karena tidak bisa mempertahankan hubungan kita!”

“Maaf untuk semua kejadian yang terjadi di antara kita.”

“Maaf untuk setiap tetes air mata karena perbuatanku.”

“Maaf, aku tidak bisa melupakanmu.”

Air matamu menetes.

“Maafkan aku…”

“Aku hanya ingin melihatmu untuk terakhir kalinya saja, Jae.”

Saranghae…”


END


Lagu seperti ‘DoushiteTohoshinki’, ‘On Bended KneeBoyz II Men’ sering menyakitiku…

Seperti judulnya, fanfiksi ini mengandung banyak kata, “Maaf…” Hahaha, aku juga minta maaf kepada seluruh orang yang membaca fanfiksiku jika banyak kata-kata yang tidak berkenan… Aku—sangat—mencintai kalian :D

Kata-katanya banyak kuambil dari lagu ‘I’m SorryGummy’

.

Ngomong-ngomong, FOLLOW ME!
at)Zknoow
-mention for follback & freechat!-

Aku salah pernah bilang pada temanku untuk tidak berhenti promosi twitter baruku sampai follower-nya melebihi nona at)BornFreeOneKiss aka Kim Jaejoong. Duh…

.

Kritik & saran?

Truth

Playing : Truth – Seether (inspirasiku)

Warning : OOC, typo, menggantung, Dark!Yun, Yaoi, bit!Gore, bit!rape
Rate: M
Disclaimer : Themselves

…:::::…

Truth

-Z-

.

.


.

.

.

Yunho mengerang. Mencengkram apapun di sekitarnya. Tubuhnya memanas hingga membuatnya tidak bisa bernafas. Kepalanya sakit luar biasa dan peluh membasahi kaus abu-abu tipisnya.

“AARGH!” dia menjerit keras saat sakit di kepalanya sudah tidak tertahan lagi. Rasa puluhan palu memukul kepalanya secara bergantian.

Dia tidak pernah mengira bahwa hari ini akan datang.

He beaten down now

.

.

.


.

.

Jaejoong terkejut setelah 1 minggu tidak ada kontak, kekasihnya mengajak bertemu di flatnya. Tanpa pikir panjang dia segera mengambil kunci mobil dan bergegas menuju tempat kekasihnya.

Dia khawatir sekali dengan keadaan kekasihnya—Yunho. Pria itu jadi sering menghindarinya. Tidak tahu mengapa.

Jantungnya berdebar begitu keras saat memasuki bangunan tinggi tua yang sudah brobok yang terdapat flat milik kekasihnya. Sekarang sudah jam 8 malam dan tidak ada lampu yang menyala di bangunan itu.

Menurut kabar, hanya Yunho yang menempati tempat itu sendiri. Bangunannya sudah lapuk dan sering terjadi kerusakan di saluran pipa atau pendingin ruangan. Sedangkan Yunho terpaksa menempati tempat itu karena terdesak oleh keuangan. Bayangkan, biaya sewanya kurang dari lima puluh ribu won. Bagaimana Yunho tidak tergiur? Walaupun Jaejoong sudah menawarkan tempatnya untuk ditinggali bersama, namun pria itu menolak.

Karena takut untuk masuk, Jaejoong mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kekasihnya.

“Yun—“

“Masuk saja Jae. Tidak apa-apa, aku di dalam.”

Bahkan dalam telfon sebelum Jaejoong berucap apapun, Yunho sudah tahu apa maksudnya. Aneh sekali.

Jaejoong menaiki tangga besi perlahan. Suara derit tangga yang sudah rapuh membuatnya bergidik ngeri. Bagaimana jika tiba-tiba dia jatuh? Dengan cepat Jaejoong melewati anak tangga dan sampai di lantai dua. Tempat dimana kekasihnya berada.

Dengan sedikit tergesa Jaejoong berlari kecil ke kamar kekasihnya yang berada di ujung dan mengetuk pintunya tidak sabaran. Sedari tadi bulu kuduknya sudah berdiri. Dia takut sekali dengan bangunan ini. Rasanya ada hantu yang mengintainya sehingga membuat nafasnya sesak.

Dan Jaejoong benar-benar bersyukur saat Yunho membuka pintunya lima detik setelah dia mengetuk. Setidaknya dia tidak harus menunggu dengan penuh ketakutan di depan flat kekasihnya.

Jaejoong merona heboh saat mendapati Yunho dalam keadaan topless menyambut kedatangannya. Keadaan malam yang remang-remang ini membawa kesan yang berbeda.

.

“Kenapa lampunya tidak dinyalakan, Yun?”

Yunho menuangkan air putih ke dalam gelas dan menyodorkannya ke Jaejoong yang duduk tenang di atas sofa, “Sepertinya ada masalah dengan aliran listriknya. Sudah sejak kemarin tidak menyala.”

Jaejoong meminum air dalam gelas sambil mencuri pandang ke arah kekasihnya. Keadaan flat Yunho gelap gulita. Namun pria itu membuka pintu beranda membuat cahaya bulan dari luar menerangi ruangan itu, walaupun hanya sekelebat.

“Aku sudah bilang tinggal saja di apartementku. Kau malah tidak mau,” rajuk Jaejoong dengan bibir sedikit dikecurutkan.

Namun aneh. Yunho tidak tertawa kecil seperti biasa. Biasanya setiap melihat dirinya merajuk Yunho akan tertawa kecil lalu memeluknya. Namun kini pria itu malah menatapnya datar.

Mata mereka bertemu lama. Aneh… Jaejoong merasa ada yang berbeda dari pandangan Yunho. Yunho menatapnya dengan begis seolah ingin menerkam dirinya.

Jaejoong menggeser tubuhnya menjauhi Yunho. Secara naluriah dia ketakutan melihat kekasihnya.

Yunho bergerak cepat dan duduk di samping kekasihnya. Menarik pinggang Jaejoong mendekat sehingga dadanya bersentuhan dengan lengan Jaejoong.

Dengan intes Yunho mendekat dan meniupkan nafas halus pada telinga Jaejoong membuat pria itu bergidik.

“Jae,” desis Yunho sambil menatap kekasihnya tajam, “Aku akan memberitahumu sebuah kebenaran.”

Jaejoong hanya menatap takut ke arah Yunho. Apa lagi saat pria itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya sehingga kini dia duduk di atas pangkuan Yunho. tangannya mencengkram bajunya sendiri takut. Yunho dihadapannya aneh sekali.

Yunho yang selama ini dia kenal tidak seperti ini! Pria itu baik dan ceria. Bahkan terkadang sering gugup jika harus bersentuhan dengan Jaejoong secara intim.

Jaejoong buru-buru menundukan wajahnya lagi. Saat Yunho menatapnya tajam.

Namun tangan Yunho membelai perutnya lembut. Membuat dia mendesah singkat tanpa sadar. Ada friksi lembut mengalir di pembulu darahnya ketika Yunho melakukan ini. Apa lagi saat Yunho menempelkan bibirnya di telinga Jaejoong. Deru nafas Yunho membuatnya meradang.

“Jae, Yunho yang lama sudah mati,” bisik Yunho pelan. Namun Jaejoong dapat menangkapnya dengan jelas karena selain kondisi malam ini sangat hening, Yunho berbicara dengan bibir yang menempel di telinganya.

Jaejoong menekan pundak telanjang Yunho. Membujuk pria itu untuk tidak terlalu dekat, “Apa maksudmu?” balas Yunho dengan nada getir. Kurang lebih dia bisa mengerti apa maksud Yunho.

Yunho menolak untuk menjauhi Jaejoong. Pria itu malah mendorong Jaejoong hingga terjatuh ke lantai. Dia menindih tubuh Jaejoong dan kembali berbisik di telinga kekasihnya, “Yunho yang ceria dan baik sudah mati…”

Tangan Yunho bergerak nakal. Dengan tiba-tiba mengelus paha dalam Jaejoong. Membuat pria cantik itu memekik kaget.

“Jaejoong-ah…”

Desahan pelan Yunho di telinganya sama sekali tidak membuatnya senang. Jaejoong mulai memberontak dari kukungan kekasihnya. Tidak… Yunho di atasnya bukan Yunho-nya.

“L-lepas,” berontak Jaejoong. Kakinya menendang perut Yunho membuat pria itu mundur. Dia benci sentuhan aneh itu. Yunho-nya tidak pernah memperlakukannya seperti itu.

Namun di dalam kegelapan Yunho menggeram. Tidak suka dengan penolakan Jaejoong.

“AAA!!!” Jaejoong benar-benar terkejut saat Yunho tiba-tiba menyerangnya. Membuat kepalanya menghantam lantai. Kepalanya terasa berputar dan pria diatasnya tiba-tiba merobek kausnya. Membuat keduanya sama-sama bertelanjang dada.

Yunho mencakar pinggang Jaejoong.

“Sakiiit!” desis Jaejoong. Dia memegang tangan Yunho yang ada di pinggangnya. Kuku tajam Yunho menghujam kulitnya membawa rasa perih yang luar biasa.

Yunho tidak mengubris. Dia menunduk dan mengigit pundak Jaejoong keras. Benar-benar keras sehingga kulit kekasihnya terkoyak.

Jeritan pilu Jaejoong kembali membahana. Dia ingin melawan. Melempar Yunho dan segera kabur, namun dirinya lumpuh oleh tingkah kekasihnya. Gigitan di pundaknya barusan membuat tubuhnya kebas. Rasa sakit luar biasa menderanya.

“Yunhooo… berhenti. Yunho!” pekik Jaejoong. Gigi Yunho merambah turun dan mengigiti putingnya. Dia mulai terisak. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ini semua terjadi? Segala pertanyaan berkecamuk di kepalanya.

Tidak menyangka Yunho yang selama ini lembut padanya tiba-tiba berubah menjadi sangat kasar dan pemaksa.

Bahkan kini Yunho melepas celananya secara paksa. Melukai bagian tubuh lain Jaejoong hingga berdarah dan meninggalkan lebam dimana-mana sebelum memperkosa Jaejoong secara kasar.

.

‘Aku berjanji akan menikahimu sebelum lancang menyentuhmu.’

Jaejoong menangis keras. Teringat janji manis Yunho dahulu. Namun janji kini hanya menjadi bualan belaka. Yunho di bawah sana sedang merasukinya dengan kasar. Tubuhnya sudah hampir mati rasa karena banyaknya luka disana-sini. Kulit putih mulus yang selama ini dia rawat dihancurkan oleh kekasihnya sendiri.

“Yun… berhenti,” entah sudah berapa kali Jaejoong meraung agar Yunho berhenti melukai tubuh dan perasaanya, pria itu seakan tidak bisa mendengarnya.

Dan dengan satu hentakkan Jaejoong merasakan Yunho mengeluarkan benihnya. Setelah Yunho keluar dari dalam tubuhnya, perlahan Jaejoong meringkuk. Masih menangis keras.

Menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis. Seseorang memperkosa dan melukainya sangat dalam. Dan orang itu adalah kekasihnya sendiri. Perasaan Jaejoong seperti dicabik.

Melihat Jaejoong dalam keadaan hancur di bawahnya. Yunho mendekati Jaejoong dan mengigit telinga kekasihnya.

“Kutekankan. Yunho lama sudah mati.”

.

.

.


.

.

Enggan sekali dirinya membuka mata. Namun Jaejoong perlahan membuka matanya. Berharap yang semalam terjadi padanya hanya mimpi. Namun jika merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Jaejoong tahu harapannya hanyalah sebuah harapan.

Dan pagi itu Jaejoong mendapati dirinya masih sama seperti kemarin. Luka di sekujur tubuhnya dan bercak darah dan sperma mengalir di selangkangannya. Dia tidur dalam keadaan telanjang bulat di atas lantai. Tanpa selimut atau apapun.

Tidak ada Yunho yang baik hati menyelimutinya atau membersihkan lukanya. Pria itu pasti langsung meninggalkannya begitu saja.

Jaejoong terisak jika mengingat betapa mengerikannya apa yang dia alami semalam. Yunhonya tidak ada… Yunho-nya yang lembut dan penuh kasih tidak ada…

Dengan susah payah Jaejoong bangkit dan menggunakan celananya lagi. Bajunya yang sudah robek juga tetap dia gunakan. Dia bangkit dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan segera meninggalkan tempat itu untuk pulang.

Tangisannya tidak berhenti. Dia terluka. Benar-benar terluka…

Dan sejak hari itu juga, Yunho menghilang. Benar-benar menghilang seperti ditelan oleh bumi.


END


~*~
I’m beaten down again, I belong to them
Beaten down again, I’ve failed you
~*~


 

Mengantung? Ahahaha…
Apakah kalian tidak mau mengembangkan cerita mengapa Yunho seperti ini? Misalnya dia adalah mahluk asing.

Aku ingin membiarkan readers berkhayal sepuasnya tentang bagaimana kelanjutan fanfiksi ini atau mengapa Yunho seperti ini. Mungkin jika tertarik dengan ide kalian, aku akan membuat sequel. Hahaha. Namun aku tidak janji.

.
Share it with me in review. Share your imagination…

As We Kiss Goodbye

Play: Kiss Shita Mama, Sayonara – Tohoshinki


Blink
Smell it
Feel it

.

Open your eyes

.
Just look at me now

.

.

.

Kau terbangun dari tidurmu dengan senyuman kecil. Turun dari kasur dan buru-buru berjalan ke dapur. Waktu masih menunjukan jam enam pagi. Namun kau sudah menyeduh dua cangkir kopi. Hal yang sering kau lakukan dengannya.

Menaruh kopi di atas meja kecil kau berjalan ke arah tangga,

“Jaejoong-ah. Cepat turun, kopinya sudah jadi.”

Sunyi.

Dengan mudah kau membayangkan bahwa dia masih tertidur. Maka dari itu kau kembali ke dapur, mulai menyesap kopimu sendirian, dengan kain kuning di tangan kirimu—mengingat dia suka sekali menumpahkan kopi—agar kau bisa segera melapnya.

Setelah sepuluh menit dalam diam kau mencoba memanggilnya lagi, “Jaejoong-ah! Turun cepat.”

Koboshita atsui coffe mo
[The spilled hot coffe]

Sunyi

Setitik air mata turun dari ujung mata tajammu.

Iroaseta namida mo
[And stale tears too]

.

.

.


.

.

.

Please, tell me little lie

Kikoeru you ni
[So, I can hear you]

Kau merasa tepukan di pundakmu. Menoleh, dan mendapati sahabat baikmu tersenyum, “Yo, Yunho!”

Dengan ceria kau membalas salamnya. Kalian berpelukan dan saling menepuk punggung, “Lama sekali kita tidak berjumpa, Yoochun-ah!”

Yoochun tersenyum. Namun tak lama, senyumnya pudar, “Yun, sekarang…”

“Sekarang hari jadiku dengan Jaejoong yang kelima, Chun,” kau memotong ucapan Yoochun dan dengan bangga mengatakan hal ini.

Namun kau tidak sadar Yoochun menatapmu miris. Dia menjulurkan tangannya dan menyalamimu. Bibirnya terpaksa menyungingkan senyum agar kau tidak sedih. Saat kalian kembali berpelukan, kau lagi-lagi tidak tahu Yoochun meneteskan air matanya.

“Yun, setelah ini aku ada rapat, aku harus pergi.”

Kau tersenyum melihat Yoochun berjalan menjauh.

.

Longway people
Longway people

Hari itu kau dengan ceria mengatakan hal yang sama dengan sahabat-sahabat baikmu. Mengatakan seberapa bahagia dirimu dapat menempuh lima tahun ini dengan orang yang kau cintai. Kau berusaha memenuhi hari ini dengan keceriaan. Tanpa tahu semua temanmu menangis di balik layar melihat keadaanmu sekarang.

Mereka tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu. Mereka tahu hatimu telah pecah berkeping-keping tanpa bisa kembali lagi. Mereka semua tahu! Seberapa banyak air mata yang menetes selama ini. Mereka tahu…

“Hari ini, aku yang traktir!” katamu ceria.

.

.

Jam empat sore. Kau membuka ponselmu, berusaha menghubungi sang kekasih. Mengajaknya ke pantai untuk melihat sunset.

Nagaku tsuzuku kono michi ni ima wa inai kimi e
[On this never-ending road. You’re no longer on]

Tidak ada jawaban. Kau diam menatap layar ponselmu. Lama sekali memandangi fotonya yang menjadi wallpapper. Buru-buru kau mengusap sudut matamu saat merasa ada yang mengantung disana.

Please tell me little lie
Kikoeru you ni
[So that, I can hear you]

“Jangan diam saja, Jae. Jawab aku,” ucapmu lirih sambil tetap memandang layar ponselmu. Dadamu terasa semakin sesak saat berbicara. Nafasmu memberat dan matamu mulai panas. Tapi keinginan untuk tidak menangis lagi, membuatmu bertahan.

Menanamkan kukumu sendiri di lengan agar rasa sakit menghilangkan rasa sesak di dadamu.

Setelah tenang kau memilih untuk pergi ke pantai sendiri. Setelah meninggalkan pesan untuk kekasihmu, berfikir positif dia akan menyusul.

.

.

Longway people
Longway people

Kau duduk di pinggir pantai menatap mata hari terbenam. Hal yang paling dicintai kekasihmu. Menikmati angin menerpa wajahmu. Membayangkan kekasihmu duduk di sisimu.

“Yun, mana kameraku, mana?!”

Bibirmu melengkungkan senyuman lembut mengingat sifat kekasihmu yang cerewet.

Long way people
Tada naite naite naite wasureru shika nai ni?
[Just crying, crying crying. Can I forget?]

Namun walaupun kau tersenyum, air matamu turun dengan deras. Sekuat apapun kau berjanji agar tidak menangis, semuanya percuma.

Kioku ni nijinda namida no kzu wa kawaite iku boku no kokoro
[Blurred in the memories, the number of my tears]

Air mata yang kau keluarkan sudah tidak terhitung setiap mengingat ‘dia’.

Kazoe kirenai, hoshi no you ni
[Are countless, like the stars]

Hari ini. Lima tahun sejak hari jadi kalian. Dua tahun setelah kematiannya. Kau tetap tidak akan pernah bisa lupa. Semua memori tawanya, semua memori cinta kalian. Tidak sedetikpun yang terlewat. Bahkan kau masih ingat pipinya yang bersemu saat kau menyatakan cinta. Dia yang menangis karena kau hampir lupa hari ulang tahunnya, mengatakan rasa masakannya buruk. Wajahnya yang khawatir saat kau sakit. Semuanya masih terasa nyata

Longway people
Longway people
I know kimi wa mune no naka ni itsumademo
[I know you will live in my heart forever]

Ya, kau tahu bahwa dia tetap hidup dihatimu. Tapi walaupun dia selalu ada di dalam hatimu, selalu ada dipikiranmu. Kau tidak pernah merasa cukup. Yang kau butuhkan adalah dirinya hidup dan berada di sampingmu.

Sekeras apapun kau berusaha mencoba merelakan dia telah pergi, kenangan kalian membuatmu tidak bisa berjalan maju.

Bahkan sampai detik ini kau ingat saat dia menangis keras karena rasa sakit di jantungnya. Dan kau berusaha menghentikan tangisnya dengan ciuman lembut. Karena kau tahu tangisannya membuatmu sakit. Membuatmu ikut menangis.

Longway people
Longway people

Namun yang tidak kau ketahui saat itu adalah ciuman terakhir antara dirimu dengannya. Ketika bibirmu menyentuhnya. Saat kalian berciuman dalam tangis, perlahan nafasnya mulai teratur dan menghilang.

Tada naite naite naite kiss shita mama, sayonara
[I’m just crying, crying, crying. As we kiss goodbye]


END


Hampir plotless dan bener-bener songfic. Aku berusaha membuat cerita ini pas dengan lagunya. Saat lagunya selesai, maka kau juga selesai membaca. Banyak sekali lyric yang aku potong. Aku malah takut ada bagian lagu yang terpotong.

Maafkan aku jika ficnya membuat kalian ingin sekali memukuliku. Terutama aku tidak akan membuat sequel ataupun prequel.

Hehehe /plak

Lagu ini sangat aku cintai—setelah lagu Love Bye Love tentunya. Terutama bagian awal saat Yoochun berkata, “Open, open your eyes” dengan nada penuh keputus asaan.

.

Komentar, kritik, saran?